JAKARTA, BL-Rencana pemerintah menggenjok produksi pangan 10 jutan ton pada tahun 2014, dengan menggunakan strategi jangka pendek dengan input eksternal tinggi seperti penggunaan benih hibrida, pupuk kimia dan penerapan pestisida untuk mengendalikan hama penyakit dilakukan dinilai justru akan mengancam ketahanan pangan.
Hal tersebut disampaikan Said Abdullah, officer advokasi dan jaringan, Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) kepada Beritalingkungan.com (18/4). “Strategi itu tidak sanggup menjamin peningkatan peningkatan produksi dalam jangka panjang. Swasembada yang dicapai tahun 2009, hanya sesaat saja. Setahun setelahnya impor kembali dilakukan sebagai indikasi ketidakcukupan. Laju produksi tidak seperti yang ditargetkan, hanya sekitar 3% per tahun,”katanya.
Dalam banyak kesempatan pemerintah menjadikan perubahan iklim sebagai penyebab utama kegagalan di sektor pertanian. Dengan alasan ini pula pemerintah mengumumkan perubahan target 10 juta ton menjadi tahun 2014. Menurut Said, menyalahkan perubahan iklim tentu tidaklah bijak. Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang terjadi diseluruh muka bumi. Tak bisa tidak perubahan iklim harus dihadapi dengan cerdas dan strategi tepat.
Kebijakan peningkatan produksi dengan penggunaan input luar yang tinggi terutama benih hibrida dan pestisida yang sebagian besar diimpor dari luar negeri, tentu memprihatinkan. “Cara ini hanya akan melahirkan ketergantungan, jauh dari keberlanjutan. Pembangunan pertanian semestinya lebih berorientasi jangka panjang dengan mengedepankan penggunaan sumberdaya lokal ramah lingkungan. Dengan cara ini kedaulatan pangan akan dapat diwujudkan tanpa tergantung pada negara lain dan korporasi asing”imbuhnya.
Kebijakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) tak hanya bertumpu pada produksi akan melahirkan dampak negatif pada lingkungan. Ekosistem pertanian padi menjadi tidak seimbang. Daya dukung lingkungan kian melemah. Hal ini diindikasikan oleh terjadinya ledakan (outbreak) hama wereng dan penggerek batang pada tahun 2010-2011 yang terjadi disejumlah daerah di Indonesia.
Setelah sebelumnya terjadi tahun 1998, ledakan wereng menyerang Jawa barat, DIY, Jateng dan Jawa timur di tahun 2010. KRKP mencatat, sedikitnya 128.738 ha pertanaman padi yang membentang dari Banten sampai Jawa Timur terserang wereng coklat dan penyakit kerdil hampa. Dari luas tersebut, 4.602 ha mengalami puso alias gagal panen total.
Sebagian besar wereng menyerang tanaman padi hibrida petani. Benih hibrida merupakan paket bantuan benih yang dibagikan pada petani. Benih-benih ini umumnya berasal dari China. Hampir semua pertanaman padi hibrida ini terserang wereng. Di berbagai daerah petani mengeluhkan padi hibrida lebih rentan serangan wereng dibandingkan benih lokal.
Untuk menanggulangi hal ini pemerintah menggulirkan kebijakan bagi-bagi pestisida ke petani. Di Grobogan misalnya, dinas pertanian setempat membagikan 1,5 ton pestisida untuk mengatasi wereng. “Penggunaan pestisida tak hanya merugikan secara finansial, mengorbankan lingkungan tetapi juga tidak efektif. Selain itu juga pemborosan sumber daya yang luar biasa dan meracuni petani pengguna serta konsumen produk pertanian. WHO menyebutkan bahwa 80% penggunaan pestisida di negara maju tetapi 80% keracunan terjadi di negara berkembang,”ungkap Said.
Penelitian International Rice Research Institute-IRRI, United Nations’ Food and Agriculture Organisation-FAO, lembaga penelitian dan beberapa universitas nasional menunjukkan bahwa ledakan hama wereng coklat disebabkan karena keseimbangan ekosistem padi sawah hancur.
Semua serangga, termasuk musuh alami (predator dan parasitoid) mati ketika disemprot pestisida berspektrum luas, sedangkan telur wereng coklat yang disembunyikan di batang padi selamat. Ketika nimpha wereng coklat menetas sekitar 3 minggu kemudian, populasinya tidak dapat dikendalikan karena pemangsanya sudah mati, dan mereka mengisap cairan tanaman padi menjadi kering dan sawah menjadi puso.
Berdasarkan hasil penelitian IRRI, FAO, Universitas Gajah Mada-UGM, Departemen Pertanian Thailand, dan India melaporkan, banyak jenis insektisida yang menimbulkan kekebalan wereng coklat (resistance) dan ledakan populasi wereng (resurgence).
Penggunaan pestisida dari waktu kewaktu terus meningkat. Hasil kajian Field Indonesia pada 306 petani padi di Klaten tahun 2011 lalu sungguh mencengangkan. Petani yang disurvei menggunakan pestisida rata-rata 5,7 kali per musim tanam. Suatu jumlah yang sangat tinggi di tanaman padi. Hal ini diperparah dengan maraknya peredaran pestisida yang luas di negeri ini. Jumlah merek pestisida yang beredar makin banyak dari tahun ke tahun.
Saat ini berdasarkan data Komisi Pestisida di bawah Kementerian Pertanian sudah terdaftar fungisida 350 merek, herbisida 600 merek dan insektisida 800 merek, dengan ijin tetap. Belum lagi jumlah produk pestisida yang illegal.
Perdagangan pestisida-terutama insektisida-di Asia Tenggara dalam lima tahun terakhir terus meningkat. Negara-negara Asia Tenggara sudah melipatgandakan impor insektisida terutama produksi dari Cina termasuk Indonesia. Tahun 2009 saja, Indonesia mengimpor insektisida lebih dari $ 90 juta. Total nilai pasar pestisida nasional sebesar Rp 6 triliun per tahun.
Menurut Said, tingginya penggunaan dan maraknya perdagangan pestisida menunjukkan lemahnya pengawasan. Banyak pestisida dengan bahan aktif yang dilarang berdasar INPRES 3/86 masih beredar di petani. Organokhlorin dan organofosfat yang sudah dilarang digunakan pada padi masih ditemukan di kios saprodi sehingga bisa dibeli petani dengan bebas. Peredaran pestisida dipasar banyak yang tidak memiliki izin. Dari total peredaran, sekitar 10%-12% merupakan pestisida ilegal.
Untuk mencapai swasembada pangan berkelanjutan lanjut Said, tak ada pilihan lain selain mengubah cara pandang dan arah kebijkan pembangunan pertanian. Pendekatan pertanian berkelanjutan, ramah lingkungan mendesak segera dilakukan. Hal ini untuk menjamin terpenuhinya hak 237 juta jiwa penduduk negeri ini mendapatkan pangan yang cukup dan aman.
Menurut alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, pemerintah harus segara melakukan pengendalian dan pengawasan peredaran pestisida. Fungsi regulasi dan kontrol ini harus diterapkan secara ketat. Kebijakan pengendalian hama penyakit Terpadu (PHT) perlu dilakukan kembali. PHT merupakan cara efektif mengendalikan ledakan wereng seperti yang telah dibuktikan beberapa tahun silam.
Kebijakan memasukan pestisida sebagai paket produksi padi (outbreak stock) di pemerintah nasional, propinsi dan kabupaten dan pembagian gratis atau subsidi terselubung pestisida ke petani baik dari program pemerintah maupun dari perusahaan pestisida harus dihentikan. Cara ini hanya akan melahirkan kerentanan di tanaman padi, meningkatnya serangan hama (wereng dan hama lain) dan meningkatkan ketergantungan pertanian terhadap bahan kimia beracun produksi perusahaan. Dalam jangka panjang hanya akan melahirkan ketergantungan, menjauhkan petani dari kedaulatan.
Seraya menambahkan, subsidi dan penyebaran benih padi hibrida impor secara luas perlu dilihat kembali karena tidak terbukti meningkat produksinya dan tahan serangan hama penyakit dalam kondisi umum pertanian tropis di Indonesia. Kesuksesan panen padi hibrida hanya didapatkan dari areal terbatas dan pada umumnya data dari perusahaan nasional dan multinasional yang mempromosikan benih tersebut. “Sudah saatnya pemerintah mendorong penggunaan benih lokal yang tidak hanya tahan hama tetapi menguntungkan bagi petani, bagi bangsa,”tandasnya.
Foto & Naskah : Marwan Azis