Firdaus Ahmad Fauzi, pendaki Gunung Binaiya di Maluku, yang dinyatakan hilang dan ditemukan meninggal. Foto ini diambil saat Firdaus tiba di puncak pada Sabtu, 26 April 2025, beberapa jam sebelum hilang dalam perjalanan turun. Dok. Serlyn Leatemia.
MALUKU, BERITALINGKUNGAN.COM — Di jantung hutan lebat Taman Nasional Manusela, di antara lembah sunyi dan sungai-sungai yang menyimpan legenda tua Pulau Seram, satu nama akhirnya kembali ditemukan: Firdaus Ahmad Fauzi, 27 tahun, pendaki asal Kampung Cibeureum, Cibungbulang, Bogor, yang dinyatakan hilang sejak akhir April.
Hutan yang telah menjadi saksi ribuan langkah dan kisah petualangan, kini menjadi tempat peristirahatan terakhir Firdaus. Setelah hampir tiga minggu pencarian tanpa lelah, pada Sabtu, 17 Mei 2025 pukul 14.30 WIT, tubuhnya ditemukan oleh tim pencari di sekitar aliran Sungai Yahe, jauh di dalam kawasan Gunung Binaya — puncak tertinggi di Maluku.
Firdaus hilang pada 26 April 2025, ketika sedang melakukan pendakian seorang diri di jalur terjal Binaya. Sejak saat itu, alam seakan menyimpan rahasia keberadaannya. Tim gabungan — mulai dari petugas Taman Nasional Manusela, relawan SAR, unsur TNI/Polri, masyarakat adat, hingga pencinta alam dari berbagai daerah — bahu membahu menyusuri medan berat yang penuh kabut, hujan, dan ketidakpastian.
Namun pada akhirnya, yang ditemukan bukanlah harapan hidup, melainkan sunyi yang menyelimuti tubuh Firdaus dalam pelukan alam yang begitu dicintainya.
Alam yang Memberi, Alam yang Mengambil
“Atas nama Kementerian Kehutanan kami menyampaikan duka cita yang mendalam atas kejadian tersebut. Apresiasi dan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim relawan, Pemerintah Daerah Kab. Maluku Tengah, dan pihak-pihak yang telah bekerja tanpa lelah,” ungkap Deny Rahadi, Kepala Balai Taman Nasional Manusela (20/05/2025).
Gunung Binaya, yang menjulang setinggi 3.027 meter di atas permukaan laut, bukanlah gunung biasa. Jalur pendakiannya bukan sekadar rute, melainkan perpaduan antara medan teknis dan ketahanan mental. Kabut tebal, sungai yang meluap, serta minimnya sinyal komunikasi membuat pencarian menjadi tantangan yang tak ringan.
Meski penuh risiko, tempat ini tetap memanggil para pencinta alam dari seluruh Indonesia. Tapi kisah Firdaus menjadi pengingat yang sunyi: bahwa alam adalah guru, sekaligus penjaga rahasia yang tak selalu kita pahami.
Jejak yang Tak Pernah Hilang
Kini, nama Firdaus mungkin tak lagi terdengar dalam riuhnya basecamp pendakian. Tapi di antara aliran Sungai Yahe dan rimbunnya pohon-pohon Manusela, jejaknya tetap ada — menyatu dengan tanah, udara, dan langit Seram yang agung.
Semoga ia menemukan kedamaian di alam yang dulu ia datangi dengan semangat, dan semoga keluarganya di Bogor diberi kekuatan untuk menerima kepulangan yang tak diharapkan ini (Wan).