Ilustrasi sungai Sekonyer dan Taman Nasional Tanjung Puting yang memiliki kandungan karbon yang tinggi . Foto : Beritalingkungan.com/Marwan Azis. |
JAKARTA, BL-Kementerian Kehutanan sudah menyelesaikan model pendugaa biomassa pohon pada berbagai ekosistem hutan di Indonesia. Siap dipakai menghitung daya serap, simpan dan kehilangan karbon, untuk proyek REDD+.
SIEJ-Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan meluncurkan Monograf Model-Model Alometrik Pendugaan Biomasa Pohon Pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia pada Jumat kemarin (27/07), di Kementerian Kehutanan, Jakarta.
Monograf ini membahas model-model alometrik biomassa dan volume pohon berbagai ekosistem hutan di Indonesia. Menyajikan informasi sebaran model dan distribusi data yang digunakan, menganalisis keragaman dugaan biomassa dan volume dari model, cara penggunaan model-model alometrik, serta identifikasi kesenjangan dan strategi mengatasi kesenjangan.
Monograf disusun oleh Dr. Haruni Krisnawati, Ir. Wahyu Catur Adinugroho, Msi, dan Ir. Rinaldi Imanuddin selama lebih dari satu tahun dengan mempelajari 807 model, mencakup 437 model alometrik untuk menduga komponen biomassa pohon dan 370 model alometrik untuk menduga beberapa tipe volume pohon.
Heru Prasetyo, anggota Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan wakil kepala satgas REDD+ meyambut baik peluncuran monograf ini, “Monograf ini dapat digunakan sebagai input penting percepatan pengembangan Sistem Perhitungan Karbon Nasional Indonesia”, katanya.
Meurut Kepala Badan Litbang Kehutanan Imam Santoso, monograf ini membantu pelaporan dan pengawasan perubahan stok karbon yang terukur, serta menjadi dasar perhitungan stok karbon. “Rangkaian hasilnya akan menjadi dokumen hidup yang bisa dijadikan referensi bagi penelitian atau kebijakan pemerintah kedepannya”, tambahnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Hadi Daryanto mengatakan perlu dirumuskan kebijakan Kemenhut yang dapat dijadikan substansi monograf ini sebagai referensi para pihak, baik Pusat Maupun Daerah. “Monograf ini menjadi cara yang terbaik saat ini dalam sistem perhitungan karbon nasional”, katanya.
Menurut Hadi Daryanto, monograf ini sudah pernah dimasukan dalam kebijakan Kemenhut pertama kalinya dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No P3/VI/set/2010 untuk Hutan Gambut. Dan saat ini model alometrik ini sedang diuji coba pada Sinar Mas.
Agenda ke depan Badan Litbang Kehutanan akan merumuskan kebijakan sebagai panduan penggunaan model alometrik, sosialisasi kepada stakeholders, pelatihan kepada petugas lapangan, dan pengukuran strok karbon secara stimultan.
Dalam penelitian monograf ini ternyata para peneliti juga mengalami berbagai kendala seperti terbatasnya pembiayaan, kesenjangan informasi yang tinggi terkait dengan biomasa hutan di beberapa daerah. (SIEJ/Cita Ariani, Igg Maha Adi)