Bagong Suyoto |
Oleh : Bagong Suyoto*
Sampah yang dibuang sembarangan, seperti ke bantaran sungai, situ/danau, pekarangan kosong, pinggiran jalan, saluran air, taman dan fasilitas umum lain dipastikan akan menimbulkan berbagai persoalan.
Akibatnya terjadi pencemaran lingkungan, seperti ancaman bau, penyakit, menjamurnya koloni lalat dan belatung, mengganggu aktivitas transportasi dan ekonomi.
Ketika musim hujan tiba akan dilanda banjir yang dipenuhi sampah karena saluran air tidak berfungsi karena tersumbat sampah. Sampah, tinja bercampur limbah pabrik yang masuk ke sungai akan memperburuk sanitasi dan kualitas air. Pada akhirnya mengancam kehidupan dan biota air.
Tragedi banjir sampah telah dialami kota-kota di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan lainnya. Kondisi terparah dialami DKI Jakarta, yang posisinya paling rendah. Jakarta menjadi metropolitan tong sampah ketika musim hujan. Sungai, situ, pesisir pantai dan Teluk Jakarta merupakan tong sampah. Ratusan ribu ton sampah kiriman dari daerah upland dan sampah DKI sendiri memenuhi sungai-sungai di Jakarta dan muaranya di Teluk Jakarta. Juga akan menyebar ke pulau-pulau kecil di wilayah Kepulauan Seribu.
Kasus memprihatinkan ini di alami wilayah Tangerang, dilewati Kali Cisadane. Demikian pula kondisi wilayah Kabupaten Bekasi, dimana Kali CBL menjadi bukti sejarah atas budaya buruk yang dipertontonkan selama berpuluh-puluh tahun. Kita seenaknya membuang sampah, limbah kotoran/tinja (limbah domestik) dan yang mengenaskan berbagai limbah pabrik masuk ke Kali CBL. Suatu perilaku buruk akibat ketidapedulian! Demikian juga pembuangan limbah cair dan limbah padat ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum mulai dari Pangalengan – Bandung, Kerawang, Bekasi hingga Jakarta.
Dalam pemantauan awal Agustus 2009, Sungai Citarum mendapatkan kotoran dari aktivitas pertanian, peternakan, industri, rumah tangga, dll. Yang sangat mengenaskan ada sejumlah pengusaha membuang limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) di DAS dan badan Citarum, khususnya Teluk Jambe, Kerawang.
Padahal air Sungai Citarum sekitar 80% dimanfaatkan untuk suplai bahan baku air minum wilayah Kerawang, Bekasi dan Jakarta. Karena air merupakan kebutuhan vital maka kualitasnya harus dijaga sebaik mungkin. Air adalah kehidupan, dan kehidupan harus dijaga sebaik mungkin. (Koalisi Persampahan Nasional, Koalisi Pemantau Limbah B3 Indonesia (2009).
Pada kegiatan Rapid Assesment mengenai Pengelolaan Sampah pada Sepetmber-Oktober 2019 di sejumlah wilayah, seperti Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, pada umumnya pengelolaan sampah masih buruk, tingkat pelayanan 42-42% ada yang hingga 50%. Masih banyak warga yang membuang sampah ke sungai/kali. Mereka membuang sampah di DAS dan badan sungai. Banyak yang membuka perlapakan sampah di DAS dan selanjutnya membuang sisa-sisa sampahnya ke sungai. Sungai dijadikan tong sampah raksasa.
Penanganan Sampah Kabupaten Bekasi dan Bogor
Kasus pengelolaan sampah Kabupaten Bekasi. Wilayahnya terbagi ke dalam 23 kecamatan, meliputi 7 kelurahan (Bahagia, Kebalen, Wanasari, Telaga Asih, Sertajaya, Jatimulya, Kertasari) dan 180 desa. Penduduk Kabupaten Bekasi 2017 mencapai 3.500.023 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk sebesar 2.748 jiwa per km2. Wilayah terpadat penduduknya adalah kecamatan Tambun Selatan (12.284 jiwa per km²), sedang terendah kepadatannya adalah Kecamatan Muaragembong (240 jiwa per km²).
Pada 2019 jumlah penduduknya meningkat, dan total volume sampahnya sekitar 2.200 ton/hari. Boleh jadi jumlah volume sampah lebih banyak. Sedangkan tingkat pelayanan sekitar 42-45%.
Eksisting faktual pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi sulit digambarkan dengan pola yang jelas dan detail sebab sangat complicated, ruwet dan rumit. Indikasinya banyak sampah rumah tangga, pasar, kantor, limbah medis, limbah pabrik dan B3 dibuang ke sembarang tempat, muncul titik-titik pembuangan liar atau TPA illegal sangat banyak. Cakupan wilayah sangat luas, terdiri dari kawasan daratan, persawahan, DAS, belasan aliran sungai besar kecil hingga pesisir pantai dan laut.
Data dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Bekasi jumlah titik sampah liar sebanyak 71 buah; terbanyak adalah liar di UPTD 1 sebanyak 34 titi; UPTD 5 sebanyak 21 titik; UPTD 3 sebanyak 7 titik; UPTD 6 sebanyak 6 titik dan; UPTD 4 sebanyak 5 titik sampah liar. Padahal sebelumnya disebut ada 83 titik sampah liar.
Beberapa faktor utama munculnya TPA liar sebagai berikut: Cakupan wilayah Kabupaten Bekasi sangat luas, dan jarak yang terjauh dengan ibukota kabupaten mencapai 60-65 Km sedang jarak dengan TPA Burangkeng Kecamatan Setu bisa mencapai 75-80 Km; Pertambahan penduduk dan pemukiman warga, real estate dan rumah kontrakan; Sementara pemukiman warga, real estate, rumah kontrakan tidak menyediakan sarana prasarana pengelolaan sampah; Tidak ada sarana prasarana dan pelayanan kebersihan atau tingkat pelayanan rendah; Adanya kesengajaan dari sejumlah orang untuk membuka usaha TPA liar dengan alasan menciptakan lapangan kerja; TPA liar merupakan solusi tercepat dan terbaik saat ini; Tidak adanya pengawasan dan penegakkan hukum yang ketat dan rutin.
Kasus di atas nyaris sama dengan pengelolaan sampah Kabupaten Bogor. Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan, meliputi 417 desa dan 17 kelurahan (434 desa/kelurahan), tercakup dalam 3.882 RW dan 15.561 RT. Pada 2012 telah dibentuk 4 (empat) desa baru, yaitu Desa Pasir Angin Kecamatan Megamendung, Desa Urug dan Desa Jayaraharja Kecamatan Sukajaya serta Desa Mekarjaya Kecamatan Rumpin
Menurut BPS, bahwa penduduk Kabupaten Bogor berdasar proyeksi penduduk 2017 sebanyak 5.715.009 jiwa, terdiri atas 2.920.288 jiwa penduduk laki-laki dan 2.794.721 jiwa penduduk perempuan. Jika dibandingkan dengan proyeksi jumlah penduduk 2017, penduduk Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan sebesar 2,28%. Sementara itu besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2017 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 104,49.
Jumlah timbulan sampah sebanyak 2.900 ton/hari. Tingkatan pelayanan sampah sekitar 17% dari total wilayah. Penanganan sampah sekitar 20,54% dan pengurangan relatif sangat rendah, sekitar 5%. Sehingga Kabupaten Bogor dapat dikatakan, sangat kawalahan menangani sampahnya pada saat ini. Data tersebut perlu investigasi lebih teliti.
Penanganan sampah dilakukan dibawah zonasi atau rayon UPT. Setiap UPT terdiri dari 5-7 kecamatan. UPT meliputi: UPT Cibinong Wilayah I, UPT Jonggol Wilayah II, UPT Ciawi Wilayah III, UPT Cipanas Wilayah IV, UPT Ciampea Wilayah V, UPT Luweliang Wilayah VI, UPT Jasinga Wilayah VII.
Pembuangan sampah liar sangat banyak ditemukan di wilayah Kabupaten Bogor. Tampaknya bukan suatu yang asing, namun sudah menjadi pemandangan umum, bahwa pembuangan sampah liar ditemukan dimana-mana, bahkan pembuangan sampah di pinggir kali Ciliwung, Kali Cilebut, Kali Cidurian, dll.
Seputar wilayah Cibinong Raya saja terdapat 51 titik pembuangan sampah liar. Suatu jumlah cukup banyak. Cibinong Raya terdiri dari 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Cibinong, Sukaraja, Bojong Gede, Citeurep, Babakan Madang, Gunung Putri. Hambatan utama pengelolaan sampah Kabupaten Bogor, yakni Wilayahnya sangat luas, Aksesibilitas sulit, Kesadaran masyarakat rendah, Belum terbangun kerjasama, Sarana prasarana kurang.
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor berencana membangun 100 TPS, berupa bak penampungan sampah berukuran 1×2 m2, seperti yang ada di pinggir jalan Raya Bogor, jalan raya Puncak dan beberapa tempat. Sebetulnya setiap desa akan membangun 1-2 TPS, sayangnya tidak tersedia tanah. Setiap minggu dilakukan sosialiasi pengolahan sampah. Namun tetap saja tingkat kesadaran masyarakat masih rendah.
Solusi Terpadu dan Berkelanjutan
Pengelolaan sampah yang benar dan terpadu dengan melibatkan semua stakeholders akan mendatangkan manfaat dan berkah bagi umat manusia, makhluk hidup lain dan alam. Keterlibatan berbagai stakeholder dijamin oleh UU No.18/2008 dan PP No.81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Sampah Rumah Tangga. Keterlibatan ini akan lebih jelas dan teknis dijabarkan dalam PP, Perda dan Jakstrada. Sebaliknya menimbulkan malapetaka jika dibiarkan begitu saja atau dikelola dengan buruk.
Pengelolaan sampah tidak bisa dikelola asal-asalan, sporadik dan jangka pendek serta demi proyek semata. Kelola sampah harus dilakukan secara profesional, serius dan berkelanjutan. Ini opsi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Artinya kita harus memahami setiap tahapannya. Oleh karena itu sebaiknya harus dituangkan dalam kebijakan, panduan dan action plan nasional. Demikian pula pada level kota/kabupaten harus ada action plan pengelolan sampah.
Pengelolaan sampah harus mencerminkan arah yang tepat bagi kelestarian sumberdaya, lingkungan hidup serta merubah gaya hidup (life style) manusia menjadi lebih hemat dan bijaksana. Sehingga sampah harus dikelola secara profesional, serius dan kesinambungan. Seperti kita menghasilkan dan membuang sampah setiap hari, maka sampah pun harus diolah setiap hari. Dengan kata lain, tiada hari tanpa mengolah sampah. Mengolah sampah adalah trend dan gaya hidup modern, beradab dan amanah!
Dalam konteks tersebut perlu adanya penyediaan sarana prasarana, seperti tong/bak sampah, container, pengakutan, TPST, dan TPS 3R. Ada dukungan konkrit dari Pemerintah Kabupaten, pengawasan ketat, rutin dan berkesinambungan dibarengi dengan law enforcement. Juga, untuk membangunan kesadaran perlunya edukasi dan advokasi kepada masyarakat secara terus-menerus sehingga akan menjadi Gerakan Masyarakat!*
*Penulis adalah Ketua Koalisi Persampahan Nasional, Dewan Pembina Koalisi KAWALI Indonesia Lestari dan Dewan Pembina Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia (KPPLI)