Tiga paus sikat diamati dari udara. Foto: Mark Cotter/HDR.
DURHAM, BERITALINGKUNGAN.COM. – Dalam upaya terbaru untuk mengurangi risiko bahaya yang mengancam keberadaan paus Atlantik Utara, para peneliti dari Duke University’s Marine Geospatial Ecology Lab memimpin kolaborasi antar 11 institusi di Amerika Serikat dalam memetakan kepadatan populasi spesies paus yang sangat terancam ini.
Penelitian ini menggunakan kombinasi data survei visual dan data akustik yang dihimpun selama 17 tahun, mencakup area seluas 9,7 juta kilometer persegi di perairan Atlantik AS.
Data baru yang dianalisis ini bertujuan untuk memprediksi dan menghindari paparan paus terhadap bahaya kegiatan perikanan komersial dan tabrakan dengan kapal yang dapat berakibat fatal. Informasi ini dipadukan dengan rekaman dari hampir 500 alat perekam hidrofon yang menangkap panggilan paus. Dengan menyelaraskan dataset visual dan akustik untuk pertama kalinya, para peneliti berhasil mengembangkan model statistik yang memperkirakan jumlah paus per kilometer persegi di berbagai titik waktu.
“Semakin akurat dan detail pemetaan yang kami lakukan, semakin besar peluang kami untuk menyelamatkan paus Atlantik Utara dari cedera dan kematian yang dapat dicegah,” ujar Patrick Halpin, direktur laboratorium tersebut seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman Duke.edu. Laboratorium ini memfokuskan pada ekologi kelautan, pengelolaan sumber daya, dan konservasi lautan, menggunakan data untuk menginformasikan pengelolaan dan tata kelola laut.
Studi yang diterbitkan pada tanggal 20 Maret 2024 di jurnal Marine Ecology Progress Series ini adalah revisi dari model tahun 2016 yang memprediksi kepadatan paus berdasarkan data lingkungan, seperti suhu permukaan laut. Versi terbaru ini menginkorporasikan data baru untuk mencerminkan perubahan pola migrasi dan pemberian makan paus, termasuk kehadiran mereka di area baru yang belum memiliki tindakan perlindungan kehidupan laut.
“Kami dapat menunjukkan pergeseran distribusi populasi yang signifikan berkat data survei udara yang hampir tiga kali lebih banyak dari sebelumnya dan bukti pendukung dari hidrofon,” kata Jason Roberts, asosiasi peneliti Duke dan penulis utama studi tersebut.
Paus Atlantik Utara memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan dan keseimbangan lingkungan laut serta keseluruhan rantai makanan melalui kebiasaan makan mereka. Perubahan iklim telah mengurangi populasi mangsa paus, membuat pola migrasi paus menjadi lebih tidak terduga, sehingga meningkatkan kemungkinan mereka terkena dampak aktivitas manusia, seperti perikanan komersial.
Dengan menggunakan peta yang diperoleh melalui pemantauan satelit atau dari model oseanografi fisik, para peneliti dapat lebih akurat memprediksi kepadatan paus di sepanjang pantai timur AS. National Marine Fisheries Service, yang dikenal sebagai NOAA Fisheries, menggunakan model ini untuk menilai dan mengurangi risiko terhadap paus besar yang ditimbulkan oleh aktivitas seperti perikanan jebakan dan pot, lalu lintas kapal, pengujian dan pelatihan angkatan laut, serta aktivitas energi lepas pantai.
Penelitian ini mendukung upaya North Atlantic Right Whale Road to Recovery yang digambarkan oleh NOAA Fisheries, bertujuan mengatasi ancaman terhadap spesies ini dan memonitor kemajuan pemulihannya. Di Amerika Serikat, Marine Mammal Protection Act melarang gangguan atau cedera yang disengaja (dikenal sebagai “takes”) terhadap mamalia laut oleh aktivitas manusia, dan membatasi “takes” yang terjadi secara tidak sengaja.
NOAA Fisheries memperkirakan jumlah kejadian tidak sengaja dari paus yang terluka, dan menerapkan tindakan untuk meminimalkan cedera. Paus Atlantik Utara yang terancam punah ini menghadapi ancaman kepunahan yang meningkat. Sejak tahun 2017, setelah dinyatakan sebagai Kejadian Kematian Tidak Biasa, tercatat 125 paus telah mati atau mengalami cedera serius, kebanyakan karena terjerat dalam alat tangkap ikan dan tertabrak kapal di perairan AS dan Kanada.
Studi ini didanai bersama oleh NOAA Fisheries dan Angkatan Laut AS.