JAKARTA, BL- Siapa pun Presiden Indonesia yang terpilih pada pilpres mendatang diharapkan memiliki komitmen yang lebih kuat untuk menyelamatkan hutan dan gambut serta menjamin hak dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal.
Harapan tersebut disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global dalam Konferensi Persnya di Hotel Puri Denpasar, Jakarta (21/5)dalam rangka evaluasi 3 tahun kebijakan moratorium hutan.
Untuk mengoptimalkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut, mereka mendesak pemerintah yang akan datang untuk menutup berbagai celah hukum yang melegalkan konversi hutan alam dan gambut, memperketat pengawasan dan penegakan hukum, serta meninjau ulang berbagai kebijakan pembangunan yang justru mengancam lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat.
Kebijakan penundaan izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang lazim disebut sebagai moratorium belum mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kehutanan Indonesia, padahal masa berlakunya tinggal satu tahun lagi. Pemerintah masih setengah hati menyelamatkan hutan alam dan lahan gambut yang tersisa dengan memanfaatkan berbagai celah dalam kebijakan yang memang tidak memiliki sanksi ini.
“Di tahun 2014 ini, kita menyaksikan kebakaran hebat yang seharusnya bisa diminimalkan dengan adanya kebijakan moratorium,” ujar Teguh Surya, Pengkampanye Politik Hutan Greenpeace melalui keterangan tertulisanya yang diterima Beritalingkungan.com.
Hingga Februari 2014 saja, telah terjadi kebakaran lahan gambut hebat di Provinsi Riau, di mana 38,02% di antaranya berada di wilayah PIPIB revisi 5. Situasi ini menurut Teguh, membuktikan ketidakseriusan dan minimnya perhatian pemerintah untuk melindungi hutan dan gambut tersisa walaupun aturan perundang-undangan dengan sangat jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemegang izin konsesi wajib melindungi hutan dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan gambut di areal izinnya.
Selain karena kebakaran, hutan Indonesia juga terancam oleh masifnya alih fungsi dan peruntukkan kawasan hutan di berbagai daerah untuk memuluskan mega proyek yang mengancam hak-hak masyarakat adat dan lokal.
“Pasal pengecualian dalam moratorium dimanfaatkan demi kepentingan proyek-proyek perkebunan skala besar,” ujar Franky Samperante dari Yayasan Pusaka. Dalam kasus MIFEE di Kabupaten Merauke, hutan alam, hutan rawa dan savana tempat hidup orang Marind dicaplok, dirampas, dan dialihfungsikan untuk pembangunan industri pertanian dan perkebunan skala besar dengan luas mencapai 1.553.492 hektar atas nama ketahanan pangan dan energi.
Selain itu, di tahun 2013 pemerintah daerah Papua Barat mengusulkan revisi RTRWP dengan perubahan peruntukkan (pelepasan kawasan hutan) seluas 952.683 hektar dan perubahan fungsi seluas 874.914 hektar, sebuah angka fantastis yang akan memperparah laju kerusakan hutan di Indonesia.
Abu Meridian dari Forest Watch Indonesia menambahkan, tidak hanya Papua Barat, Kepulauan Aru yang tergolong ke dalam kategori pulau kecil juga terancam oleh pengalihan kawasan hutan menjadi non-kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan tebu yang dikecualikan dalam Inpres Moratorium.
Meskipun rencana tersebut dinyatakan batal oleh Menteri Kehutanan, ancaman belum hilang karena saat ini ada rencana pembukaan perkebunan sawit oleh PT. Nusa Ina.
Sementara itu, di Sulawesi Tengah yang merupakan propinsi percontohan UN-REDD, moratorium justru tidak berjalan. Menurut Azmi Sirajuddin dari Yayasan Merah Putih Palu, izin-izin perkebunan dan pertambangan terus dikeluarkan oleh bupati tanpa mengindahkan moratorium. “Sejak dikeluarkannya kebijakan moratorium, izin pertambangan di kawasan hutan justru bertambah dari 279 pada 2011 dengan luas sekitar 900 ribu hektar menjadi 443 izin di tahun 2014 dengan luas 1,3 juta hektar,”jelasnya.
Moratorium tampak tunduk pada kepentingan bisnis skala besar. “Pemerintah justru mengkompromikan PIPIB dengan pemberian izin skala besar di Kalimantan Tengah, padahal seharusnya PIPIB dijadikan acuan untuk penolakan izin dan penyesuaian RTRW,” jelas Ode Rahman dari WALHI.
“Selama pelaksanaan moratorium di Kalimantan Tengah, yang merupakan provinsi perintis REDD+, masih ditemukan 12 izin baru yang dikeluarkan oleh pemerintah di kawasan moratorium, bahkan terindikasi lebih banyak lagi karena lemahnya kontrol dan transparansi dalam penerbitan perijinan,” ujar Arie Rompas, Direktur Walhi Kalimantan Tengah.
“Pelanggaran nyata dilakukan oleh Bupati Kotawaringin Barat yang memberikan izin kepada PT. ASMR di wilayah lahan gambut dan Taman Nasional Tanjung Puting yang masuk dalam PIPIB setelah Inpres diterbitkan. Jika penegakan hukum tidak dijalankan dan moratorium berakhir tahun depan, dapat dibayangkan penghancuran hutan yang sudah menunggu di Kalteng,” tambahnya.
Koalisi memandang bahwa pemerintah pusat dan daerah masih berusaha memuluskan konversi hutan melalui mekanisme revisi RTRW yang mengandung alih fungsi dan peruntukkan kawasan untuk mengejar target MP3EI. “MP3EI adalah pendorong utama deforestasi di Indonesia saat ini dan di masa depan. Hal ini bertentangan dengan cita-cita penyelamatan hutan dan berpotensi memperbesar jumlah konflik di Indonesia, yang belum juga terselesaikan,” lanjut Ode.
Dari aspek penyelesaian konflik kehutanan, pemerintah cenderung lambat merespon kepentingan masyarakat adat dan lokal yang hak-haknya dilanggar. “Konflik kehutanan tidak akan selesai selama tata kuasa hutan begitu timpang, dengan penguasaan masyarakat yang kurang dari 2% sementara pemilik izin besar menguasai lebih dari 98%. Oleh karena itu diperlukan peninjauan kembali izin konsesi yang tumpang tindih dengan ruang kelola masyarakat,” ujar Henky Satrio dari AMAN.
Selain itu, Koalisi juga menuntut pengesahan UU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan implementasi Putusan MK 35 yang prosesnya terbilang lambat. “Pemerintah harus segera mengesahkan UU payung untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan menetapkan hutan adat sebagai langkah awal untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat atas hutan,” imbuhnya.
Sementara itu, Anggalia Putri dari HuMa menambahkan bahwa percepatan pengukuhan kawasan hutan harus dimanfaatkan sebagai momentum penyelesaian konflik dan pemulihan hak-hak masyarakat adat dan lokal. “Kementerian Kehutanan yang bersikeras menetapkan kawasan hutan seluas 60% yang masih bermasalah justru mengancam hak-hak masyarakat adat dan local sehingga harus dibatalkan,” tandasnya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global beranggotakan HuMa, Greenpeace, AMAN, FWI , Yayasan Pusaka, Yayasan Merah Putih Palu, WALHI dan WALHI Kalteng. (Marwan).