Hutan dan kelokan sungai di Papua. Foto : Marwan Azis/Beritalingkungan.com |
JAKARTA, BL- Koalisi Ornop Indonesia untuk hutan dan iklim hari ini meminta pemerintah untuk membuat langkah cepat memperpanjang dan memperluas cakupan dua tahun moratorium izin baru yang akan berakhir pada 20 Mei tahun ini.
Menurut mereka moratorium telah menjadi lemah akibat lobi industri dan bahkan beberapa kementerian termasuk Kementerian Kehutanan.
Analisa terbaru Greenpeace terhadap peta moratorium terakhir menunjukkan bahwa SK Menhut Nomor 458 tahun 2012 tentang perubahan peruntukkan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dimana hampir 600.000 ha hutan di Provinsi Papua berpotensi untuk dibuka, jika Moratorium dibiarkan berakhir. SK tersebut mengubah 376,535 ha kawasan hutan menjadi non-hutan yang dampaknya tidak terpulihkan. Seharusnya kawasan ini dilindungi oleh kebijakan Moratorium.
“Presiden sudah seharusnya bekerjasama dengan Menteri Kehutanan untuk segera merevisi SK 458/2012 guna mengembalikan dan memastikan perlindungan hutan di Papua. Presiden juga harus mendisplinkan orang-orang di pemerintahannya yang merongrong kebijakan moratorium dan komitmen pengurangan emisi,” kata Teguh Surya, Juru kampanye Politik Hutan Greenpeace Indonesia melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com.
Jika Menteri Kehutanan menerapkan kebijakan perubahan kawasan dan fungsi hutan seperti halnya SK 458/ 2012, jutaan hektar hutan alam berada dalam bahaya. Baru-baru ini Pemerintah Provinsi Aceh juga berencana melepaskan 1,2 juta Ha hutan. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan timnya harus bertanggungjawab untuk memastikan bahwa kawasan hutan dan perubahan fungsi hutan tidak berdampak negatif terhadap langkah-langkah perlindungan hutan saat.
Dengan waktu yang kurang dari tiga bulan lagi, hanya sedikit kemajuan yang dicapai dalam kebijakan moratorium dan banyak indikator kinerja kunci yang merupakan bagian dari perjanjian 1 miliar dollar dana perlindungan hutan Indonesia-Norwegia yang belum tercapai, seperti; pendirian lembaga REDD, dan badan pengawasan, pelaporan dan keuangan (MRV). Hambatan utama adalah tata kelola pemerintahan yang buruk, data dan peta yang usang, tidak jelasnya payung hukum untuk safeguard sosial dan lingkungan, serta definisi lahan terlantar.
Menurut mereka, untuk mencapai tingkat perlindungan hutan dalam menjamin mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan, menghentikan perusakan habitat penting bagi spesies yang terancam punah, dan memenuhi target pengurangan emisi Presiden Yudhonono, maka kepastian hukum dibutuhkan untuk menjaga keberhasilan perbaikan tata kelola kehutanan di dalam moratorium, bukan sebaliknya mengeluarkan kebijakan yang melemahkan seperti SK 458/ 2012.
Koordinator Program HuMA, Anggalia Putri mengatakan bahwa ada indikasi bahwa SK ini diterbitkan tidak berdasarkan pada prosedur yang layak dan substansinya tidak sejalan dengan aturan peraturan di atasnya, serta melanggar prinsip-prinsip tata kelola pemerintah yang baik, terutama prinsip transparansi dan akuntabilitas. “Kami meminta pemerintah segera merevisi SK 458 demi masyarakat papua dan hutan,” katanya.
Jika Presiden Yudhoyono terus membiarkan moratorium terjepit oleh buruknya tata kelola pemerintahan dan korupsi, maka Presiden SBY maupun Indonesia akan kehilangan muka di mata internasional, melemahnya kredibilitas beliau untuk memimpin pertemuan tingkat tinggi MDGs (Millennium Development Goals) di Bali pada akhir bulan ini.
Para aktivis lingkungan meminta agar Presiden Yudhoyono menjadi yang terdepan dalam memimpin perbaikan tata kelola pemerintahan yang buruk seperti halnya SK 458/ 2012, karena bertentangan dengan misi penyelamatan hutan (moratorium) dan merongrong rencana pembangunan rendah karbon yang dicanangkan oleh Presiden.
Menurut Teguh Surya, Presiden harus bertindak segera untuk memperkuat dan memperluas cakupan moratorium yang berbasis capaian, dimulai dengan merevisi SK 458 dan meninjau ulang seluruh izin konsesi, serta mempercepat pengukuhan kawasan hutan yang menghormati hak-hak masyarakat adat. (Marwan Azis).