Qatar Abdullah Bin Hamad Al Attiyah (kiri), Presiden COP18 sebelumnya (Conference of Parties) saat pembukaan Konferensi PBB Perubahan Iklim COP19 di Warsawa, Polandia. Foto : AP. |
Isu utama pada COP-19 di Warsawa adalah mengenai kepastian realisasi komitmen mobilisasi pendanaan oleh negara maju sebesar USD100 milyar per tahun sampai 2020 seperti yang dijanjikan pada COP-15 di Kopenhagen, Denmark, pada 2009.
Menurut Toferry Primanda, Ketua Juru Runding Delri COP-19 melalui keterangan tertulisanya diterima Beritalingkungan.com (16/11), pendanaan tersebut sangat penting untuk mendukung aksi mitigasi dan adaptasi di negara berkembang hingga tahun 2020 untuk membantu dunia menjaga peningkatan suhu rata-rata tidak lebih dari 2 derajat Celcius dibandingkan dengan tingkat suhu sebelum Revolusi Industri. Jumlah komitmen tersebut sebetulnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan pengurangan emisi dan adaptasi perubahan iklim di sekitar 129 negara berkembang yang menjadi Pihak UNFCCC,
Pada COP-19, Delegasi RI (Delri) menekankan bahwa negara maju tidak dapat menunda lagi realisasi komitmen pendanaan tersebut, mengingat berakhirnya fast start finance—komitmen pendanaan perubahan iklim untuk periode 2010-2012—dan kondisi kritis keuangan dana-dana multilateral untuk aksi perubahan iklim seperti Green Climate Fund dan Adaptation Fund.
Selama tiga tahun terakhir, negara-negara maju selalu menunda pembahasan untuk memperjelas bagaimana mereka akan melaksanakan komitmen pendanaan USD100 milyar tersebut dengan berbagai alasan, antara lain krisis keuangan yang mereka hadapi dan kemajuan ekonomi beberapa negara berkembang.
“Di Warsawa, kami berharap negara-negara maju membuktikan kesadaran mereka tentang betapa genting dan mendesaknya masalah perubahan iklim bagi negara berkembang. Cuaca ekstrim yang menyebabkan bencana ekologis dan kemanusiaan, seperti yang baru-baru ini dialami Filipina, Vietnam, dan Palau, menunjukkan bahwa komitmen yang lemah untuk pengurangan emisi dan penyediaan pendanaan saat ini akan menyebabkan ongkos untuk menangani dampak perubahan iklim di masa depan makin tinggi,” kata Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) selaku Ketua Delegasi RI (Delri).
Selain melalui perundingan yang dihadiri oleh para negosiator, Pemerintah Polandia yang menjadi Presiden COP-19 juga akan mendorong keputusan di tingkat politik. Pada tanggal 20 November, tuan rumah akan menyelenggarakan High Level Ministerial Dialogue on Climate Finance yang diharapkan akan memberikan kejelasan lebih besar tentang jalan (pathways) yang akan ditempuh oleh negara maju untuk merealisasikan komitmen pendanaan USD100 milyar.
Isu pendanaan juga menjadi pokok bahasan utama dalam perundingan mengenai elemen-elemen yang akan menjadi “kesepakatan 2015” (the 2015 agreement), yaitu rezim global untuk penanganan perubahan iklim yang akan berlaku setelah tahun 2020. Indonesia menyampaikan pandangannya bahwa apapun aksi yang dicakup dalam kesepakatan 2015 untuk mencapai tujuan bersama menyelamatkan dunia dari berbagai macam bahaya perubahan iklim, hanya akan dapat dilaksanakan jika pendanaan tersedia dalam jumlah yang memadai, dapat diperkirakan dan berkelanjutan.
“Komitmen pendanaan yang terukur, termasuk untuk mendukung pengembangan dan alih teknologi, merupakan instrumen utama untuk membangun kepercayaan di antara negara-negara Pihak dan untuk memastikan partisipasi yang lebih luas dalam kesepakatan 2015” kata Suzanty Sitorus, negosiator pendanaan Indonesia yang juga Sekretaris Pokja Pendanaan DNPI kepada sidang perundingan mengenai kesepakatan 2015.
Dalam rezim pasca 2020, semua negara Pihak, termasuk negara-negara berkembang, diminta untuk mengambil komitmen pengurangan emisi yang lebih tinggi dan melaksanakan lebih banyak upaya adaptasi.
Sebetulnya, sejalan dengan Bali Action Plan yang dihasilkan pada COP-13 tahun 2007, Indonesia dan beberapa negara berkembang lain telah melakukan banyak kegiatan pengurangan emisi dan adaptasi. Oleh karena itu, Indonesia menekankan pentingnya rezim pasca 2020 mengakui upaya-upaya negara berkembang tersebut yang saat ini sebagian besar didanai oleh anggaran sendiri.
Contohnya, implementasi Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK dan RAD-GRK). Indonesia juga mendorong agar negara berkembang yang telah melakukan berbagai inisiatif dini (early actions) dengan target yang ambisius mendapatkan insentif pendanaan yang signifikan.
“Mekanisme pendanaan yang akan diterapkan untuk mendukung aksi dalam kesepakatan 2015 juga perlu memberikan ruang lebih besar bagi lembaga-lembaga nasional dari negara berkembang. Saat ini akses pendanaan internasional masih didominasi oleh lembaga-lembaga multilateral. Selain itu, kendali lembaga nasional dalam pengelolaan program yang didukung oleh sumber internasional perlu lebih ditingkatkan. Biar bagaimanapun, lembaga nasional memiliki pemahaman lebih baik mengenai kebutuhan khas di negara mereka masing-masing”, kata Suzanty. (Marwan Azis).