JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM-Dunia mengalami tekanan dengan pertumbuhan populasi dan kemajuan pembangunan, yang berdampak pada lingkungan dan sumber daya alam.
Demi menjaga kemaslahatan umat manusia, PBB telah mencanangkan Sustainable Development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan yang mencakup 17 bidang target yang diupayakan tercapai pada tahun 2030 mendatang.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Dr. Siti Nurbaya Bakar, memaparkan upaya-upaya nyata pemerintah Indonesia dalam mencapai target SDGs. Khususnya pada upaya mengontrol sektor kehutanan dan memulihkan lingkungan.
”Hutan sangat penting dalam pencapaian SDGs. Kebijakan nasional kehutanan kini telah sejalan dengan tujuan tersebut, dan perubahan besar telah terjadi di Indonesia menuju perspektif baru keberlanjutan,” tegas Menteri Siti saat menjadi pembicara kunci dalam Pembukaan The 24th Session of FAO Committee on Forestry (COFO-24), di Roma, Italia, Senin (16/7) waktu setempat. Lebih dari 130 negara anggota FAO hadir dalam Pertemuan yang berlangsung mulai 16 sampai dengan 20 Juli 2018.
Perspektif kehutanan di era Presiden Joko Widodo, kata Menteri Siti, telah bergeser untuk menciptakan keseimbangan sosial, menjaga lingkungan, serta hutan bernilai ekonomi untuk kepentingan negara dan masyarakat.
”Kami telah melakukan perbaikan kebijakan untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Kami juga menyelaraskan kebijakan kehutanan dengan rencana pembangunan, serta komitmen internasional termasuk SDGs dan Perjanjian Paris,” jelasnya.
Komitmen pemerintah Indonesia dalam mencapai SDGs tercermin dari peraturan Presiden nomor 59 tahun 2017 tentang tercapainya SDGs, yang terdiri dari sektor ekonomi, sosial, lingkungan dan tata kelola yang baik.
”Dalam pengelolaan hutan, pemerintahan Presiden Jokowi fokus mengatasi persoalan kehutanan untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial. Salah satunya dengan merangkul komunitas masyarakat sekitar hutan,” jelasnya.
Sebanyak 25.800 dari 80.000 desa yang terletak di dalam atau di sekitar kawasan hutan, telah diperjelas statusnya. 1,73 juta ha juga diberikan kepada 390.000 rumah tangga. Ini mengangkat sekitar 1,2 juta orang miskin dari sekitar 10 juta orang miskin di dalam dan sekitar hutan.
Pemerintahan Presiden Jokowi juga mengaktualisasikan HAM melalui pengakuan hutan adat yang belum pernah diberikan di masa pemerintahan sebelumnya. ”Untuk pertama kalinya, hak masyarakat adat diakui secara resmi pada Desember 2016. Jumlah area hutannya akan terus dikembangkan hingga 2,2 juta ha,” ungkap Menteri Siti Nurbaya.
Menteri Siti juga mengurai berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia khususnya KLHK dalam mencapai target-target dan indikator SDGs lainnya. Seperti upaya mengurangi polusi dengan penanaman kembali 400 ribu ha pohon di daerah eks pertambangan, mengurangi efek rumah kaca, mengurangi deforestasi, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, serta komitmen menjaga lahan gambut.
”Khusus untuk Karhutla, Indonesia berhasil menurunkan jumlah area terbakar dari 2,6 juta ha di 2015, menjadi 168 ribu ha di 2017. Dan untuk pertama kalinya dalam kurun waktu dua dekade, tidak ada asap lintas batas,” ungkap Menteri Siti.
Untuk target SDGs di bidang pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi, KLHK fokus pada pengembangan ekowisata di 54 Taman Nasional di Indonesia. Selain itu diberikan akses legal kelola hutan melalui Perhutanan Sosial untuk memperkuat ketahanan pangan. Untuk target SDGs menjaga produksi berkelanjutan, Indonesia melalui KLHK telah melakukan inovasi dengan membuat Sistem Informasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (SIPHPL).
KLHK juga terus memperbaiki tata kelola kelestarian hutan di Indonesia, salah satunya melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas.
”Terkait dengan tujuan nomor 15, Life of Land, Indonesia telah berhasil mengurangi tingkat deforestasi sekitar 0.45 juta ha per tahun, dibandingkan dengan rata-rata laju deforestasi 1990-2012 yang mencapai 0.92 juta ha dan telah melakukan upaya pembenahan tata kelola kawasan lindung dan memberikan perhatian pada konvensi keanekaragaman hayati,” jelas Menteri Siti.
Terkait dengan upaya mencapai SDGs, Indonesia juga memimpin beberapa kemitraan dengan dunia internasional, seperti agenda menjaga Heart of Borneo yang melibatkan Indonesia, Malaysia dan Brunei. Selain itu juga diinisiasi pengelolaan daerah aliran sungai lintas batas antara Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste, serta antara Indonesia dan Papua Nugini.
”Kami juga memulai kerjasama dengan Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo untuk meningkatkan pengelolaan lahan gambut di Kongo Basin dengan dukungan dari PBB bidang program lingkungan. Selain itu kami juga mempersiapkan pusat riset gambut di Indonesia,” jelasnya.
Selama tiga tahun terakhir Indonesia telah berbagi pelatihan teknis kehutanan dengan Timur Leste. Indonesia juga telah menjalin berbagai kemitraan dengan Uni Eropa, Inggris, Jerman, Norwegia, Denmark, Jepang, Korea Selatan serta multilateral organisasi termasuk FAO, UNDP, lingkungan PBB, ITTO, GEF, dan AfoCO dalam mempromosikan pengelolaan hutan Lestari.
Dengan pergeseran paradigma ini, Indonesia memiliki peran penting bagi dunia untuk mempertahankan ekosistem hutan dan mendukung agenda dunia pada pembangunan berkelanjutan. ”Mari kita bergandeng tangan, bekerja sama dan memastikan bahwa kita semua bergerak ke arah yang benar,” tegas Menteri Siti.
Pada sesi FAO Komite Kehutanan yang dipimpin oleh Akram chehayeb (Lebanon), turut memberikan pernyataan dalam Sesi Pembukaan adalah Presiden Sri Lanka Maithripala sirisena, Ketua Komite keamanan pangan FAO Slawomir Mazurek. Tercatat 99 negara anggota FAO hadir dalam Pertemuan yang berlangsung mulai 16 sampai 20 Juli.(Wan)
–>