JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM- Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) baru-baru ini menerbitkan Laporan Sintesis atas Laporan Penilaian Keenam. Laporan tersebut memPeringatkan bahwa pemanasan global di abad ini telah mencapai 1,1 derajat celcius dan akan melampaui batas 1,5 derajat celcius jika tidak ada penurunan drastis pada emisi gas rumah kaca (GRK). Bagi banyak negara, perubahan iklim telah terlihat dan seringkali melanda masyarakat yang paling rentan.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Indonesia semakin khawatir dengan dampak perubahan iklim. Akan tetapi, penyebaran pengetahuan tentang lingkungan dan perubahan iklim yang tidak merata telah menghambat beberapa upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kegiatan diseminasi pengetahuan perlu dilaksanakan dengan baik untuk melengkapi kerangka peraturan perubahan iklim yang telah diterbitkan oleh pemerintah Indonesia seperti target Nationally Determined Contribution (NDC) yang diperbarui dan net zero emission untuk tahun 2045 yang dihasilkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Penelitian dari Yale Program on Climate Change Communication menunjukkan bahwa dua pertiga dari 1.178 responden Indonesia mengaku hanya tahu sedikit atau belum pernah mendengar tentang perubahan iklim.
Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pemangku kepentingan utama seperti korporasi, yayasan dan filantropi di Indonesia memiliki pemahaman yang mendalam tentang risiko terkait iklim atau tidak. Menjadi pioner dalam aksi iklim bukanlah tugas yang mudah. Hal ini membutuhkan pemahaman menyeluruh tentang pandangan masyarakat dan keselarasan iklim dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Filantropi dan yayasan adalah salah satu kelompok pemangku kepentingan utama yang dapat memperkuat pesan tentang risiko terkait perubahan iklim. Filantropi memainkan peran penting dalam respons dunia terhadap perubahan iklim dengan menargetkan geografi, industri, dan masyarakat tertentu yang paling membutuhkan dukungan sehingga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perubahan sistem iklim.
Lanskap filantropi di Indonesia sejauh ini terkait erat dengan aspek sosial dan budayanya. Dalam beberapa tahun terakhir, filantropi dan yayasan di Indonesia sudah berupaya untuk menyelaraskan strategi mereka dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), termasuk penyebab lingkungan dan perubahan iklim. Namun hanya 19% filantropi di Indonesia yang telah menjalankan program terkait iklim, dan mayoritas dari mereka mendukung kesehatan dan pendidikan, berdasarkan Filantropi Indonesia 2022.
“Laporan IPCC baru-baru ini memperjelas bahwa kita memerlukan tindakan segera dan nyata untuk melakukan perubahan apapun dalam mengurangi krisis iklim. Salah satu caranya adalah memperkuat regulasi yang akan mendorong terobosan-terobosan yang signifikan.” ujar Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI melalui keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com di Jakarta (3/4/2023).
“Lembaga filantropi perlu memprioritaskan program dan kegiatan terkait krisis iklim, serta mengambil peran dalam mengatasi dampak perubahan iklim.” tambah Guntur Sutiyono, Indonesia Country Lead Climateworks Center.
Filantropi perlu menjadi bagian dari momentum perubahan iklim dan membangun pengetahuan tentang apa itu perubahan iklim, risiko iklim apa yang mereka hadapi, dan apa relevansi perubahan iklim dengan program mereka yang ada.
Salah satu jaringan filantropi Indonesia, Perhimpunan Filantropi Indonesia, memahami urgensi iklim yang mengakibatkan terbentuknya klaster filantropi lingkungan dan konservasi sebagai jangkar kegiatan mitigasi dan adaptasi iklim. Klaster ini mengakomodasi yayasan yang tertarik untuk memanfaatkan kolaborasi aksi iklim di antara para anggotanya.
“Klaster filantropi lingkungan dan konservasi aktif mendorong keterlibatan lembaga filantropi untuk mengatasi masalah lingkungan. Kami juga menyediakan forum diskusi bagi para penggiat lingkungan untuk dapat memberikan ide-ide dalam pelestarian lingkungan. Kegiatan seperti peningkatan kapasitas dan pendampingan teknis bagi staf lembaga tentang pengetahuan perubahan iklim telah dilakukan dan akan dilakukan secara berkala”, ujar Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Yayasan Belantara dan Koordinator Klaster Lingkungan dan Konservasi Filantropi Indonesia.
Yayasan dan filantropi percaya bahwa menciptakan ruang untuk dialog terbuka akan meningkatkan peluang bagi anggota klaster untuk mengembangkan kapasitas dan pengertian seputar visi mereka untuk aksi iklim.
Perubahan iklim adalah isu lintas sektoral. Internalisasi strategi aksi iklim sangat penting bagi filantropi yang bergerak tidak hanya di bidang lingkungan atau konservasi tetapi juga di bidang lain seperti kesehatan, pendidikan, pemberdayaan kelompok terpinggirkan, dan pembangunan ekonomi lokal. Pencapaian dalam mengatasi dampak perubahan iklim ini membutuhkan partisipasi semua pemangku kepentingan dengan mengejar kreasi dan kolaborasi multi-stakeholder. Dalam dekade ini, aksi kolektif menjadi sangat penting untuk menjadi motor penggerak antar pemangku kepentingan untuk saling melengkapi dan mempercepat pencapaian agenda bersama terkait perubahan iklim (Marwan Azis)