MUARA GEMBONG, BERITALINGKUNGAN.COM– Di ujung utara Kabupaten Bekasi, tempat Sungai Citarum bertemu Laut Jawa, hamparan hutan mangrove di Muara Gembong menjadi garis pertahanan terakhir dari abrasi dan perubahan iklim.
Namun, seiring waktu, tekanan dari aktivitas manusia dan perubahan lingkungan membuat ekosistem ini rapuh. Untuk memahami seberapa sehat hutan ini bertahan, sekelompok dosen dan mahasiswa dari Program Studi Teknik Lingkungan Institut Kesehatan dan Teknologi PKP Jakarta (IKTJ) terjun langsung ke medan.
Selama lima hari, dari 25 hingga 30 Juli 2025, tim peneliti yang dipimpin oleh Dr. Faisal M. Jasin, ST., M.Si., bersama Alexander Sanjaya, S.Hut., M.Ling., menyusuri kawasan mangrove Muara Gembong, bukan sekadar untuk melihat, tetapi untuk mengukur napas ekosistem tersebut.
Mereka mencatat kerapatan vegetasi, diameter batang mangrove, jarak antar tajuk pohon, salinitas air, pH tanah, hingga kelembaban tanah. Semua data itu dikumpulkan dari plot-plot yang dibagi dalam tiga kategori: sehat, sehat sedang, dan tidak sehat, berdasarkan analisis vegetasi (Anveg) yang mengacu pada Kepmen LH No. 201/2004 serta pengamatan satelit Sentinel-2A dengan teknik NDVI (Normalized Difference Vegetation Index).
“Penelitian ini bukan hanya soal data, tetapi juga menyangkut masa depan masyarakat pesisir dan kontribusi hutan mangrove dalam menyerap karbon,” ujar Dr. Faisal kepada Beritalingkungan.com.
“Kami ingin mengukur bukan hanya kesehatan vegetasi, tetapi juga stok karbon—karena hutan mangrove adalah salah satu penyerap karbon paling efisien di planet ini.”tutur mantan aktivis WALHI dan Environmental Parliament Watch (EPW) ini.
Namun penelitian ini tak hanya berhenti pada angka. Para peneliti juga berdialog dengan masyarakat dan pemangku kepentingan setempat. Wawancara dilakukan untuk memahami bagaimana masyarakat memanfaatkan mangrove, serta dampak sosial-ekonomi dari keberadaannya—atau kehilangannya.
Alexander Sanjaya, yang dikenal sebagai pakar ekosistem pesisir, menambahkan bahwa pendekatan ekologi sosial sangat penting dalam konservasi. “Mangrove bukan sekadar pohon yang tumbuh di lumpur. Ia adalah penyaring alami, rumah bagi kepiting dan ikan muda, penahan badai, dan sumber penghidupan masyarakat,” katanya.
Penelitian ini merupakan bagian dari hibah yang didanai oleh Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendiktisainteks) 2025. IKTJ menjadi salah satu institusi yang aktif dalam riset-riset lapangan berbasis lingkungan. Total ada empat dosen IKTJ yang menerima hibah tahun ini, dengan fokus penelitian yang beragam.
Yang menarik, mahasiswa yang terlibat mengaku mendapat pengalaman yang tak ternilai. “Saya baru pertama kali melihat langsung bagaimana kami mengukur pohon dengan pita ukur dan menyaring data satelit. Ini lebih dari sekadar belajar di kelas,” ungkap salah satu mahasiswa semester empat.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan ilmiah dalam menyusun master plan pengelolaan mangrove di Muara Gembong, yang selama ini berada dalam bayang-bayang pembangunan dan reklamasi. Pemerintah daerah pun menyambut baik inisiatif ini sebagai pijakan menuju kebijakan lingkungan yang lebih terintegrasi.
Ketika dunia menghadapi darurat iklim, Muara Gembong adalah pengingat bahwa solusi ada di akar-akar yang menancap diam di lumpur. Lewat riset seperti ini, para ilmuwan dan mahasiswa membuktikan bahwa hutan mangrove bukan sekadar lanskap eksotis, tetapi benteng terakhir kita (Marwan Aziz).