Berbagai jenis kue yang bahan bakunya menggunakan berbagai sumber pangan lokal. Foto : Ilustrasi: discovermagazine.com |
JAKARTA, BL- Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia menjadi salah satu konsumen beras terbesar di dunia. Namun populasi penduduk Indonesia terus meningkat menjadi salah satu faktor meningkatnya konsumsi beras.
Hal inilah yang membuat Kementerian Pertanian memberikan perhatian yang besar pada ketersediaan beras, tetapi juga berusaha untuk mengembalikan keberagamanan sumber pangan lokal untuk mengurangi konsumsi beras tersebut.
Melirik perjalanan bahan makanan pokok di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, pada tahun 1954, pola makan masyarakat Indonesia masih bisa dikatakan bervariasi. Kala itu, beras memang sudah menjadi menguasai separuh sumber bahan makanan pokok. Namun, ubi kayu dan jagung masih bisa bersaing. Pergeseran pola makanan masyarakat Indonesia yang menjurus hanya pada beras saja mulai terjadi pada tahun 1984 yang sudah mencapai lebih dari 80 persen. Hal ini semakin memprihatinkan ketika pada tahun 2010, sumber pangan yang lain bisa dikatakan mulai menghilang.
Banyaknya konsumsi beras ini menjadi salah satu penyebab semakin banyaknya penyakit degeneratif di masyarakat Indonesia, seperti diabetes dan penyakit yang lain. Berdasarkan hasil survei Indonesia Berseru, yang aktif berkampanye soal pangan lokal, pada 300 anak muda tentang pola makan mereka, ditemukan bahwa karbohidrat menjadi unsur yang sangat dominan. Pola makan yang salah inilah yang juga memicu munculnya penyakit degeneratif tersebut.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang mengarahkan masyarakat untuk bisa sedikit demi sedikit mengubah pola konsumsi mereka agar tidak tergantung pada beras dan mulai mengkonsumsi sumber pangan lain seperti umbi-umbian.
Dalam diskusi para penggerak sumber pangan lokal dan Slow Food, di kantor Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI), Jumat 3 Mei 2013 lalu, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, MS Sembiring mengatakan bahwa permasalahan pangan ini sudah menjadi fokus program Yayasan KEHATI. “Kita akan selalu mendukung dan memfasilitasi gerakan di bidang pangan,” katanya.
Ke depan yayasan yang lahir di tahun 1994 ini akan semakin banyak bergerak di bidang pelestarian pangan lokal yang sejalan dengan pelestarian keanekaragaman hayati.
Namun, langkah Yayasan KEHATI tentunya akan lebih memberikan dampak jika didukung oleh berbagai pihak. Sebab, terkait sumber pangan lokal ini ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Konversi lahan sawah untuk keperluan lain sekitar 70 sampai 100.000 hektar per tahun. Dominasi sektor industri juga menjadi penyebab lajunya alih fungsi lahan.
Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Kementerian Pertanian, Sri Sulihanti, mengatakan bahwa pemerintah juga mulai bergerak ke arah pemberdayaan sumber pangan lokal ini.
“Diversifikasi pangan sebenarya sejak tahun 60 sudah diperhatikan. Karena ketergantungan kita terhadap satu makanan pokok saja yaitu beras. Lalu pada tahun 2009 ada percepatan sumberdaya lokal,” ujarnya.
Salah satu strategi pihaknya adalah dengan mendorong Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Pendekatan ini mencoba menggunakan pekarangan rumah sebagai lahan untuk menanam sumber pangan bagi keluarga.
Bahkan jika bisa dikembangkan dengan pemilihan jenis tanaman yang sesuai maka bisa menjadi sumber ekonomi alternatif bagi keluarga. Selain itu, melalui KRPL diversifikasi pangan dan ketahanan pangan di tingkat keluarga bisa tercapai.
Penggunaan pekarangan sebagai ladang untuk sumber pangan keluarga, tidak harus dengan pekarangan yang luas. Bahkan rumah-rumah tidak memiliki halaman seperti yang banyak ditemukan di Jakarta juga bisa digunakan.
Salah satu caranya adalah dengan menggunakan budidaya vertikultur, yaitu sistem tanam dengan pot bertingkat atau digantung-gantungkan. Tanaman yang bisa digunakan untuk budidaya ini bisa sangat beragam, mulai dari selada, pare, cabai, dan lain-lain. Cara lain yang digunakan adalah dengan intensifikasi pagar dengan menanam ubi jalar, kenikir, terong, dan lain-lain.
“Saat ini, Kawasan Rumah Pangan Lestari dengan memanfaatkan pekarangan ini sudah ada di 5.000 desa, termasuk untuk sekolah,” kata Suli.
Menyoal sumber pangan lokal, Ambarwati Esti Pertiwi memiliki pendekatan yang lain. Berawal dari keprihatinannya terhadap kondisi kesehatan di tempat tinggalnya, dia kemudian menggagas Bintaro Entrepreneur Community.
“Kami mengadakan survei kecil2an. dari survei itu dengan 100 responden hampir 67 persen di dalam keluarganya itu ada yang menderita penyakit degeneratif, yang tidak ada hanya 30 persen saja,” ungkapnya dihadapan peserta diskusi yang lain.
Untuk bisa berkontribusi mengurangi resiko penyakit degeneratif itu, komunitasnya bergerak dibidang pangan, lebih khususnya memberikan pilihan pangan sehat dari sumber pangan lokal.
Bersama komunitasnya, Ambar melatih banyak ibu-ibu rumah tangga untuk membuat produk dari umbi-umbian yang menghasilkan tepung non gluten.
Beragam kue dan panganan olahan ini selain sebagai upaya budidaya sumber pangan lokal, tetapi juga memberikan pendapatan tambahan bagi ibu-ibu rumah tangga. Usahanya ini membuatnya mendapatkan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara Tahun 2011. (hakiim).