JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Masyarakat Adat Pantai Raja Kabupaten Kampar Riau bersama Jikalahari, WALHI, YLBHI dan PMII mendesak Presiden Joko Widodo segera menyelesaikan konflik tanah antara masyarakat adat Pantai Raja dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V. Masyarakat Adat Pantai Raja meminta pemerintah pusat membantu mengembalikan tanah yang dirampas dan dikuasai PTPN V sejak 38 tahun yang lalu.
Perwakilan Masyarakat Adat Pantai Raja Gusdianto menjelaskan bahwa sebanyak 40 orang Masyarakat Adat Desa Pantai Raja, Kampar, Riau berangkat ke Jakarta untuk mendapatkan kembali tanah yang dikuasai PTPN V sejak tahun 1984. Penguasaan lahan oleh badan usaha milik negara itu telah merampas tanah masyarakat adat seluas 1013 hektar.
Menurut Gusdianto, pada tahun 1999, PTPN V mengakui terdapat 150 hektar tanah masyarakat masuk dalam area kebun inti PTPN V. Pengakuan tersebut disertai janji pengembalian tanah masyarakat adat. Pada tahun 2019, Komnas HAM memberikan rekomendasi penyelesaian konflik.
“Komitmen pengembalian tanah masyarakat dan rekomendasi penyelesaian konflik diabaikan oleh PTPN V dan justru masyarakat dikriminalisasi” jelasnya.
Terkatung-katungnya konflik masyarakat adat dan PTPN V selama lebih dari 38 tahun disebabkan keengganan negara menyelesaikan konflik tersebut. Lambatnya penyelesaian konflik mendorong masyarakat menjemput keadilan di Jakarta.
Sejak tiba di Jakarta pada Minggu, 23 Oktober 2022, masyarakat telah menyampaikan aduan kepada Menteri ATR/BPN, Kantor Staf Presiden, Kementerian BUMN hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pertemuan dengan Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto telah berlangsung pada Senin, 24 Oktober 2022.
“Dalam pertemuan itu, Menteri ATR/BPN mengatakan bahwa Kementerian ATR/BPN dalam penyelesaian konflik PTPN V dan masyarakat perlu duduk bersama dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Desa,” ujarnya.
Selanjutnya masyarakat adat Pantai Raja bertemu Tim Reforma Agraria Kantor Staf Presiden (KSP). KSP sudah menerima aduan masyarakat sejak tahun 2020 dan menindaklanjutinya dengan kunjungan lapangan.
Tim Reforma Agraria KSP menyampaikan terdapat 223 konflik yang melibatkan PTPN, termasuk PTPN V. KSP menyampaikan kendala penyelesaian konflik dengan entitas usaha BUMN terkait Peraturan Menteri BUMN No. 2 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara.
Menanggapi maraknya konflik yang melibatkan PTPN, Direktur Eksekutif WALHI Riau Boy Even Sembiring menyatakan konflik Masyarakat Adat Pantai Raja dengan PTPN V merupakan satu dari sekian banyak konflik agraria di Riau.
Ketika PTPN V abai terhadap penyelesaian konflik, hal itu menjadi cerminan buruk negara yang mementingkan bisnis dibandingkan kepentingan rakyat. “Seharusnya Kementerian BUMN dan badan usaha di bawahnya mengambil bagian dalam akselerasi program reforma agraria Presiden,” katanya.
Hambatan dalam penyelesaian konflik seperti Menteri BUMN dengan latar belakang pebisnis, harus dipaksa menjalankan bisnis dengan memperhatikan kepentingan rakyat. “Apabila tidak mau, presiden harus menggantinya. Gubernur Riau dan Bupati Kampar juga seharusnya menaruh perhatian terhadap konflik dengan memaksa PTPN V mengembalikan tanah masyarakat tanah adat atau mengusir PTPN V dari Riau”, tegas Boy.
Hal serupa diamini Ketua Bidang advokasi YLBHI Zaenal Arifin. Menurut Zaenal, konflik yang dihadapi masyarakat adat Pantai Raja merupakan satu dari sekian konflik yang gagal diselesaikan pada dua periode rezim Jokowi. Menurutnya, reforma agraria hanya jadi lips service.
“Penyelesaian konflik agraria membutuhkan komitmen politik dari presiden karena tipologi konflik melibatkan lintas kementerian,” tegasnya.
Zaenal menambahkan, “Naasnya, saat ini rezim Jokowi dikelilingi oleh pejabat publik yg terlibat dalam pusaran bisnis yang menjadi pemicu berbagai konflik agraria.”
Konflik yang menimpa masyarakat adat juga terjadi karena ketiadaan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta wilayahnya. Untuk itu, Zaenal menyerukan agar segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. (Jekson Simanjuntak)