oleh Jekson Simanjuntak
JAYAPURA, BERITALINGKUNGAN.COM – Kosmas Boryam, perwakilan masyarakat adat Kampung Wembi, Distrik Mannem, Kabupaten Keerom, Papua tertunduk lesu saat diminta bercerita tentang sepak terjang perusahaan sawit yang menghancurkan hutan adat mereka.
Sebelum perusahaan sawit datang, Kosmas dengan mudahnya berburu di dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sekaligus membiayai sekolah anaknya. Kondisinya kini berubah drastis.
“Kita sering berburu ke hutan, tujuan untuk dapat seperti rusa. Kami bisa jual, jadikan uang, baru kita biaya anak sekolah,” kata Kosmas dalam webinar bertajuk “Jaga Eksosistem, Jaga Iklim: Pengelolaan Sumber Daya Alam Papua oleh Masyarakat Adat” yang diselenggarakan Yayasan EcoNusa, Jumat (22/10).
Kosmas Boryam, warga Kampung Wembi, Distrik Mannem, Kabupaten Keerom, Papua. (sumber: Jekson Simanjuntak) |
Selain berburu, Kosmas juga bercocok tanam. Ia memelihara kebun coklat, vanili, tanaman hortikulutura dan tanaman buah. Hal itu ia lakukan sebagai langkah antisipasi, mengingat hutan sebagai sumber kehidupan terus menyusut.
“Hutan harus dilindungi. Itu dari kita sendiri, karena masing-masing suku, kebanyakan hutannya sudah dikuras oleh kelapa sawit,” ujarnya.
Ia mengatakan, sejak kehadiran PTPN II (era 80-an) dan Rajawali Group (tahun 2008) menyebabkan kehidupan masyarakat adat semakin sulit. Mereka tidak menikmati manfaatnya. Terbukti, untuk membiayai sekolah anak Kosmas masih kewalahan.
Khusus coklat dan vanili, Kosmas punya harapan besar. Ia ingin menjual hasil panennya hingga ke luar Papua jika memungkinkan. Namun sayang, upaya tersebut belum terwujud karena terkendala pembiayaan.
“Kalau boleh, Pemkab. Kerom perhatikan itu petani, karena sekarang kita sedang pikirkan itu, dimana pendapatan kampung harus terjadi. Yaitu kebun coklat, vanili, karena anggarannya cukup besar,” terangnya.
Dengan laju deforestasi yang tinggi, Kosmas khawatir nasib anak cucunya kelak. “Pemerintah harus perhatikan masyarakat adat di kampung masing-masing. Termasuk kehutanan juga harus keras, supaya kita bersatu dengan adat, dan kita harus lindungi itu hutan, karena hutan penting bagi masyarakat adat,” ujarnya lirih.
Magdalena Penaf, warga Kampung Wembi, Distrik Mannem, Kabupaten Keerom, Papua. (sumber: Jekson Simanjuntak) |
Hal serupa juga dikeluhkan oleh Magdalena Penaf, warga Kampung Wembi lainnya. Menurutnya, ia sudah tidak memiliki wilayah adat, karena telah dirampas oleh perusahaan perkebunan sawit.
“Bapa dan mama, saya tidak tahu, karena saya tidak punya wilayah. Wilayah yang saya tahu cuma sebatas milik keluarga. Cuma itu,” kata Magdalena.
Padahal sepengetahuannya, hutan merupakan milik komunal masyarakat adat yang menyediakan banyak hal. Karena itu harus dijaga. “Saya bisa buru karena saya tahu itu punya orang tua. Punya hak wilayah disitu,” terangnya.
Hutan sebaiknya dikelola dengan baik dan benar, sehingga memberikan manfaat besar, tidak hanya bagi alam namun juga bagi masyarakat adat. Lebih jauh, hutan juga sanggup menyediakan kebutuhan biaya sekolah agar anak mendapatkan pendidikan terbaik.
“Saya bisa kelola hasil alam yang ada. Saya bisa menanam dan saya bisa berhasil. Saya punya anak juga bisa berhasil,” ucapnya.
Oleh karena itu, Magdalena mempertanyakan, mengapa hutan adat milik sukunya menghilang. Wilayah yang dulunya dikuasai secara bersama-sama, kini telah berpindah tangan.
“Jadi bapa, mama, kalo memang disitu ada DPRD 1, DPRD 2, DPRD 3, kalo boleh kita melanjutkan hutan itu yang bagaimana? Untuk kita bisa menghasilkan yang baik dan itu masa depan kita,” katanya.
Meskipun hutan yang tersisa tidak luas, Magdalena berharap masyarakat adat dapat menjaganya. Sudah saatnya warga dilibatkan, karena mereka yang paling tahu batas wilayahnya masing-masing.
“Karena kebelakangnya, saudara saya yang punya keturunan dia tidak akan tahu wilayah itu. Karena cuma saya yang tahu, maka adik saya siapa yang kasih tunjuk, karena pemerintah akan datang itu cari siapa?” ujarnya.
“Cari mama toh! Karena mama punya langkah. Saya langkah dimana disitu anak juga bisa langkah. Saudara pun juga bisa langkah. Tidak bisa semata-mata hanya saya punya diri sendiri,” ucap Magdalena menambahkan.
Hal lainnya adalah memiliki visi yang benar. Sebagai bagian dari masyarakat adat, sudah seharusnya menerapkan kebijakan ekonomi yang berkeadilan.
“Ekonomi yang benar, contohnya semacam ‘bapak coklat’. Coklat telah menganggap hutan sebagai ekonomi dasar buat kami orang Papua. Tapi sekarang coklat sudah tiada,” katanya.
Selama ini, Magdalena meyakini, pola pengelolaan kawasan yang berkelanjutan telah dilakukan. Hal itu bisa dilihat dari pemanfaatan hasil hutan non kayu, seperti rotan, termasuk menjaga tanaman sagu tetap lestari.
“Karena dari hutan kami bisa tahu, rotan bisa dijadikan kursi, kayu bisa dijadikan tiang rumah, serta kami tunjukkan bagaimana cara bertani. Mengapa orang tua kami bisa makan sagu, sementara kami makan beras atau nasi,” paparnya.
Ini menjadi semacam ironi, ketika orang tua Magdalena hanya tahu panggul sagu, sementara anak-anaknya dipaksa menanam padi seiring lahan yang terus berkurang. “Yang kasih tunjuk, setahu saya hanya bapak, bisa tanam sagu dan bisa makan sagu ke hutan,” katanya.
Buruh perkebunan kelapa sawit sedang beristirahat. (sumber: Agus Andrianto/CIFOR) |
Investasi Kelapa Sawit
Kabupaten Keerom merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea. Dilansir dari laman papua.go.id, secara geografis Keerom merupakan wilayah dengan kemiringan sekitar 52,2%. Untuk wilayah lahan datar sekitar 44,05% sedangkan 2,75% adalah wilayah perbukitan dan rawa.
Ketinggian Kabupaten Keerom bervariasi antara 0 – 2000 meter diatas permukaan laut, dimana Distrik Arso, Arso Timur dan Distrik Skanto merupakan daerah terendah (0 – 1000 mdpl). Sedangkan Distrik Waris, Senggi, Web dan Towe berada pada ketinggian 500 – 2000 meter.
|
Dikutip dari laman globalforestwatch.org, pada tahun 2001, Kabupaten Keerom memiliki 850kHa hutan primer, membentang lebih dari 94% dari luas daratannya. Pada tahun 2020, Keerom telah kehilangan 1,74kha hutan primernya.
“Angka itu setara dengan 1,49 juta ton emisi CO₂,” demikian keterangan yang tertera di situs global forest watch.
Data kehilangan tutupan hutan di Kab. Keerom, Papua. (sumber: www.globalforestwatch.org) |
Masih berdasarkan data yang sama, sepanjang 2001 – 2020, Kabupaten Keerom telah kehilangan 36,2kHa tutupan pohon, setara dengan penurunan tutupan pohon sebesar 4,0% dan emisi CO₂e sebesar 32,2Mt.
Sebelumnya (2000), tutupan pohon di Kabupaten Keerom meliputi tiga kategori, yakni hutan alam (856kHa), perkebunan (42.9kHa) dan non-hutan seluas 9.33kHa.
Menurut Kosmas, perubahan besar terjadi ketika PTPN II yang merupakan pionir dalam pengembangan kelapa sawit hadir di Kabupaten Keerom. Kebun kelapa sawit mulai popular di tahun 1983 dengan memperkenalkan konsep ‘plasma’ kepada petani transmigram dan PTPN II sebagai ‘inti’nya.
“Kebun kelapa sawit di Keerom dulu milik PTPN II, saat kami masih kecil-kecil,” katanya.
Jalan milik PTPN II yang berada di Kec. Arso, Kab. Keerom, Papua. (sumber: Andre Patti) |
Saat itu, orang tua Kosmas belum mengetahui maksud kehadiran PTPN II di wilayahnya. Namun karena pemerintah yang meminta, mereka merelakan tanah adatnya digunakan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit.
“Sehingga hutan besar itu, mulai dari Arso, Wor sampai Lebi ditebas oleh PTPN II,” paparnya.
Seiring waktu, perkebunan kelapa sawit memiliki areal lahan terluas yaitu 47.986,98 Ha atau mencapai lebih dari 99% luas lahan tanaman perkebunan di Kabupaten Keerom. Pada tahun 2010, produksi kelapa sawit mencapai 90.588,16 ton.
Setelah sekian tahun berlalu, Kosmas mengaku jika orang tuanya selaku perwakilan masyarakat adat Mannem belum pernah menerima ganti rugi atas pelepasan hak tanah tersebut.
“Tidak pernah digantirugikan kepada pemilik. Sampai tahun-tahun itu telah berlalu, karena Keerom di mata Jakarta seperti ‘merah domba’, maka hutan harus dikasih bersih,” katanya.
PT Tandan Sawita Papua (PT. TSP) di Arso Timur Kabupaten Keerom, berbatasan dengan Papua New Guinea. (sumber: Yason Ngelia) |
Selain PTPN II, Kosmas juga bercerita tentang sepak terjang Rajawali Group melalui anak perusahaannya, PT Tandan Sawita Papua (TSP). PT. TSP melakukan pembukaan hutan di Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom.
“Sekarang, PT. TSP boleh dikatakan salah satu investor baru di Keerom. Akibatnya, Suku Mannem yang dulunya punya hutan besar itu sudah hancur,” terang Kosmas.
Peresmian pembukaan hutan ditandai dengan penanaman pohon sawit oleh Gubernur Papua kala itu, Barnabas Suebu. PT TSP kemudian mengantongi SK Gubernur Provinsi Papua No. 7 Tahun 2010 pada 24 Januari 2010, dengan areal APL seluas 18.337,90 Ha. Kemudian untuk area konservasi seluas 4.477,82 Ha dan lahan efektif seluas 13.862 Ha.
Dalam sambutannya, Barnabas menyatakan pembukaan sawit sebagai langkah awal masa depan Papua yang lebih baik, seperti dikutip dari kompas.com.
Luas lahan sawit di Kab. Keerom, Papua 2005 – 2010. (sumber: katadata.co.id) |
Sebelumnya, lahan sawit di Kabupaten Keerom pada periode 2005 – 2010 memiliki luas yang bervariasi. Pada tahun 2005, misalnya, luasnya 13000 Ha, dan tahun 2006 menjadi 9300 Ha.
Luasan itu terus bertahan hingga tahun 2009. Uniknya di tahun 2010, luas lahan sawit melonjak hingga 15.0003 Ha. Akibatnya, hutan keramat milik suku Mannem yang selalu dijaga akhirnya musnah.
“Hutan keramat yang kita lindungi sudah tidak ada. Tapi yang lebih banyak itu kelapa sawit,” tegasnya.
CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar. (sumber: Jekson Simanjuntak) |
Maraknya perkebunan kelapa sawit di Papua menjadi keprihatinan tersendiri bagi CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar. Ia mengatakan, penebangan hutan atau deforestasi menyumbangkan 30 persen emisi gas rumah kaca secara global.
“Jika deforestasi tak dapat dikendalikan, perubahan iklim yang terjadi akibat pemanasan global akan berdampak pada setiap aspek kehidupan masyarakat,”kata Bustar dalam diskusi virtual bertajuk “Tanah Papua: Benteng Terakhir Hutan Tropis Dunia” pada Jumat (21/8/2020).
Bustar menyebut Tanah Papua sebagai benteng terakhir hutan hujan tropis di Indonesia. Hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi telah terkikis akibat alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan dan pertambangan.
Jika dihitung-hitung, dalam kurun waktu 1990 hingga 2019, luasan hutan Tanah Papua berkurang hampir 2 juta Ha dari total 33 juta Ha. “Tidak dapat dipungkiri, hutan di Bumi Cenderawasih merupakan salah satu hutan yang paling diincar saat ini karena hutan di wilayah Indonesia lain sudah mulai habis,” ungkapnya.
Ketua Poksus DPR Papua John NR Gobay. (sumber: papuainside.com) |
Libatkan Masyarakat Adat
Ketua Kelompok Khusus (Poksus) DPR Papua John NR Gobay menyesalkan minimnya pelibatan masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA). Hal itu mengakibatkan masyarakat adat menjadi pihak yang terpinggirkan.
“Dalam regulasi Indonesia, tidak sama sekali disebutkan bahwa pengelolaan SDA wajib mendapatkan ijin masyarakat adat, padahal masyarakat adat telah ada sebelum negara ada,” katanya.
Seharusnya izin tertulis dari masyarakat adat sangat dilakukan. Namun yang terjadi, “Hanya disebutkan adanya musyawarah dan terkesan formalitas saja. Dan itu bukan sebuah prasyarat. Syarat utamanya adalah izin pemerintah pusat.”
Akibatnya bisa dipastikan, banyak hutan, baik hutan lindung maupun hutan adat berubah bentuk menjadi perkebunan kelapa sawit ataupun kawasan tambang.
“Pemerintah daerah tidak banyak mendapatkan kewenangan,” tegas John yang merupakan anggota DPR Papua periode 2019 – 2024.
Selama ini, kewenangan Pemprov Papua dibatasi melalui UU Sektoral dan UU no.23 Tahun 2014 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah. Pasal 4 ayat 1 UU no.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua juga menjelaskan tentang kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan SDA.
“Sehingga kita sulit mengukur komitmen pemprov dalam pengelolaan hutan untuk masyarakat adat,” katanya.
Oleh karena itu, “Kalau mau bicara pengelolaan SDA di Papua, cara pandang kita harus clear dulu, orang Papua ini dipandang bagaimana?” kata John.
Apakah Papua disukai karena tanahnya yang kaya dan subur atau karena manusianya yang seharusnya tidak berbeda dengan manusia lainnya?
“Dalam situasi ini, kita harus jujur sebenarnya pemerintah melihat Orang Papua (masyarakat adat) apakah dicintai karena materinya, oleh karena tanahnya yang subur ataukah karena manusianya yang disebut masyarakat adat harus mendapatkan penghormatan sesuai hakekatnya,” tanya John.
“Ini yang kami lihat belum ya…” imbuhnya kemudian.
Direktur Eksekutif Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (Pt.PPMA) Papua Naomi Marasian. (sumber: Jekson Simanjuntak) |
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (Pt.PPMA) Papua Naomi Marasian menjelaskan bahwa masyarakat adat seharusnya menjadi subjek, bukan objek pembangunan.
“Sebagai subjek, maka semua hal yang menyangkut objeknya itu menjadi bagian dari kesatuan yang menyatu di ekosistem,” paparnya.
Masyarakat adat berbicara tentang ruang hidup dan kehidupan yang didalamnya mencakup manusia dan lingkungan (alam). Pasalnya, alam merupakan rumah besar manusia yang harus dijaga.
Menurut perempuan kelahiran Oktober 1973 itu, masyarakat adat telah memahami pentingnya ekosistem bagi kehidupan. Ekosistem dibentuk akibat hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya.
“Bahkan dapat dikatakan sebagai suatu tatanan kesatuan yang utuh, menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi,” ujar Naomi yang aktif dalam perlindungan masyarakat adat.
Sementara ekologi terbentuk akibat adanya hubungan antara unsur biotik (mahkluk hidup yaitu: manusia, hewan, tumbuhan dan berbagai keanekaragaman hayati) dan abiotik (benda mati, air, udara dan oksigen).
Kemudian terbentuk tatanan yang menyediakan ruang hidup bagi seluruh makhluk melalui aturan dan nilai dalam pemanfaatannya, baik dari aspek sosial, budaya, ekonomi dan ekologi. Kesemuanya merupakan satu kesatuan yang saling terikat.
“Ko jaga ekosistem juga jaga iklim, pasti ko menikmati. Ko menerima, ko tidak rugi dan ko punya anak cucu akan tetap hidup,” katanya. Atas kesadaran itu, masyarakat adat tidak akan merasa lebih hebat, karena alam telah berkontribusi besar terhadap kehidupan mereka.
Bagi Bustar Maitar, kerusakan hutan Papua berdampak besar bagi masyarakat Papua, terutama masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari sumber daya hutan. Masyarakat adat menganggap hutan sebagai ibu kandung yang memberi makan anak-anaknya.
“Sistem tradisional inilah yang digunakan untuk mengelola hutan demi mencukupi kehidupan sehari-hari,” ujarnya. Dengan rusaknya hutan, masyarakat adat akan kehilangan sumber pangan dan budaya yang telah mereka jaga sejak zaman dahulu.
Oleh karena itu, Bustar mengajak semua pihak untuk melindungi hutan dan ekosistemnya. “Perlindungan itu tidak hanya terbatas untuk hutan Papua tapi hutan yang masih tersisa di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Masyarakat adat sedang mengikuti diskusi tentang hak ulayat di aula Bappeda Keerom, Arso Kota. (sumber: Jubi/Timoteus Marten) |
Lindungi Hutan Adat
Kesadaran untuk melindungi hutan adat dari ancaman investasi nakal menjadi perhatian Kosmas, pasca maraknya perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Keerom. Kesadaran itu membuat Suku Mannem yang berada di empat kampung, yakni Wembi, Uskwar, Kibay dan Yetti bersepakat untuk membuat peta wilayah adat masing-masing.
Peta itu menjadi pegangan jika sewaktu-waktu terjadi sengketa diantara mereka ataupun sengketa dengan pihak perusahaan.
“Kami dari lembaga adat suku sampai tua-tua adat (Keret) sudah punya bayangan untuk kita buat peta masing-masing suku, sampai dengan kampung. Sampai dengan klan-klan yang ada,” terang Kosmas.
Peta itu merupakan bukti dari kepemilikan lahan ulayat yang ditetapkan dan disetujui oleh masing-masing Keret. Didalamnya mencakup sejumlah hal, mulai dari wilayah berburu, wilayah ladang hingga hutan keramat.
“Supaya jangan diperkecil, masing-masing Keret jaga alam itu sendiri. Jangan kita terlalu harap pemerintah, karena pemerintah datang pasti kita kasih, hutan habis. Maka kita sendiri harus jaga itu,” tegasnya.
Dengan menerapkan mekanisme adat, Kosmas berharap keempat kampung tidak akan menjual lahannya ke pihak mana pun. Ini sekaligus bentuk perlindungan Suku Mannem terhadap wilayah adatnya demi masa depan anak cucu mereka.
“Saya tahu hanya di keempat kampung tadi, hutan itu mau habis atau tidak, itu ada pada pemiliknya sendiri. Jika pemilik itu dia keras, dia tahan, tidak mungkin hutan dia kasih habis. Kayu isi pun tetap, dia hidup untuk masa depan anak cucu,” ujarnya.
Kosmas menambahkan, “Kalau hari ini, contoh bapak, karena saya lapar, trus saya kasih sekian puluh hektar dan saya terima uangnya. Sama saja, saya bunuh itu generasi saya ke depan.”
Oleh karena itu, Ia berharap pemerintah daerah memberi perhatian lebih, sehingga masyarakat adat mampu mengoptimalkan hasil kebun tanpa harus menjual lahan.
“Misalnya tadi coklat, kita tidak basmikan itu hutan, hanya berapa saja. Vanili itu tidak terlalu luas dia,” ucapnya.
Apa yang dilakukan Kosmas, diyakini Naomi sebagai bentuk tanggungjawab masyarakat adat dalam menjaga hutan mereka. Dengan demikian, kesadaran telah muncul dari bawah, karenanya harus didukung oleh pemerintah daerah.
Selama ini, fakta menunjukkan bahwa pengelolaan SDA di Papua lebih banyak diberikan kepada investor besar melalui izin tertentu. Sementara masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan kerap distigma sebagai perambah liar/ ilegal, ketika kedapatan mengambil hasil hutan seperti kayu. “Padahal mereka bekerja dengan alat-alat sederhana dan mengambil sesuai kebutuhan,” katanya.
Dalam pengelolaan SDA, pihak perusahaan lebih mengutamakan keuntungan ketimbang membangun relasi dengan stakeholder (masyarakat adat). Juga banyak perusahaan yang tega menggusur, mengadu domba, membangun polarisasi dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
“Bahkan pada kondisi ekstrem mengakibatkan kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM akibat keserakahan investor besar,” katanya.
Di sisi lain, sektor ekonomi berbasis kerakyatan belum maksimal diimplementasikan pemerintah daerah. Tak heran jika harapan agar masyarakat Papua mandiri secara ekonomi, seperti yang dilakukan oleh misionaris Belanda tidak pernah terwujud.
“Yang terjadi, masyarakat malah kehilangan sumber penghidupan dan tanah adatnya dimakan oleh broker yang kemudian menjual izin kepada investor baru,” ucapnya.
Hal lainnya, ketika praktik suap kepada masyarakat adat ternyata tidak sebanding dengan potensi SDA yang dimiliki. Atau saat investor mengaku rugi, sementara mereka mampu membayar jasa pengamanan, termasuk membayar mahal untuk pengurusan dokumen yang dilakukan diluar kewajaran.
Juga ketidakadilan dalam penegakan hukum. Naomi mengeluhkan minimnya pengawasan dari pemerintah setempat, sehingga masyarakat adat mengalami kriminalisasi, sementara perusahaan yang melanggar aturan tetap dibiarkan.
Saat ini, masyarakat adat masih kesulitan mendapatkan ruang pengelolaan ulayatnya. Yang terjadi kemudian, mereka malah bergantung kepada perusahaan. “Perusahaan kemudian menciptakan kasta anak emas dan anak tiri. Masyarakat disekitar perusahaan tidak berkembang secara merata,” katanya.
Berkurangnya hutan ulayat akibat penyerobotan disikapi John Gobay sebagai perampasan hak hidup. Terbukti ketika lahan seluas 1.256.153 Ha diberikan atau dilepas untuk perkebunan sawit. Adapun yang dimanfaatkan untuk Hutan Tanaman Industri seluas 524.675 Ha.
“Sedangkan HPH Adat atau izin yang direncanakan untuk masyarakat adat Papua dengan Perdasus Papua no.21 tahun 2008, total luasnya hanya 78.040 Ha,” katanya.
Melalui Pergub no. 13 tahun 2010 tentang pemanfaatan hasil hutan bagi masyarakat hukum adat, jumlah lahannya sangat kecil. “Bahkan untuk melaksanakan 78 ribu Ha itu, Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) dari KLHK dan kajian hukum lingkungan KLHK belum turun juga,” ujarnya.
Dari data itu terlihat jelas bahwa perizinan bidang kehutanan di Papua diutamakan kepada pengusaha besar, sedangkan masyarakat kecil masih kesulitan untuk mengakses izin.
Legislator Papua minta eksekutif terbitkan Pergub tentang hutan adat. (sumber: Istimewa) |
Kerja DPR Papua
Sejak Perdassus no.21 tahun 2008 diundangkan, Pemprov Papua telah meminta Menteri LHK untuk mengeluarkan NSPK, sehingga masyarakat adat memperoleh izin pemanfaatan hutan masyarakat hukum adat (IPHMHA).
“Sayangnya sampai hari ini kita belum memperolehnya, padahal sudah mengajukan sekian kali,” kata John.
IPHMHA diperlukan agar masyarakat adat dapat memanfaatkan dan melakukan tata kelola hutan adatnya. Baik hasil hutan berupa kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan.
Di waktu bersamaan, regulasi baru seperti UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan beberapa Permen LHK justru menyandera hak masyarakat adat.
“Karena dinas kehutanan mengatakan tunggu NSPK, maka kami mengajukan regulasi baru agar orang Papua dapat mengelola hutannya secara baik, dan harapannya menjadi tuan di negerinya sendiri,” ujar John selaku pengusung Perda tentang pemanfaatan hukum adat.
Ia menambahkan, “Hingga saat ini belum ada kata sepakat dengan dinas kehutanan, karena mereka masih menunggu ‘dewa’ yang namanya NSPK dari KLHK.”
Jika diberi kepercayaan, John yakin pemerintah daerah mampu memanfaatkan SDA secara bijak berpedoman pada kearifan lokal. Ini bisa dilihat, ketika masyarakat adat mampu mendorong pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan dalam menjaga ekosistem.
“Kita ingin secara perlahan menghentikan upaya perluasan lahan sawit, pengelolaan kayu dan sisanya dikembangkan hasil hutan bukan kayu,” ungkapnya.
Selanjutnya, John mengusulkan agar kawasan industri segera dibangun di Papua, sehingga hasil hutan bisa dijual untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan masyarakat adat, dan membuka lapangan pekerjaan.
“Termasuk menciptakan sektor produksi lanjutan untuk produk-produk yang berasal dari kayu, seperti: mebel, flooring. Termasuk hasil hutan bukan kayu juga,” katanya.
Ilustrasi konsesi perkebunan sawit di Papua. (sumber: Yayasan EcoNusa/Iwan Kurniawan) |
Memetakan Ruang Hidup
Masyarakat adat menjadi pihak yang terpinggirkan karena tidak memiliki peta ruang hidup yang disepakati bersama. Padahal mengidentifikasi ruang hidup terkait wilayah adat telah dilakukan sejak lama. Termasuk struktur kelembagaaan, mekanisme pengambilan keputusan, pembagian peran, hingga pembagian ruang kelola serta pola pemanfaatan.
“Karena itu, perlu kembali memetakan ruang hidup sesuai dengan konteks kesukuan,” kata Naomi.
Identifikasi potensi menjadi bagian penting dari ruang hidup. Hal-hal seperti; lokasi sagu, lokasi kebun, hutan tanaman obat (herbal), hutan tempat berburu, hutan tempat pengambilan bahan untuk pesta budaya, sumber mata air, hingga tempat keramat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat adat.
Sementara identifikasi potensi SDA dan ekonomi sesuai potensi kampung dapat dilakukan dengan melalui langkah sederhana. Misalnya, memperkuat perencanaan termasuk skema penganggaran, pemberdayaan ekonomi disesuaikan dengan komoditi unggulan kampung, penguatan kelembagaan dengan membentuk Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) dan peningkatan kapasitas kelompok kerja (Pokja) dari unit usaha yang dimiliki.
“Misanya pembentukan Pokja Kakao, Pokja Vanili, Pokja Gaharu, dan Pokja Perempuan,” ujar Naomi.
Hal lainnya, membangun jaringan kerja untuk produk hasil olahan termasuk pemasarannya (coklat cendrawasih, vanili) serta mendorong ketahanan pangan di masa pandemi Covid-19.
Selanjutnya, Naomi mengusulkan pemetaan tata ruang hidup di wilayah adat. Pemetaan meliputi beberapa hal, seperti: ruang hidup yang dilindungi komunitas adat, ruang hidup yang dimanfaatkan oleh komunitas adat dan ruang hidup yang dilindungi sambil diambil manfaatnya oleh komunitas adat
“Dalam sistem tata ruang masyarakat adat, ada ruang yang bisa dikelola, dimana wilayah produksinya mungkin ada tempat-tempat penting yang harus dilindungi, yang mungkin terkait sejarah, mungkin ada mata air dan juga tempat keramat,” ujarnya.
Juga tak ketinggalan tempat untuk menyimpan sumber-sumber pangan dan alat produksi masyarakat adat.
Melalui pemetaan, masyarakat adat akan memiliki pengetahuan yang bisa diaplikasikan untuk menghadapi persoalan yang mungkin terjadi. Menjawab kebutuhan terkait pemanfaatan ruang, bukan saja oleh masyarakat adat namun untuk menjawab pihak perusahaan jika dibutuhkan.
“Oleh sebab itu, pemetaan menjadi penting dalam rangka membangun posisi tawar untuk menjangkau wilayah mereka. Juga wilayah yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain yang lebih besar,” pungkasnya. (end)