KUALA LUMPUR, BERITALINGKUNGAN.COM — Urbanisasi dan industrialisasi global telah meninggalkan ceruk dan jejak karbon yang sangat besar yang tidak dapat “diserap” namun tetap mencemari lingkungan .
Saat ini, dunia bersiap untuk mengadvokasi sesuatu yang berpotensi sebagai upaya kolektif tunggal dan terbesar dalam upaya menghentikan, bahkan pada akhirnya membalikkan efek pemanasan global dan perubahan iklim. Namun pertanyaannya tetap, apakah kita memiliki apa yang diperlukan untuk “dekarbonisasi” pada tahun 2030.
Associate Professor Chong Meng Nan dari School of Engineering, Monash University Malaysia mengatakan, jawaban yang jelas untuk ini adalah “Tidak”.
“Sebagian besar negara masih sangat bergantung pada penggunaan bahan bakar turunan karbon sebagai sumber energi utama mereka, dan dengan berbagai infrastruktur energi terkait bahan bakar fosil yang ada,” kata Chong.
Berdasarkan Perjanjian Paris, diharapkan emisi karbon dunia perlu dikurangi hingga 50% pada tahun 2030 untuk menjaga kenaikan suhu global tidak mencapai 1,5°C di atas tingkat pra-industri.
“Ini berarti kita perlu ‘memisahkan’ hubungan antara urbanisasi global dan kegiatan industrialisasi dari emisi karbon,” ungkapnya. Ini menunjukkan bahwa sementara kita melakukan urbanisasi dan industrialisasi lebih cepat, emisi karbon di lingkungan harus turun secara signifikan.
“Ironisnya, konsep decoupling hampir tidak mungkin sepenuhnya tercapai dalam jangka pendek hingga menengah kecuali kita memiliki sistem dan infrastruktur energi yang berkelanjutan dan terbarukan yang siap dipasang yang dapat memenuhi tujuan skala yang ditetapkan,” tegas Dr Chong.
Dalam bergerak menjauh dari ekonomi berbasis karbon, ada juga kebutuhan untuk mengadopsi metode rekayasa baru, sama seperti orang yang beradaptasi dengan gaya hidup yang ramah lingkungan.
Chong memimpin tim peneliti nasional dan internasional yang terdiri dari ilmuwan terkemuka, rekan pascadoktoral dan mahasiswa PhD untuk mengembangkan sistem nanoteknologi agar mampu menghasilkan bahan bakar hidrogen (H2) hijau dan bahan kimia C1-C4 yang berguna.
“Bahan bakar H2 hijau memainkan peran penting selama masa transisi energi kritis ini,” katanya. Namun, menurut Chong, banyak area yang masih memerlukan desain dan perbaikan teknik baru, mulai dari produksi, penyimpanan, transportasi, dan penggunaan.
Ketika bahan bakar H2 dibakar, ia akan menghasilkan energi dan air sebagai produk sampingan dan menghilangkan emisi karbon, yang tidak diragukan lagi bermanfaat bagi lingkungan.
“Salah satu masalah utama seputar produksi H2 terletak pada input energi yang dibutuhkan untuk mengekstraksi H2 yang hadir dalam berbagai senyawa, seperti air (H2O), amonia (NH3), metana (CH4), hidrogen peroksida (H2O2), dan lain-lain,” terang Chong.
Temuan ini menjadi kontra-intuitif untuk menghasilkan bahan bakar H2 ketika masih menggunakan bahan bakar fosil. Artinya, kegiatan tersebut masih berkontribusi pada emisi karbon dalam siklus hidup produk, dan tidak mendukung dalam arti ekonomi.
Saat ini, reaksi pergeseran air-gas menyumbang lebih dari 95% dari produksi H2 global. Pergeseran ini dinilai sebagai bahan bakar H2 coklat dan/atau abu-abu, karena masih menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara dan gas alam dalam produksinya.
“Bahan bakar H2 semacam itu tidak menjamin ‘identitas berkelanjutan’, karena hanya bertindak sebagai bahan bakar bayangan,” kata Chong.
Membakarnya, menurut Chong, sama dengan menggunakan bahan bakar fosil dan masih berkontribusi pada emisi karbon antropogenik yang bertebaran masif di lingkungan.
Pendekatan rekayasa hijau
Tim peneliti yang dipimpin Chong mulai melakukan riset pada tahun 2013 melalui dukungan dari berbagai universitas, dan skema pendanaan kompetitif nasional dan internasional sebesar lebih dari RM20 juta, dan terus berkembang hingga saat ini.
Beberapa proyek penelitian yang sedang dikembangkan diharapkan menjadi solusi rekayasa hijau untuk industri terkait di Malaysia dan negara-negara lain secara global.
“Kami mengadopsi konsep ‘keseluruhan desain sistem‘ dalam pendekatan teknik kami. Kami meneliti dengan cermat hubungan dan sinergi antara faktor-faktor sistem dalam memastikan sistem rekayasa hijau yang paling layak, hemat biaya dan ramah lingkungan yang bisa diimplementasikan,” ujarnya.
Chong menambahkan, “Keberlanjutan adalah inti dari desain sistem proses material dan rekayasa kami, dan tidak dianggap sebagai ‘tambahan’ setelah menggunakan pendekatan rekayasa norma.”
Tim terus mengembangkan sistem nanoteknologi pragmatis dan canggih untuk meningkatkan produksi bahan bakar H2 hijau yang mencakup seluruh siklus hidup produksinya. Selain itu, ada sistem canggih lain yang sedang dikembangkan yakni fokus pada produksi, penyimpanan, transportasi, dan penggunaan bahan bakar H2 hijau.
Bekerja sama dengan industri, Chong dan tim siap mengantisipasi translasi cepat dan adopsi teknologi untuk membangun Malaysia sebagai pemasok yang kompetitif secara global dalam mengekspor bahan bakar H2 hijau pada tahun 2027.
“Sebagai imbalannya, ini akan membawa dampak dan perubahan sosial seiring penciptaaan perubahan paradigma menuju masyarakat energi bebas karbon,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)