Hutan Kalimantan. Foto : CIFOR. |
JAKARTA, BL- Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan dan Perubahan Iklim menyoroti pembentuakan Badan REDD+ yang dikukuhkan melalui Peraturan Presiden No. 62 tahun 2013 tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut.
Koalisi tersebut berdiri atas WALHI, Greenpeace, AMAN, KPSHK, JPPK, HUMA, FWI, Climate Justice, Bank Information Center, ICEL, dan DebtWacth Indonesia. Menurut mereka, proses politik untuk membentuk Badan REDD+ memakan waktu lebih dari 2 tahun. Periode ini cukup panjang, bahkan lebih lama dari pembentukan beberapa Undang-Undang. Namun, sangat disesalkan bahwa materi muatan Perpres ini sama sekali tidak menghasilkan terobosan apapun, baik bagi perbaikan tata kelola, perlindungan dan perwujudan hak asasi manusia, maupun persoalan pemulihan kerusakan hutan dan lahan gambut.
Koalisi NGO tersebut mempertanyakan proses pembentukan Badan REDD+ maupun materi muatan Perpres No. 62 tahun 2013. Menurut mereka, terbentuknya Badan REDD+ sepertinya menggambarkan manajemen panik rezim SBY. Pertimbangan pembentukan Lembaga REDD+ nampaknya tidak disertai dengan evaluasi yang memadai terhadap lembaga-lembaga non-struktural yang saat ini jumlahnya telah mencapai lebih dari 80 lembaga.
Banyak kajian menunjukan bahwa sebagian besar lembaga-lembaga ini tidak berjalan efektif tetapi sangat efisien dalam menghamburkan uang negara. Sejak awal, Koalisi telah mengingatkan bahwa kehadiran lembaga-lembaga transisi tidak akan mampu mengubah sistem yang korup kecuali jika disertai dengan perubahan yang mendasar pada lembaga-lembaga status quo yang membentengi diri dengan keras dari upaya-upaya reformasi.
Dalam hal ini, Lembaga REDD+ yang telah disunat di sana sini kemungkinan hanya akan memainkan peran minor bila dihadapkan dengan institusi-institusi mapan seperti Kementerian Kehutanan, Pertambangan, dan Pertanian yang seharusnya menjadi target utama upaya penurunan emisi.
Kedua, Badan REDD+ mengulang jebakan kompromistis lembaga-lembaga serupa yang akhirnya hanya mempunyai kewenangan koordinatif dan komunikatif. Banyak faktamembuktikan bahwa kewenangan koordinasi hanya menjadi pepesan kosong dan pemanis bibir. Mengingat besarnya persoalan kehutanan, termasuk tantangan politik yang dihadapi,Badan REDD+ seharusnya diberi ruang untuk mengevaluasi kinerja berbagai sektor, termasuk kehutanan, tambang dan perkebunan/pertanian, terutama dalam kaitannya dengan pelepasan emisi.
Koalisi memandang bahwa pembentukan Lembaga REDD+ ini telah terjebak dalam titik kompromi antar sektor yang menggelikan. Lembaga ini telah kehilangan kesempatan untuk meninjau perilaku deforestasi terpimpin yang digawangi sektor ekstraktif dan tidak cukup kuat untuk memberi diagnosa kebijakan yang tepat.
Ketiga, Perpres ini dibentuk menjelang PEMILU 2014 dimana transaksi dan ongkos politik mulai dikumpulkan oleh berbagai partai. Kewenangan lembaga ini yang nampaknya banyak menyinggung isu pendanaan REDD+ patut dijaga dari korupsi politik.
Masyarakat sipil mengapresiasi adanya kerangka pengaman pendanaan untuk mencegah resiko penyalahgunaan maupun penyimpangan. Namun, Koalisi NGO mencermati belum jelasnya kerangka pengaman yang dimaksud dalam Perpres berpotensi membuka penyalahgunaan maupun penelikungan makna kerangka pengaman untuk memuluskan kepentingan tertentu terkait Pemilu.
Keempat, Koalisi NGO menyerukan agar Badan REDD+ tidak terjebak dalam pendekatan proyek karena kompleksitas permasalahan kehutanan di Indonesia tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan proyek REDD+, seberapa pun besar nilainya. Hal ini karena yang menjadi permasalahan bukanlah dana, melainkan kejelasan langkah dan kemauan politik.
Kelima, Koalisi juga memperingatkan bahwa Perpres 62/2013 masih mengandung jebakan definisi yang mengartikan deforestasi hanya sebagai “perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan.” Artinya, pembukaan “kebun” HTI ataupun sawit tidak dianggap sebagai deforestasi. Dalam konteks tumpang tindih perizinan, kacaunya penataan ruang, dan korupsi, definisi deforestasi semacam ini sangatlah lemah.
Namun Koalisi mengapresiasi adanya niat Pemerintah melalui Perpres ini untuk mendapatkan sumber pendanaan yang mandiri dan tidak terikat (pasal 25) sebagai bentuk independensi dan kedaulatan dalam pengelolaan pendanaan.
Menurut mereka, seharusnya pasal 25 melindungi segala pengelolaan sektor kehutanan melalui REDD+ dari segala bentuk intervensi pendanaan dalam bentuk hutang, bantuan teknis, maupun hibah dengan syarat.
Pemerintah diimbau tidak menjadikan pasar karbon sebagai sumber pembiayaan bagi perbaikan hutan karena selain tidak dapat diandalkan untuk menghasilkan pengurangan emisi GRK, langkah ini juga tidak akan memberikan perlindungan hutan tambahan dan keadilan lingkungan. (Marwan Azis).