Hutan gambut Sumatera. Foto : Greenpeace. |
PALEMBANG, BL- Masyarakat dari 3 Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan beserta beberapa organisasi lingkungan melakukan pertemuan masyarakat gambut di Palembang.
Pertemuan ini sebagai respon maraknya konflik, perampasan lahan, kerusakan lingkungan dan beragam bencana akibat ekspansi HTI dan perkebunan kelapa sawit di kawasan gambut Sumatera. Mereka pun sepakat mendeklrasikan sebuah organisasi di sebut Masyarakat Gambut Pantai Timur Sumatera (22/07).
Irsyadul Halim, Sekjend Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) dalam keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan mengatakan, pemerintah menzinahi sendiri aturan yang mereka buat, contohnya Pulau Padang yang dikategorikan pulau kecil dan bergambut yang seharusnya tidak boleh ada HTI berdasarkan kepres 32 dan UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau pulau kecil , 200.000 hektar pulau kecil, padang, rangsang tebing tinggi kurang 200, faktanya konsesi dipulau padang 35.000 hektar , tebing tinggi mencapai 60.000 hektar HTI.
Kerusakan hutan gambut di Provinsi Riau sudah lebih dari 50%, dimana konsesi kesuluran di atas lahan gambut riau sudah mencapai 1,2 juta hektar dari 4,04 juta hetar.
Sedangkan dari Jambi, Direktur Eksekutif Walhi Jambi Musri Nauli menambahkan bahwa ekspansi HTI dan perkebunan kelapa sawit juga telah merusak 70 % kawasan gambut di 3 Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi. Luas kawasan gambut Jambi yang mencapai 713.838 hektar telah kehilangan fungsi ekolgis dengan signifikan dalam 1 dekade terakhir.
Proses pembentukan jaringan masyarakat gambut di Sumatera menurut Ketua Komite Persiapan Masyarakat Gambut Sumatera, Albadri Arif, tidak hanya sebatas masyarakat gambut di pesisir timur Sumatera, tetapi juga akan didorong untuk membangun hubungan dengan masyarakat hutan gambut di pulau lainnya, dimana harapannya dengan adanya jaringan masyarakat gambut di setiap provinsi, akan dapat mendorong kerja kerja kolektif rakyat untuk menghentikan konflik dan mencegah kerusakan kawasan gambut seperti kebakaran dan ekspansi perkebunan skala besar.
Anwar Sadat, Direktur Walhi Sumsel yang juga hadir dalam pertemuan itu, menyoroti kecerobohan pemerintah yang merebut sumber kehidupan masyarakat Desa Nusantara seluas 1200 hektar, Desa Marga Tani seluas ±789 hektar dan Dusun Tepung Sari, Desa Tirta Mulya dengan luas 615 hektar di Kabupaten OKI, yang telah puluhan tahun bekerja keras mengelola kawasan gambut menjadi daerah sentra produksi beras yang produktif.
Menurut Anwar, keberadaan masyarakat transmigrasi ini saat ini justru diujung tanduk setelah BPN mengeluarkan HGU kepada PT.SAML yang merubah kawasan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit.
Proses penghancuran lingkungan dan tatanan kehidupan rakyat belum berakhir, seolah melupakan kebakaran hutan dan gambut yang menenggelamkan beberapa provinsi di sumatera dan beberapa negara tetangga satu belan terakhir, para ilmuan yang diharapakan dapat membela kepentingan lingkungan dan rakyat seperti Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Himpunan Gambut Indonesia (HGI) justru mengusulkan revisi beberapa peraturan yang tentunya akan memperlancar ekspansi HTI dan sawit di kawasan gambut.
Beberapa peraturan yang diusulkan para akademisi dan pengusaha untuk direvisi antara lain PP No.150/2000 dan PP No.4/2001 : kriteria kerusakan lahan yang terdapat dalam lampiran, Kepres No.32/1990 : kriteria tentang pemanfaatan gambut yang dibatasi maksimum berkedalaman 3 meter seperti diatur dalam, Kepres no 6 tahun 2013 : Moratorium Penundaan izin baru.(Marwan Azis).