JAYAPURA, BERITALINGKUNGAN.COM – Greenpeace Indonesia secara resmi telah bersurat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang kelanjutan pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan sehubungan pasca keluarnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Pasalnya, meskipun izin telah dicabut hutan di Tanah Papua terus menyusut.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji menilai, jawaban KLHK sangat janggal dan tidak menjawab permintaan mereka. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyampaikan bahwa keputusannya saat memuat daftar perusahaan tersebut bersifat “deklaratif.” Tidak ada penjelasan lebih lanjut, baik dari KLHK maupun institusi lainnya.
“Apa yang dilakukan KLHK dalam penertiban izin ini merupakan bentuk teknikalisasi masalah, yang membuat masyarakat sangat dirugikan,” ungkap Sekar.
Akibatnya, masyarakat adat dihadapkan pada mekanisme penyelesaian masalah yang bertele-tele dan begitu rumit tanpa arahan yang jelas. “Termasuk, tidak adanya pengakuan hak atas tanah adatnya mereka,” ujarnya
Ketidakpastian penertiban izin yang dilakukan KLHK, salah satunya berdampak buruk bagi Masyarakat Hukum Adat di Lembah Grime Nawa, Provinsi Papua. Pengumuman pencabutan izin oleh Presiden awal tahun ini dipertanyakan, mengingat PT Permata Nusa Mandiri (PNM) yang masuk dalam daftar perusahaan yang dicabut, justru melakukan land clearing pasca pengumuman tersebut.
“Ini satu contoh pengingkaran atas komitmen presiden serta ketidaktegasan KLHK,” tukas Sekar.
PT PNM selama ini ibarat raksasa menakutkan bagi masyarakat hukum adat di Lembah Grime Nawa. Raksasa yang siap melahap hutan tempat mereka hidup, tempat yang menyediakan berbagai protein, karbohidrat, dan vitamin, dan tempat interaksi sosial.
“Kehadiran PT PNM di Lembah Grime Nawa, tak pernah mendapat persetujuan seluruh masyarakat hukum adat,” ujarnya. Masyarakat menyadari adanya kejanggalan ketika perusahaan mulai membuka akses jalan. Sejak itu, masyarakat konsisten menyampaikan penolakan.
PT PNM mengantongi surat keputusan pelepasan kawasan hutan dari KLHK sejak 2014. Keputusan dengan nomor 650/Menhut-II/2014 melepaskan kawasan hutan seluas 16 ribu hektar lebih untuk perusahaan.
Pelepasan kawasan hutan menjadi modal perusahaan untuk mengajukan hak guna usaha (HGU). Pada 2018 beberapa bidang tanah di lokasi izin perusahaan telah memperoleh HGU.
“Sayangnya, semua dokumen perizinan tak pernah memperoleh persetujuan dari masyarakat adat dengan informasi yang utuh,” ungkap Sekar.
Terbukti, masyarakat justru mengajukan penetapan hutan adat. Pada 2018, Bupati Jayapura menerbitkan Surat Keputusan Nomor 188.4/150 Tahun 2018 yang menetapkan Hutan Isyo Rhepang Muaif menjadi hutan adat pertama di provinsi Papua, yang berlokasi dalam wilayah adat di Grime Nawa.
Perwakilan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Tigor Hutapea menilai penetapan tersebut hanya janji, tanpa komitmen yang jelas. Pihak perusahaan justru mempercepat pembukaan hutan.
“Saat ini total hutan yang lenyap di konsesi PT PNM sejak pengumuman tersiar, lebih dari 100 hektar,” paparnya.
Masyarakat kemudian meminta pencabutan semua perizinan yang dikantongi PT PNM dan menuntut penetapan wilayah tersebut sebagai wilayah masyarakat hukum adat.
“Oleh karenanya, bupati wajib memastikan dirinya tidak memberi kesempatan perpanjangan izin lokasi PT PNM, mencabut izin lingkungan PT PNM, dan menghentikan operasi perusahaan,” tegas Tigor.
Pasca aksi yang dilakukan masyarakat tanggal 7 September 2022 lalu, Bupati Jayapura menyampaikan komitmennya untuk tidak memperpanjang izin lokasi PT PNM.
Dia juga mendukung proses pemetaan adat yang berlangsung di lokasi PT PNM serta berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Papua untuk melakukan peninjauan Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) PT PNM yang sudah dicabut serta peninjauan ulang HGU PT PNM.
Selain itu, menurut Tigor, pemerintah pusat perlu memastikan perusahaan nakal seperti PT PNM mendapatkan sanksi tegas dan melanjutkan segala upaya untuk pengakuan masyarakat adat, termasuk penetapan wilayah adat.
“Belum cukup rasanya jika menjadikan masyarakat adat sebagai simbol perayaan kemerdekaan tiap bulan Agustus. Janji terhadap masyarakat hukum adat harus dibayar tuntas,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)