Pemandangan dari udara menunjukkan hutan hujan alami di Kalimantan Barat, kawasan hutan berwarna coklat yang baru ditebangi, dan hamparan hutan yang baru dibuka yang baru saja ditanami bibit kelapa sawit. Foto ini diambil di dalam konsesi perusahaan kelapa sawit PT Lahan Agro Inti Ketapang. Laporan Under The Eagle’s Shadow memberikan bukti kuat bahwa sejumlah perusahaan termasuk perusahaan ini adalah perusahaan ‘bayangan’ yang berada di bawah kendali yang sama dengan grup RGE/Tanoto. Foto : Greenpeace.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM– Di balik deru sunyi pepohonan tropis yang tumbang dan kabut pagi yang menggantung di atas lanskap gambut yang dulu lebat, sebuah cerita rumit tentang kekuasaan, pengaruh global, dan deforestasi mengendap perlahan.
Cerita itu bukan tentang satu perusahaan, melainkan tentang jaringan tak kasatmata yang beroperasi di bawah bayang sang rajawali atau Under The Eagle’s Shadow (Di Bawah Bayang Sang Rajawali) seperti terkungkap dalam laporan investigasi Greenpeace International yang baru saja dirilis.
Greenpeace International merilis laporan investigasi mendalam ihwal perusahaan-perusahaan yang ditemukan memiliki hubungan dengan grup Royal Golden Eagle (RGE), sebuah grup perusahaan besar yang diakui dikendalikan oleh taipan Indonesia, Sukanto Tanoto.
Laporan berjudul Under The Eagle’s Shadow ini mengemukakan bukti kuat bahwa entitas yang diselidiki adalah perusahaan-perusahaan bayangan di bawah kendali bersama dengan grup RGE/Tanoto–grup korporasi multinasional/global yang bergerak di bidang bubur kertas dan kelapa sawit, serta industri lainnya di sejumlah negara.
Perusahaan bayangan adalah aset grup yang tidak diakui, sering kali ditempatkan di yurisdiksi-yurisdiksi kerahasiaan (secrecy jurisdictions), sehingga memungkinkan grup tersebut menghindari pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan dan sosial, termasuk dalam hal penggundulan hutan.
Investigasi ini memeriksa 194 perusahaan yang berbasis di Indonesia dan 63 perusahaan induk di luar negeri. Dari ratusan perusahaan pada daftar tersebut, ada perusahaan yang membabat habitat orangutan untuk menanam perkebunan kayu monokultur, juga ada perusahaan yang membeli kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan suaka margasatwa.
Dalam imperium perusahaan bayangan yang diselidiki ini, Greenpeace International menemukan dua perusahaan kebun kayu yang menjadi ‘juara’ perusak hutan di Indonesia pada 2022 dan 2023, serta satu perusahaan kebun sawit yang menduduki peringkat kedua penebang hutan terbesar pada 2023.
RGE membantah bahwa mereka mengendalikan entitas-entitas tersebut. Namun laporan ini menyimpulkan, dengan menggunakan pendekatan kehati-hatian, ratusan perusahaan yang diselidiki tersebut seharusnya diakui sebagai bagian dari grup RGE/Tanoto. Greenpeace International menilai bahwa RGE/Tanoto Group mestinya juga bertanggung jawab atas segala kerugian sosial dan/atau lingkungan yang diakibatkan oleh operasi perusahaan-perusahaan ini.
Laju deforestasi Indonesia sebenarnya sempat menurun setelah kampanye organisasi masyarakat sipil dan konsumen selama puluhan tahun. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, laju deforestasi beranjak naik lagi. Konversi hutan menjadi perkebunan kembali meningkat, terutama untuk perkebunan kayu monokultur dan kelapa sawit. Penggunaan perusahaan bayangan oleh kelompok perusahaan besar tampaknya menjadi faktor yang mendorong kembalinya tren buruk ini.
Sebab itu, Greenpeace International meneliti salah satu perusahaan sumber daya alam terbesar di Indonesia tersebut dengan menerapkan metodologi Shining Light on the Shadows. Dengan metodologi tersebut, Greenpeace International menunjukkan pula bahwa perusahaan pemegang merek ternama, perbankan, dan institusi pelaksana skema sertifikasi berkelanjutan sebenarnya bisa, dan semestinya melakukan penelitian semacam ini secara mandiri.
Kiki Taufik, Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia menyatakan, konsumen sudah bersuara bahwa mereka tidak menginginkan barang yang berasal dari penggundulan hutan. Agar produk mereka tetap laku di pasaran, banyak merek berjanji untuk berhenti membeli dari kelompok perusahaan yang menebang hutan dan mengeringkan lahan gambut di Indonesia.
“Namun, kelompok-kelompok tersebut tetap ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menyembunyikan aset di negara-negara suaka pajak, sehingga mereka dapat mempertahankan akses ke pasar yang mensyaratkan bebas deforestasi, walau sambil tetap menebang hutan.”ujar Kiki di Jakarta (21/05/2025).
Berdasarkan data dihimpun Beritalingkungan.com dari Greenpeace, sepanjang awal 2021 hingga Mei 2024, deforestasi seluas 68.000 hektare telah terjadi di konsesi-konsesi yang diyakini berada di bawah kendali bersama dengan grup RGE/Tanoto. Artinya, dalam waktu kurang dari empat tahun, hutan yang dibabat seluas Provinsi Jakarta. Hampir 36.000 hektare deforestasi terjadi di area yang dipetakan sebagai lahan gambut–lanskap yang amat penting untuk penduduk setempat dan iklim global.
Selain itu, ada pula pembangunan infrastruktur pabrik pemrosesan yang amat besar. Infrastruktur ini dikhawatirkan akan memicu kasus deforestasi baru–seperti pabrik kelapa sawit baru dan pabrik pulp baru berkapasitas besar di Kalimantan Utara yang bisa makin menggunduli hutan Kalimantan.
“Jika ingin tetap bersih, para pemilik merek dagang perlu mengevaluasi bukti ini dan mengakhiri keterlibatan mereka dalam deforestasi melalui RGE. Demikian pula, FSC harus menyelidiki semua perusahaan yang diidentifikasi dalam laporan. Jika FSC juga menemukan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berada di bawah kendali RGE/Grup Tanoto, maka proses remedi untuk APRIL harus dihentikan,” kata Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Terlebih lagi lanjut Refki, masyarakat Indonesia berhak mengetahui siapa yang menguasai tanah, dan siapa yang memutuskan apakah hutan akan bertahan atau tumbang. “Pemerintah harus menegakkan transparansi dan memberantas penggunaan perusahaan bayangan.”tandasnya (Wan).