JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Laporan terkini dari CDP, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada penyelenggaraan sistem pelaporan lingkungan dari perusahaan, perkotaan, negara hingga regional, menemukan bahwa Indonesia telah mengambil sejumlah langkah positif dalam mewujudkan komitmennya untuk menghentikan laju deforestasi dan mendorong penerapan pendekatan lanskap atau landscape approach dan yurisdiksi atau jurisdictional approach (LA/JA) di Indonesia.
Thomas Maddox, Global Director Forest and Land, CDP menjelaskan bahwa laporan CDP menyoroti peran LA/JA dalam menciptakan keselarasan antara sektor Pemerintah, swasta dan publik.
Dengan demikian, kolaborasi keselarasan antara sektor Pemerintah, swasta dan publik, serta masyarakat dalam pembuatan strategi serta kebijakan penggunaan lahan di Indonesia diharapkan mampu memperkuat program pemerintah untuk menghentikan laju deforestasi pada tahun 2030.
“Secara global, respon terhadap perubahan iklim masih jauh dari apa yang sudah ditargetkan pada Perjanjian Paris. Seringkali hambatan utama dalam mewujudkan ini berasal dari rendahnya kesadaran masing-masing individu,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima beritalingkungan.com, Jumat (28/1).
Karena itu, kegiatan kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak menjadi sangat dibutuhkan. LA/JA membantu mengatasi masalah lingkungan dan sosial di lapangan.
Deforestasi Indonesia
Tahun lalu, laju deforestasi di Indonesia menurun hingga 75% dengan cakupan area sebesar 5 kali luas kota Jakarta (jika dibandingkan dengan kondisi deforestasi sepanjang tahun 2018 dan 2019). Ini tercapai berkat kerja kolaboratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik publik maupun pihak swasta, melalui pendekatan LA/JA.
Pada periode 2018-2019, laju deforestasi mencapai 462.500 hektar atau setara dengan 650.000 kali luas lapangan sepak bola. Kehadiran LA/JA diharapkan mampu memastikan bahwa Indonesia dan juga negara lain di dunia tetap konsisten dalam memenuhi janji mengakhiri deforestasi pada tahun 2030 yang dibuat saat penyelenggaraan COP26 di bulan November 2021.
Laporan CDP mengungkapkan bahwa Indonesia memimpin secara global dalam penerapan LA/JA. Pencapaian ini terwujud berkat dukungan berbagai pihak, termasuk dalam hal ini Lingkar Temu Kabupaten Lestari atau LTKL, organisasi asosiasi Pemerintah Kabupaten yang dibentuk dan dikelola untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui prinsip kerja sama antara berbagai pemangku kepentingan.
John Leung, Director, Southeast Asia and Oceania, CDP mengatakan, pemerintah Indonesia telah memimpin dalam upaya memastikan bahwa pemantauan dan pencatatan kemajuan penyelenggaraan LA/JA bisa berjalan dengan baik. Dengan demikian, best practice yang telah dilakukan bisa dibagikan secara global melalui inisiatif yang dilakukan BAPPENAS (atau Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional) dan didanai oleh Uni Eropa (The Terpercaya Initiative).
“Saat penyelenggaraan COP26, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menyampaikan berbagai langkah yang sudah diambil Pemerintah dalam upaya menurunkan emisi karbon,” ujarnya.
Pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan menjadi kunci langkah strategis yang diambil Pemerintah. “Deforestasi telah turun hingga tingkat terendah selama 20 tahun belakangan ini, kebakaran hutan juga turun 82 persen di 2020 dan rehabilitasi kawasan lahan gambut dan hutan bakau juga saat ini sedang berlangsung,” katanya.
Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL)
Didirikan pada tahun 2017 oleh delapan kabupaten, saat ini LTKL memiliki sembilan anggota kabupaten dan bekerja sama dengan lebih dari 20 mitra terkemuka dari tingkat global, nasional, dan regional, termasuk CDP.
Kepala Sekretariat, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Gita Syahrani menjelaskan, setidaknya ada 23 penyelenggaraan pendekatan yurisdiksi di Indonesia, yang sedang aktif atau berlangsung di delapan provinsi dan 14 kabupaten. Tujuh provinsi di Indonesia telah secara terbuka mengungkapkan implementasi yang sedang berlangsung melalui kuesioner CDP pada tahun 2020.
“Dari jumlah ini, hanya lima di antaranya yang menyadari adanya penyelenggaraan implementasi LA/JA yang mencakup sekitar 56% kawasan hutan di negara ini,” terangnya.
Kondisi umum yang tersedia di provinsi masing-masing meliputi 1) deforestasi dan/atau degradasi hutan yang teridentifikasi sebagai masalah di wilayah tersebut, 2) memiliki kebijakan untuk mengatasi deforestasi dan/atau degradasi hutan, 3) memiliki rencana aksi perubahan iklim dan 4) aktif bekerjasama dengan dunia usaha atau swasta di bidang lingkungan hidup dan pengelolaan hutan.
“Kami melihat langsung bagaimana kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, swasta, mitra pembangunan dan masyarakat luas melalui pendekatan jurisdiksi mampu mendorong pembangunan lestari di kabupaten anggota LTKL,” terangnya.
Akan tetapi, yang amat penting adalah memastikan masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat paham betul mengapa mendorong pembangunan lestari itu menguntungkan dan penting. Hanya dengan cara itu upaya mendorong aksi kolaborasi bisa dilakukan lebih erat lagi.
” Dengan pendekatan ini, kami juga percaya bahwa dampaknya bisa mengubah perilaku yang eksploitasi dan menimbulkan perusakan lingkungan menjadi kegiatan yang jauh lebih lestari, baik secara konsumsi maupun produksi,” ujar Gita.
Selanjutnya, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten perlu memimpin dan mengkoordinasikan berbagai kerangka kerja serta inisiatif internasional maupun nasional yang sedang berjalan di wilayah mereka untuk mencapai hasil lanskap/yurisdiksi yang diharapkan secara efektif.
Dengan pengumpulan, pelaporan, dan pemantauan data, Pemerintah Daerah dapat menunjukkan kemajuan dalam menangani masalah lingkungan dan sosial yang rumit di wilayahnya masing-masing. “Serta menunjukkan kontribusinya terhadap komitmen global (misalnya: NDC dan SDG) dan membuat kemajuan mereka lebih mudah diakses ke pasar global,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)