KALBAR, BERITALINGKUNGAN.COM- Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat bersama Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (BTNBBBR) dan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) kembali melakukan pelepasliaran 7 individu orangutan di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya wilayah kerja Resort Mentatai, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Nanga Pinoh (31/10)
Mereka adalah orangutan yang dititiprawatkan Balai KSDA Kalbar di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Orangutan YIARI Ketapang sejak tahun 2010 hingga 2020. Semuanya merupakan orangutan yang diselamatkan dari kasus pemeliharaan ilegal satwa liar dilindungi. Sebelum dilepasliarkan, mereka menjalani masa rehabilitasi di pusat rehabilitasi orangutan di YIARI di Desa Sungai Awan, Ketapang.
Proses rehabilitasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan sifat alami mereka, sekaligus membuatnya memiliki kemampuan bertahan hidup di habitat asli. Orangutan semestinya hidup bersama induknya sejak lahir sampai usia 6-8 tahun.
Selama masa pengasuhan inilah, orangutan perlu mempelajari berbagai kemampuan hidup seperti memanjat, mencari makan, dan membuat sarang. Namun karena berbagai sebab, bayi orangutan ini terpisah dari induknya dan berakhir di tangan manusia, sehingga kehilangan kesempatan untuk mempelajari segala kemampuan tersebut. Proses rehabilitasi sampai pelepasliaran ini bisa memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Waktu yang diperlukan dapat mencapai 14 tahun, tergantung kemampuan masing-masing individu.
Pelepasliaran orangutan merupakan satu langkah penting setelah rehabilitasi, sebagai upaya pelestarian satwa liar dilindungi serta pemulihan populasi orangutan di alam. Dari tujuh orangutan yang dilepasliarkan, dua orangutan bernama Rika dan Kamila berjenis kelamin betina.
Sementara Aben, Muaro, Onyo, Batis, dan Lambai berjenis kelamin jantan. Hal yang istimewa dari kegiatan pelepasliaran kali ini adalah empat dari tujuh orangutan ini adalah pasangan induk dan anak orangutan asuh. Mereka adalah Kamila-Batis dan Rika-Aben.
Rika merupakan orangutan betina yang berasal dari Desa Batu Tajam, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dia diselamatkan dari perdagangan dan pemeliharaan ilegal satwa liar dilindungi oleh WRU BKSDA Kalimantan Barat dan YIARI pada 28 Oktober 2013.
Pemeliharanya mengaku memperoleh Rika dari anaknya yang membeli orangutan tersebut dari seorang pemburu seharga Rp500.000. Selama tiga bulan dipelihara, Rika diikat dengan rantai di bawah rumah dan diberi makan nasi serta sayur-sayuran.
Manager Animal Management YIARI, Andini Nurillah, menyatakan bahwa selama sepuluh tahun belajar di pusat rehabilitasi YIARI, Rika menunjukkan kemajuan signifikan dalam menguasai keterampilan bertahan hidup sebagai orangutan. “Tidak hanya menguasai kemampuan bertahan hidup sebagai orangutan, Rika juga terbukti mampu mengajarkan kemampuan ini kepada orangutan lainnya, bahkan dapat menjadi induk asuh yang mumpuni bagi bayi orangutan,” ujar Andini.
Sementara itu, Aben, orangutan jantan yang diselamatkan dari kasus pemeliharaan satwa liar di Ketapang pada 10 Desember 2019 menjadi bayi orangutan beruntung yang tidak perlu menjalani masa rehabilitasi panjang seperti Rika. Rika dipasangkan dengan Aben untuk menjadi ibu angkat.
Hasilnya, Rika bisa mengajari Aben dengan berbagai kemampuan yang diperlukan untuk bertahan hidup seperti memanjat, mencari makan, dan membuat sarang. Rika juga bisa menjadi pelindung bagi Aben yang bertubuh mungil. Strategi ini berhasil. Rika menjadi induk yang protektif dan Aben menjadi lebih percaya diri untuk mempelajari hal-hal baru.
Kisah sukses induk-anak asuh orangutan lainnya datang dari Karmila dan Batis. Karmila adalah orangutan betina asal Benua Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat. Ia diselamatkan dari kasus pemeliharaan ilegal satwa liar dari seorang warga yang mengaku mendapatkan Karmila dai perkebunan sawit di daerah tersebut.
Andini menegaskan, selama 14 tahun di YIARI, Karmila telah menjalani proses rehabilitasi intensif dan menunjukkan perkembangan luar biasa. “Ia menjadi orangutan yang mahir mencari makanan, membuat sarang, serta memiliki keterampilan bertahan hidup lainnya yang esensial di alam liar,” tegasnya.
Pada 19 November 2020, Karmila mulai disosialisasikan sebagai induk asuh bagi bayi orangutan bernama Batis. Selama masa sosialisasi, Karmila mampu beradaptasi dengan baik, menunjukkan kemampuan keibuan yang kuat, dan berhasil menjadi induk asuh yang andal. Saat ini, Karmila yang diperkirakan berusia sekitar 15 tahun siap untuk dilepasliarkan bersama anak asuhnya, Batis.
Sementara Batis adalah orangutan jantan yang berasal dari Desa Batu Lapis, Kecamatan Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Ia diselamatkan pada 17 April 2020 dari kasus pemeliharaan satwa ilegal dilindungi.
Sebelumnya, Batis ditemukan oleh seorang warga di hutan saat mengumpulkan kayu dan tidak menyadari orangutan merupakan satwa dilindungi. Selama tiga bulan dipelihara, Batis ditempatkan dalam kandang kayu berukuran 50 x 80 cm dan diberi makan nasi, pisang, pepaya, serta minum air putih bahkan kopi. Ketika diselamatkan, Batis diperkirakan berusia sekitar 1 tahun.
Setelah menjalani masa karantina, ia mulai disosialisasikan dengan Karmila, induk asuhnya, pada 19 November 2020. Melalui sosialisasi ini, Batis belajar berbagai keterampilan bertahan hidup, seperti foraging, traveling, dan membuat sarang. Selama empat tahun rehabilitasi, kondisi kesehatannya terpantau baik dan siap untuk dilepasliarkan bersama induk asuhnya, Karmila.
Muaro adalah orangutan jantan asal Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang tiba di YIARI pada 11 Februari 2018. Kisahnya bermula saat ia terpisah dari induknya akibat pembukaan lahan oleh salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit pada Desember 2016.
Selama itu, Muaro dipelihara oleh seorang warga desa dan diberi makanan manusia seperti susu, air gula, nasi, dan lauk. Penyelamatan Muaro dilakukan oleh tim gabungan WRU BKSDA Kalimantan Barat dan YIARI pada 9 Februari 2018. Setelah enam tahun menjalani rehabilitasi, Muaro yang saat ini berusia delapan tahun sudah menunjukkan kemampuannya untuk hidup liar di habitat aslinya.
Onyo adalah orangutan jantan yang berasal dari daerah Nek Doyan, Ketapang. Ia pertama kali tiba di Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) pada 10 Maret 2013, setelah ditemukan oleh seorang warga di bawah pohon. Berdasarkan penuturan warga, induk Onyo sempat terlihat di sekitar lokasi, namun kemudian pergi menjauh meninggalkan Onyo sendirian.
Selama masa pemeliharaan sebelum diserahkan ke YIARI, Onyo diberi makan nasi dan susu kental manis oleh warga setempat. Setelah sebelas tahun menjalani rehabilitasi di YIARI, Onyo yang saat ini diperkirakan berusia 12 tahun dinilai sudah layak dilepasliarkan.
Lambai adalah orangutan jantan yang berasal dari Dusun Tanjung Lambai, Kecamatan Nanga Tayap, Kalimantan Barat. Ia tiba di Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) setelah diselamatkan oleh tim gabungan WRU BKSDA Kalimantan Barat dan YIARI pada 30 April 2016.
Kisah penyelamatannya dimulai ketika seorang karyawan perusahaan perkebunan kelapa sawit menemukan Lambai dalam sebuah kardus yang jatuh dari mobil. Setelah menjalani proses rehabilitasi selama 8 tahun, Lambai yang saat ini berusia 10 tahun dinilai siap untuk dilepasliarkan di habitat asli.
Rehabilitasi ini diperlukan untuk mengembalikan sifat dan kemampuan alami orangutan untuk bertahan hidup di habitatnya. Di alam bebas, bayi orangutan akan tinggal bersama induknya sampai usia 7-8 tahun.
Ia belajar dari induknya tentang bertahan hidup di alam sebagai orangutan. Dikarenakan bayi orangutan dipaksa berpisah dengan induknya untuk dijadikan peliharaan, bayi orangutan kehilangan kesempatan untuk menguasai kemampuan bertahan hidup.
Perjalanan untuk menuju titik pelepasan memerlukan waktu selama 3 hari, dari Pusat Rehabilitasi YIARI di Sungai Awan, Ketapang menuju titik pelepasan di dalam kawasan TNBBBR. Tim pelepasan berangkat dari Pusat Rehabilitasi YIARI di Ketapang pada tanggal 29 Oktober 2024 pada pukul 04.00 WIB.
Selama di perjalanan tim selalu memperhatikan kondisi orangutan yang dibawa agar tidak mengalami stres di dalam kandang, mengingat jarak tempuh yang sangat jauh. Memerlukan waktu setidaknya 17 jam bagi tim untuk mencapai di kantor seksi Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya di Nanga Pinoh. Tim beristirahat satu malam sebelum melanjutkan perjalanan ke titik pelepasan. Kegiatan pelepasan ini melibatkan lebih dari 100 orang yang terdiri dari masyarakat, BKSDA Kalbar, BTNBBBR, dan tim YIARI sendiri.
Keesokan paginya, perjalanan dilanjutkan menuju dusun terdekat dengan kawasan TNBBBR. Perjalanan darat ditempuh selama 5 jam, kemudian diteruskan dengan perahu motor selama 1 jam. Tidak sampai di situ, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki memasuki kawasan hutan TNBBBR.
Didukung oleh para porter yang berasal dari warga desa sekitar TNBBBR, perjalanan dengan memikul kandang ini memakan waktu hingga 5 jam. Setelahnya, keempat orangutan ditempatkan di dalam kandang habituasi agar bisa beristirahat dan sedikit beradaptasi dengan lingkungan baru. Keesokan harinya, tim melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dan ketujuh orangutan ini dilepaskan di dua titik pelepasan berbeda.
Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dipilih menjadi tempat pelepasliaran orangutan mengingat habitat tersebut menyediakan sumber pakan yang melimpah dan sesuai untuk habitat orangutan sekaligus menjadi bukti bahwa habitat di TNBBBR masih aman dan terlindung hasil survey tim gabungan BTNBBBR dan YIARI menunjukkan jumlah serta jenis pohon pakan orangutan berlimpah.
Selain itu, jumlah populasi orangutan di dalam kawasan juga masih sangat sedikit. Status kawasan TNBBBR sebagai kawasan konservasi lebih menjamin keamanan dan kesejahteraan satwa di dalamnya. Sampai saat ini, YIARI telah melepaskan 82 orangutan sejak tahun 2016.
Mengingat orangutan yang dilepaskan ini merupakan orangutan hasil rehabilitasi, YIARI bersama BTNBBBR menerjunkan tim monitoring untuk melakukan pemantauan perilaku dan proses adaptasi orangutan ini di lingkungan barunya. Tim monitoring yang terdiri dari masyarakat desa penyangga kawasan TNBBBR akan mencatat perilaku orangutan setiap 2 menit, dari orangutan bangun sampai tidur lagi setiap harinya. Proses pemantauan berlangsung selama 1-2 tahun, memastikan orangutan yang dilepaskan bisa bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul mengapresiasi upaya bersama ini sebagai permulaan yang baik dalam kepemimpinan Menteri Kehutanan yang baru. “Semoga kegiatan pelepasliaran ini menjadi langkah awal yang baik di awal kepemimpinan Menteri Kehutanan kita, Bapak Raja Juli Antoni.”ujarnya.
Dia juga menegaskan bahwa ini adalah upaya nyata dari kolaborasi pelestarian satwa liar di Indonesia.
“Saya bangga menjadi bagian dari tim yang memberi kesempatan hidup yang baru bagi orangutan yang sebelumnya perlu diselamatkan dan telah menjalani rehabilitasi. Pelepasliaran tujuh individu orangutan ini adalah bukti nyata dari komitmen bersama dalam upaya bersama pelestarian satwa liar yang dilindungi di Indonesia. Keberhasilan ini tidak lepas dari kerjasama yang solid antara YIARI, Balai KSDA Kalimantan Barat, dan Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Setiap individu orangutan yang kami lepasliarkan telah melalui proses rehabilitasi panjang dan menyeluruh, yang bertujuan agar mereka memiliki keterampilan bertahan hidup di habitat aslinya. Kami berharap langkah ini dapat memperkuat populasi orangutan di Kalimantan Barat dan mendukung pelestarian hutan yang menjadi rumah mereka,” tandasnya.
Kepala BTNBBBR, Andi Muhammad Kadhafi, menekankan bahwa keberhasilan ini merupakan hasil kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak. TNBBBR dipilih sebagai lokasi pelepasliaran mengingat habitat tersebut menyediakan sumber pakan yang melimpah dan sesuai untuk habitat orangutan.
Kepala BKSDA Kalimantan Barat, RM Wiwied Widodo, mengungkapkan pentingnya pelestarian satwa endemik Kalimantan. Ia menekankan bahwa orangutan adalah bagian dari kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia, yang harus dijaga dan dilestarikan. Dukungan dari semua pihak sangat penting untuk memastikan kelangsungan hidup spesies ini (Marwan Aziz)