
Ilustrasi lahan gambut. Foto : pantaugambut.id
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Ekosistem gambut Indonesia terus menghadapi ancaman besar akibat eksploitasi yang tak terkendali. Studi terbaru dari Kaoem Telapak dan Pantau Gambut yang dirilis kemarin mengungkapkan lemahnya implementasi regulasi pengelolaan lahan gambut, yang semakin memperparah konflik dan kerusakan lingkungan.
Berjudul “Melacak Jejak Pengelolaan Gambut: Ancaman, Konflik, dan Masa Depan Berkelanjutan”, studi ini menyoroti bagaimana perubahan tata guna lahan dan kebakaran hutan yang berulang menjadi ancaman utama bagi ekosistem gambut.
Sejarah menunjukkan bahwa lahan gambut sangat rentan terhadap aktivitas manusia, terutama eksploitasi untuk industri seperti Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan kelapa sawit, dan proyek strategis nasional seperti Food Estate.
Saat ini, sekitar 9,5 juta hektar ekosistem gambut telah beralih fungsi menjadi perkebunan, logging, dan HTI. Padahal, lahan gambut memiliki peran krusial dalam mitigasi perubahan iklim global. Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, menegaskan bahwa lahan gambut mampu menyimpan hingga 30% dari total cadangan karbon tanah dunia.
“Gambut adalah penyerap karbon alami yang luar biasa. Ekosistem ini juga menjadi penopang kehidupan Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang bergantung pada sumber daya alam di sekitarnya,” ujar Wahyu kepada Beritalingkungan.com (26/02/2025).
Namun, fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Studi yang dilakukan di tiga konsesi di Kalimantan Tengah mengungkap buruknya tata kelola ekosistem gambut, dengan temuan kebakaran berulang, konflik masyarakat, serta tumpang tindih lahan dengan proyek Food Estate. Hal ini mencerminkan ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi ekosistem gambut dan menegakkan hukum.
Lemahnya Regulasi ISPO dan EUDR
Studi ini juga mengkaji dua regulasi utama terkait keberlanjutan, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan European Union Deforestation-free Regulation (EUDR). Hasilnya menunjukkan masih adanya celah besar dalam penerapannya.
ISPO, misalnya, masih menghadapi tantangan serius di lapangan. Banyak perusahaan belum mematuhi prinsip dan kriteria keberlanjutan sesuai dengan Permentan 38/2020.
Sementara itu, regulasi EUDR memiliki keterbatasan pada definisi “hutan”, yang hanya mencakup lahan dengan tutupan pohon lebih dari lima meter dan tutupan kanopi minimal 10%. Definisi ini mengabaikan ekosistem unik seperti gambut yang memiliki peran ekologis penting.
Pelanggaran Perusahaan: Deforestasi dan Konversi Gambut Lindung
Temuan lain dari studi ini menegaskan adanya praktik ilegal dalam pengelolaan gambut oleh sejumlah perusahaan perkebunan sawit. Beberapa perusahaan di Kalimantan Tengah, seperti PT Agrindo Green Lestari, PT Citra Agro Abadi, dan PT Bangun Cipta Mitra Perkasa, terbukti melakukan deforestasi dan konversi lahan gambut lindung untuk perkebunan sawit.
Contohnya, PT Citra Agro Abadi (PT CAA) kedapatan menanam kelapa sawit di kawasan gambut yang seharusnya dilindungi. Pelanggaran ini tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga merampas hak Masyarakat Adat yang menggantungkan hidup pada ekosistem gambut.
Sementara itu, PT Bangun Cipta Mitra Perkasa diketahui memiliki riwayat kebakaran lahan sejak 2015 dan mengalami konflik lahan dengan proyek Food Estate.
Langkah Konkret untuk Menyelamatkan Gambut
Untuk mengatasi krisis ini, perlu adanya langkah konkret dan pendekatan multi-aspek. Ziadatunnisa Latifa, Juru Kampanye Kaoem Telapak, menegaskan bahwa penguatan regulasi dan penegakan hukum menjadi kunci dalam perlindungan lahan gambut.
“Kita butuh penegakan hukum yang lebih ketat terhadap praktik ilegal, peningkatan koordinasi antar kementerian, serta partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan,” tegas Zia.
Selain itu, advokasi terhadap negara-negara konsumen sawit juga perlu diperkuat agar mereka memahami kerentanan ekosistem gambut dan mendukung implementasi sertifikasi sawit berkelanjutan seperti ISPO serta regulasi seperti EUDR.
Lahan gambut adalah aset berharga bagi Indonesia dan dunia. Jika tidak segera dilindungi, kita tidak hanya menghadapi ancaman lingkungan yang lebih besar, tetapi juga kehilangan sumber daya alam yang vital bagi keberlanjutan generasi mendatang (Marwan Aziz).