MEDAN, BERITALINGKUNGAN.COM – Aliansi Gerak Tutup TPL bersama perwakilan masyarakat adat dari seputaran Danau Toba menggelar aksi di depan kantor PT. TPL, Gedung Uniplaza jalan Letjend. Haryono MT No.A-1, Rabu, 28/7/2021. Mereka menuntut penutupan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) karena telah menyengsarakan rakyat dan merusak lingkungan hidup.
Brema Sitepu, selaku pimpinan aksi dari Aliansi Gerak Tutup TPL menegaskan bahwa PT. TPL yang dahulu bernama PT. Inti Indorayon Utama telah mendapat penolakan dari masyarakat.
“Selama 30 tahun lebih PT. TPL telah menyebabkan penderitaan masyarakat di kawasan Danau Toba, antara lain merampas ruang hidup masyarakat, merusak ekosistem Danau Toba dan menyebabkan konflik kemanusiaan,” katanya.
PT. TPL diketahui memiliki konsesi seluas 167.192 Hektar, tersebar di 12 Kabupaten, mulai dari Simalungun, Asahan, Toba, Samosir, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Pakpak Barat, Padang Lawas Utara, Humbang Hasundutan, hingga kota Padang Sidempuan.
“Aktivitas PT. TPL berkontribusi terhadap deforestasi skala besar. Kami menemukan setidaknya 22.000 Ha kawasan hutan di bentang alam Tele sudah dirusak dan kemudian ditanami eukaliptus dengan sistem perkebunan monokultur,” ujar Brema.
Dari total 22.000 Ha hutan yang rusak, 4.000 Ha diantaranya berada di dalam kawasan Hutan Lindung. Perusakan kawasan tersebut menurut Brema sebagai perbuatan melanggar hukum. “Itu menyebabkan potensi bencana ekologis serta kerusakan lingkungan hidup,” katanya.
Perusahaan pengekspor bubur kertas itu sempat diulas Majalah Tempo dengan judul “Jurus Sulap Ekspor Kayu”, pada tahun 2020 lalu. Liputan itu merupakan hasil investigasi oleh sejumlah media dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Indonesia Leaks
“Perusahaan terindikasi melakukan manipulasi dokumen ekspor bubur kayu ke luar negeri dan memindahkan keuntungannya ke luar negeri,” ucapnya.
Tak hanya itu, menurut Brema, perusahaan juga kerap melakukan kekerasan terhadap warga, mulai dari intimidasi, kriminalisasi, penganiayaan hingga pelarangan petani untuk bertani di tanahnya sendiri.
“Haruslah diingat bahwa di masa lalu terjadi kekerasan bersenjata yang mengakibatkan dua warga sipil wafat yaitu Panuju Manurung (26 November 1998) dan Hermanto Sitorus (21 Juni 2000),” kata Brema saat orasi.
Lalu, dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2016-2021) PT TPL diduga melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap 63 warga. Terakhir terjadi pada18 Mei lalu, ketika PT TPL melakukan kekerasan terhadap 12 warga Masyarakat Adat Marga Simanjuntak Huta (Desa) Natumingka.
“Kasus itu memicu rasa marah dan geram masyarakat yang meluas, termasuk Togu Simorangkir, Anita Hutagalung dan Irwandi Sirait yang dengan spontan merencanakan aksi jalan kaki Toba-Jakarta untuk meminta Presiden Jokowi menutup perusahaan itu secara permanen,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)