JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menegaskan, sumber masalah ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria di Indonesia adalah penguasaan tanah dalam skala luar biasa oleh korporasi perkebunan yang difasilitasi pemerintah melalui penerbitan, perpanjangan, atau pembaruan Hak Guna Usaha (HGU), sekaligus pembiaran atas penelantarannya.
Oleh sebab itu, konflik agraria akibat HGU/HGB menjadi pekerjaan rumah besar saat ini yang ditunggu penyelesaiannya sejak 6 (enam) tahun lalu oleh masyarakat luas. “Utamanya petani, penggarap, buruh tani, masyarakat adat dan masyarakat miskin tak bertanah (landless/tuna kisma),” katanya.
Menurut Dewi, ada 8 (delapan) catatan kritis KPA terhadap penyataan Presiden Joko Widodo yang membenarkan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia, dan menyebut situasi ketimpangan bukan diakibatkan oleh pemerintahan di masanya. Saat itu, presiden menyampaikan janji Reforma Agraria dan pencabutan semua HGU/HGB yang diterlantarkan pengusaha untuk dibagikan kepada pihak lain.
Pertama, ini bukan kali pertama presiden berjanji akan menertibkan HGU-HGU terlantar dan mengkaitkannya dengan janji menjalankan Reforma Agraria. Selain itu, presiden beberapa kali menyampaikan akan serius menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan HGU (swasta dan BUMN).
“Tetapi, kami memandang janji ini belum serius dikerjakan. Sepanjang 6 (enam) tahun terakhir (2015-2020), telah terjadi 2.290 letusan konflik agraria di seluruh provinsi, dimana sepanjang periode tersebut, penyumbang konflik agraria tertinggi adalah perusahaan perkebunan (akibat HGU), bahkan di tahun 2020 konflik agraria akibat sektor perkebunan meningkat 28% dibandingkan tahun sebelumnya,” katanya.
Ribuan masyarakat, petani, masyarakat adat, dan aktivis agraria ditangkap dan mengalami kekerasan di wilayah-wilayah konflik agraria perkebunan.
Kedua, menertibkan tanah terlantar (HGU/HGB) itu sudah seharusnya, bahkan sejak awal pemerintahan seharusnya sudah dilakukan dan menjadi prioritas penyelesaian secara konkrit dan sistematis.
“Pembiaran berlarut terhadap keberadaan tanah terlantar penyebab ketimpangan di Indonesia sesungguhnya adalah melanggar peraturan (UU, PP). UUPA 1960 menyatakan HGU/HGB dicabut jika diterlantarkan,” ungkap Dewi.
Di masa pemerintahan SBY, Kepala BPN RI pernah merilis potensi tanah terlantar di Indonesia yang luasnya 7 juta Ha dan dijanjikan menjadi obyek reforma agraria. Sayangnya di masa Jokowi rencana redistribusi tanah untuk petani dan penyelesaian konflik agraria dari hasil penertiban tanah terlantar dan HGU bermasalah mengecil drastis menjadi 400 ribu hektar saja. “Itu pun macet dan tidak jelas pelaksanaannya enam tahun ini,” katanya.
Ketiga, dalam statement politiknya mencerminkan presiden seolah menjadi pemilik tanah yang dapat begitu saja menerima pengajuan permintaan tanah skala besar, sejauh para pemohon tanah terlantar itu mempunyai visibility study yang jelas. Disinilah letak persoalan krusial, karena yang akan mendapatkan tanah-tanah hasil penertiban tanah terlantar tersebut lagi-lagi kelompok yang mempunyai akses permodalan, menguasai teknologi, dan pasar.
“Artinya, kelompok elit bisnis, badan-badan usaha besar, elit politik kembali yang akan memonopoli tanah,” ujar Dewi. Jika pernyataan itu dijalankan, maka kembali menguatkan kondisi ketimpangan struktur agraria tanah-air.
Keempat, pernyataan presiden yang menyebutkan bahwa semua tanah terlantar akan dikumpulkan dan dimasukan dalam skema Bank Tanah (BT). Hal itu kembali menegaskan bahwa orientasi penertiban HGU/HGB terlantar bukan untuk rakyat kecil, melainkan kuat berorientasi bisnis dan keberpihakan kepada investasi besar.
“Sebab Reforma Agraria dalam BT adalah ‘gula-gula UU Cipta Kerja’,” katanya.
Petani kecil, penggarap, rakyat miskin tak bertanah dalam sistem BT harus masuk dalam skema pengadaan tanah layaknya pengadaan tanah untuk kepentingan bisnis, proyek infrastruktur, PSN, KEK, pertambangan, bisnis properti, dsb. “Seharusnya Reforma Agraria tidak disejajarkan dengan proses pengadaan tanah untuk orientasi bisnis dan investasi kakap,” terang Dewi.
Di luar itu, rencana pembentukkan dan pelaksanaan BT harus dihentikan karena UU Cipta Kerja inskonstitusional menurut putusan Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, penerapan UU maupun PP turunannya harus dihentikan sebelum UU tersebut direvisi secara total dan konstitusional.
Kelima, dibutuhkan tindakan korektif secara menyeluruh dari pemerintah atas permasalahan akut HGU/HGB, sebab telah melegitimasi perampasan tanah masyarakat dan menyebabkan konflik agraria serta ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat dengan kelompok pengusaha, yang berujung pada kemiskinan struktural di pedesaan.
“Dalam membereskan carut-marut tanah terlantar, presiden dan para pembantunya harus setia pada prinsip konstitusionalisme agraria dalam UUD 1945 dan UUPA 1960,” katanya.
Karenanya presiden harus menghentikan proses pemberian, perpanjangan, atau pun pembaruan HGU, yang selama ini berkutat di lingkaran pengusaha dan perusahaan. Dalam konteks menjalankan mandat konstitusi, penertiban HGU dan HGB terlantar harus ditempatkan sebagai terobosan politik dalam kerangka mendorong usaha reform berbasis agraria, sehingga Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara yang tengah berkuasa menjadikannya sebagai legacy baru ketimbang terus berkelit sebagai praktik buruk pemerintahan sebelumnya.
Keenam, prioritas paling utama peruntukkan dari hasil penertiban tanah terlantar dan HGU-HGU bermasalah haruslah ditujukan untuk agenda penyelesaian konflik agraria struktural dan redistribusi tanah terlantar bagi kepentingan rakyat kecil, buruh tani, masyarakat landless (tak bertanah) dan yang tergusur, hak-hak masyarakat adat.
“Presiden tidak diperkenankan mengobral kembali tanah terlantar bekas HGU/HGB, yang menjadi biang keladi ketimpangan dan kemiskinan kepada kelompok tertentu yang akan kembali menghasilkan ketimpangan struktur agraria,” papar Dewi.
Ketujuh, soal HGU terlantar bukan persoalan sekedar visibility study untuk (produktifitas) bisnis, tetapi merupakan persoalan orientasi ekonomi politik. Pemerintah seharusnya melakukan social study atas struktur agraria yang timpang.
“Pemerintah harus mengarahkan pemikiran dan rencana aksinya tentang bagaimana penertiban tanah terlantar dapat mengurangi ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi, ketimpangan akses modal, ketimpangan teknologi dan jaminan pasar yang dialami rakyat (pertanian, kebun, dan peternakan rakyat),” katanya.
Kedelapan, mengingat tugas pensertifikatan tanah (biasa) merupakan tupoksi harian Kementerian ATR/BPN, maka di tengah banyaknya masalah agraria struktural akibat kebijakan dan praktik perkebuanan (HGU swasta dan negara/BUMN/PTPN), maka sudah seharusnya tugas bagi-bagi sertifikat menjadi pekerjaan rutin yang biasa saja, bukan hal istimewa untuk dilakukan selevel presiden.
“Presiden penting mengganti acara-acara penyerahan sertifikat tanah tersebut, dengan acara pelepasan dan pengeluaran desa-desa, kampung, sawah dan kebun produktif, ladang pengembalaan, tambak rakyat, fasilitas umum dan fasilitas sosial masyarakat dari klaim-klaim HGU/HGB yang telah puluhan tahun diterlantarkan, atau pun yang berstatus expired, serta tumpang tindih dengan tanah-tanah masyarakat,” terang Dewi.
Dengan begitu upaya penertiban HGU-HGB terlantar yang expired atau pun yang menyebabkan konflik agraria, betul-betul ditujukan untuk mengakui dan memulihkan hak-hak konstitusional rakyat atas tanah. “Sudah tak layak lagi tanah-tanah maha luas itu kembali menjadi “karpet merah” bagi investor dan bisnis badan usaha besar,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)