SORONG, BERITALINGKUNGAN.COM – Pemerintah resmi mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat setelah terbukti adanya pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan dan status kawasan geopark.
Keputusan ini mendapat dukungan penuh dari Konservasi Indonesia (KI). Senior Vice President and Executive Chair Konservasi Indonesia, Meizani Irmadhiany, menegaskan bahwa kekayaan hayati dan keunikan ekosistem Raja Ampat tidak dapat tergantikan oleh wilayah manapun di dunia.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk komitmen nyata dalam menjaga warisan alam Indonesia yang tak ternilai, sekaligus memperkuat posisi Raja Ampat sebagai pusat konservasi laut dunia.
Ia mengatakan nilai ekologis, ekonomi, dan sosial yang telah dibangun oleh masyarakat adat di Raja Ampat sejak lama tidak dapat digantikan nilainya. Hal itu dikarenakan masyarakat adat Raja Ampat telah lama bekerja sama dengan para mitra pembangunan untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan dalam mendorong perekonomian.
“Kami menyambut baik keputusan pemerintah untuk mencabut IUP di kawasan Raja Ampat. Ini adalah langkah penting dalam memastikan bahwa kawasan dengan nilai ekologis setinggi Raja Ampat tetap terlindungi dari aktivitas yang berpotensi merusak. Keanekaragaman hayati dan keindahan alam Raja Ampat adalah aset global yang tidak bisa digantikan. Keputusan ini menunjukkan bahwa pembangunan tidak harus selalu mengorbankan lingkungan, dan bahwa perlindungan alam bisa berjalan seiring dengan visi pembangunan berkelanjutan,” tutur Meizani (16/06/2025.
Selain itu, Meizani mengungkapkan bahwa pengakuan dunia atas kelestarian alam Raja Ampat dengan dikukuhkannya sebagai situs geopark pada Mei 2023 lalu oleh UNESCO, sudah seharusnya menjadi pegangan pemerintah dalam melindungi kawasan ini.
“Setiap kebijakan yang menyangkut Raja Ampat harus berpijak pada prinsip keberlanjutan dan perlindungan jangka panjang, bukan sekadar kepentingan ekonomi sesaat. Ini adalah momentum untuk menunjukkan bahwa Indonesia mampu menjadi pemimpin dalam konservasi laut dunia,” sebut dia.
Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia, Victor Nikijuluw, menambahkan selain berpanduan pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU 27 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut sebagai “UU PWP3K”) dalam pengelolaan Raja Ampat, pemerintah juga dapat melihat aspek keberlanjutan dari mata pencaharian penduduk lokal di kawasan ini.
“Pada 2017, Konservasi Indonesia bersama UNPATTI dan UNIPA melakukan studi yang menunjukkan Raja Ampat mampu menampung hingga 21.000 wisatawan per tahun tanpa merusak lingkungan. Temuan ini menegaskan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah pilihan nyata untuk menjaga alam sekaligus mendorong ekonomi,” ungkap Victor.
Dia mencontohkan, secara sederhana jika satu wisatawan asing menghabiskan sekitar 1.000 dolar selama satu minggu kunjungannya di Raja Ampat (untuk biaya sewa homestay, konsumsi, hingga transportasi), maka setiap 1.000 wisatawan akan berkontribusi sekitar 1 juta dolar ke ekonomi lokal. Dengan daya dukung 21.000 wisatawan per tahun, artinya potensi ekonomi dari pariwisata berkelanjutan bisa mencapai 21 juta dollar.
“Angka tersebut belum termasuk efek dari perputaran transaksi selama kunjungan turis tersebut. Kami mengestimasikan untuk trickle-down and multiplier effects sektor wisata Raja Ampat ini bisa mencapai 31,5 juta dollar, sehingga total value wisata keseluruhan sangat mungkin untuk mencapai 52,5 juta dollar. Aktivitas tambang tidak hanya dapat merusak lingkungan, tapi juga bisa membuat masyarakat dan pemerintah daerah kehilangan potensi besar yang dapat menopang ekonomi lokal hingga puluhan tahun ke depan,” kata dia.
Konservasi Indonesia sebagai organisasi lingkungan berbasis sains juga mengestimasikan kehancuran ekonomi jika ekosistem bawah laut Raja Ampat rusak akibat spillover sisa atau sampah serta dari hilir mudik transportasi pertambangan di perairan tersebut. Victor menilai, fisheries externality yang merupakan dampak perikanan sangat bisa menjadi ancaman besar.
Dalam salah satu studi, KI mendapati bahwa sebaran larva dispersal atau larva ikan yang bertelur di perairan dekat pertambangan dapat terbawa ke kawasan lain, yang kemudian memengaruhi sebaran ikan di wilayah tersebut. Victor mencontohkan, salah satunya jenis cakalang yang banyak mendiami perairan Indonesia timur. Di kawasan Raja Ampat, seperti Pulau Waigeo, telah sejak lama dikenal sebagai jalur ruaya jenis tuna dan cakalang di Indonesia.
“Jika kerusakan ekosistem laut di perairan Raja Ampat terjadi, maka jumlah ikan tuna dan cakalang pun akan menurun di perairan Indonesia, khususnya di Laut Banda dan Teluk Tomini. Padahal, ikan tuna dan cakalang yang melintasi Raja Ampat bermigrasi hingga ke Samudera Hindia, Samudera Pasifik. Artinya, efek pencemaran perairan Raja Ampat sangat dapat berdampak luas tidak hanya ke spesies di bawah laut, namun juga masyarakat di Gorontalo, Bitung, Ambon, hingga perairan Arafura, Maluku Tenggara,” beber Victor.
Tak berhenti sampai di situ, hal lain yang termasuk fisheries externality yakni terkait migrasi dari ikan-ikan yang disebut dengan spesies karismatik seperti jenis-jenis hiu, manta, hingga penyu. Dari sekitar 30 jenis mamalia laut yang melintasi perairan Indonesia, 15 di antaranya melalui dan mendiami perairan Raja Ampat. Konservasi Indonesia meyakini spesies-spesies tersebut diprediksi tidak akan lagi menjadikan Raja Ampat sebagai rumah atau jalur migrasi mereka jika terjadi pencemaran.
“Spesies yang terdiri dari ikan-ikan besar seperti hiu paus, jenis-jenis hiu lainnya, hingga penyu, itu hanya datang jika ada ikan-ikan kecil. Jika sebuah kawasan perairan sudah rusak lingkungannya, planktonnya sudah tidak ada, air tercemar, dan kemudian ikan-ikan kecil itu habis, maka ikan-ikan besar pun tidak akan lagi muncul di sana. Dengan dampak seperti itu, jika ingin dihitung maka kerugian yang akan terasa bisa menjadi beratus kali lipat dengan hilangnya spesies-spesies yang selama ini melintas ataupun menghuni di kawasan tersebut,” sebut Victor. (Irianti)