BANDUNG, BERITALINGKUNGAN.COM – Kepala Bidang Pengendalian dan Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat Resmiani mengatakan, Sungai Citarum merupakan wilayah dengan populasi penduduk yang padat dan membawa persoalan serius terkait persampahan. Sementara itu, Program Citarum Harum diharapkan selesai di tahun 2023.
“Implementasi program itu membutuhkan satu hal penting, yakni kolaborasi pentahelix yang melibatkan partisipasi dari pemerintah, komunitas, dan juga organisasi agar tercapainya tujuan bersama yang diinginkan,” kata Resmiani saat menghadiri webinar dengan tajuk “Ventures to Prevent Plastic Pollution Toward The Ocean”, Selasa (23/11)
Webinar yang didukung oleh 45 Community Partner itu menghadirkan pegiat isu sungai, yakni Wisya Aulia Prayudi dari Citarum Repair, dan Gary Bencheghib dari Sungai Watch. Mereka hadir untuk berbagi pengalaman tentang apa yang telah dilakukan selama ini.
Bastari dari BBWS Citarum, misalnya. Ia mengungkapkan bahwa Sungai Citarum memberikan daerah aliran sungai bagi 12 kabupaten dan kota, dan 12% wilayah Sungai Citarum merupakan lahan kritis akibat timbulan sampah yang berasal dari desa dan wilayah metro Bandung. “Padahal, Sungai Citarum dapat menjadi sumber baku masyarakat, aliran listrik, dan sebagainya,” katanya.
Masalah di Sungai Citarum ini juga diamini oleh Wisya Aulia Prayudi, Program Manager Citarum Repair. Menurutnya, Sungai Citarum sebenarnya merupakan sungai yang memiliki banyak potensi dalam kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan berbasis masyarakat penting dilakukan untuk mengatasi sampah sungai Citarum.
“Citarum Repair yang diimplementasikan selama 2020 hingga 2023 mendatang, menjalankan program dengan tiga pendekatan, yakni implementasi teknologi, manajemen persampahan, dan partisipasi masyarakat,” paparnya.
Di luar Sungai Citarum, banyak juga sungai di Indonesia yang memiliki persoalan serupa, yakni hadirnya timbulan sampah. Gary Bencheghib dari Sungai Watch mengungkapkan, sejak 2017, beberapa sungai juga mulai menumpuk sampahnya.
“Mayoritas sampah kemungkinan berasal dari sampah supermarket dan merupakan sampah yang sulit untuk dikelola, seperti sampah-sampah sachet yang terus menumpuk di hulu sungai,” terangnya.
Mengatasi masalah sampah membutuhkan banyak pendekatan dan melibatkan multisektor. Melihat fenomena sampah di sungai-sungai Indonesia dan dunia, peneliti Benioff Ocean Initiatives Molly Morse, menegaskan, “Riset dan pemberdayaan, serta manajemen dan kolaborasi menjadi hal penting dalam menjaga kondisi lingkungan.“
Sementara teknologi bisa membantu untuk menyelesaikan masalah sampah yang tetap disesuaikan dengan keadaan yang seharusnya. “Kolaborasi justru membuat kita mendapatkan solusi yang lebih cepat,” ujarnya.
Hadir sebagai pembicara dari pihak swasta yang sejak lama melakukan penanganan terkait sampah plastik, Ketua Pelaksana Coca-Cola Foundation Indonesia Triyono Prijosoesilo mengatakan, pihaknya memahami bahwa pengelolaan kemasan plastik pasca konsumsi menjadi isu yang sangat penting sekarang ini.
“Kami tidak ingin kemasan pasca konsumsi kami, ataupun kemasan plastik pasca konsumsi lainnya menjadi sampah yang tidak dikelola dan mencemari lingkungan,” ujarnya.
Tahun 2018, Coca-Cola hadir dengan visi World Without Waste atau visi dunia tanpa sampah. Sejalan dengan visi tersebut, mereka ingin menggunakan material daur ulang dalam kemasan kami, dengan target rata-rata 50% di tahun 2030.
“Dan untuk memenuhi visi tersebut memerlukan kolaborasi dengan banyak pihak,” katanya.
Triyono menambahkan, “Penting untuk membangun kesadaran, kepedulian, dan kebiasaan, agar Indonesia lebih baik dalam mengelola sampah plastik.“ (Jekson Simanjuntak)