JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Koalisi masyarakat sipil, terdiri dari Walhi, Auriga, Greenpeace, Pusaka, Save Our Borneo, JPIC Kalimantan, LBH Palangkaraya meminta pemerintah tidak lagi mengulangi kesalahan masa lalu. Pemerintah harus berhenti menggunakan pandemi sebagai alasan untuk mengeksploitasi gambut.
Koalisi masyarakat sipil menilai kebijakan pemerintah menggunakan isu krisis pangan untuk mempercepat proyek percetakan sawah di Kalimantan Tengah di eks Proyek Lahan Gambut sejuta hektar, tidak tepat.
“Pasalnya, ditengah pandemi Covid -19 dan kerusakan gambut yang tidak terpulihkan dan menjadi sumber kebakaran hutan lahan gambut dalam 2 dekade terakhir” tulis mereka dalam siaran pers yang diterima Berita Lingkungan
Selama ini, upaya pemulihan lahan gambut yang dilakukan tidak efektif dan terus mengalami kegagalan. Karena itu, koalisi masyarakat sipil menyerukan pemerintah mengambil pembelajaran dengan tidak membangun kembali proyek food estate seluas -/+ 300.000 ha.
Menambah kerugian negara
Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah menghentikan proyek pencetakan sawah di lahan gambut di Kalimantan tengah, didasarkan beberapa pertimbangan.
“Salah satunya berpotensi menambah kerugian negara”, tulis mereka.
Menurut koalisi masyarakat sipil, proyek ini harus dihentikan, karena sebelumnya proyek lahan gambut 1 juta Ha di masa orde baru (dimulai tahun 1995) melalui keppres no 82/95 akhirnya diputuskan berakhir dan gagal pada tahun 1998 melalui keppres 33/98 di masa pemerintahan BJ Habibie.
Kegagalan tersebut dilatarbelakangi ketidakpahaman dan kurangnya kajian sosio-ekologis terhadap ekosistem gambut, sehingga proyek yang menyedot Rp.1,6 Triliun APBN itu gagal menjadi lumbung pangan, bahkan sebagian wilayahnya berganti menjadi perkebunan sawit.
“Ironisnya proyek itu di bangun menggunakan Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukan untuk pemulihan hutan,” tulis mereka.
Pasca gagalnya proyek tersebut ada 2 kebijakan penting terkait rehabilitasi lahan, yakni Keppres No 80/1999 yang mengalokasikan dana pembayaran ganti rugi kepada warga terdampak, dan di tahun 2007 melalui Inpres 2/2007 juga mengalokasikan dana sebesar Rp.3,9 Triliun untuk rehabilitasi lahan gambut, namun tidak ada kejelasan tentang penggunaannya.
Wilayah itu kemudian menjadi prioritas kerja Badan Restorasi Gambut dengan alokasi dana yang tidak memiliki dampak signifikan terhadap pengelolaan dan pemulihan kawasan hingga saat ini. Selain itu, Hampir semua proyek food estate di Indonesia yang bertumpu pada pembangunan skala luas dan modal dari perusahaan terus mengalami kegagalan. Pun dibarengi isu korupsi. Kerusakan lahan gambut juga memicu kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan biaya penanggulangan bencana turut menguras keuangan negara.
Berhenti merusak alam
Wilayah eks PLG yang kini menjadi petaka telah menghilangkan dan mengancam biodiversitas seperti berkurangnya kayu Ramin (Gonystylus bancanus) Meranti Rawa (Shorea balangeran) yang merupakan jenis kayu endemik di wilayah gambut, hilangnya habitat orangutan, serta meninggalkan monumen kanal primer dan sekunder sepanjang ratusan ribu Km yang menjadi penyebab kekeringan dan sumber kebakaran di Kalimantan Tengah. Kebakaran juga berimplikasi serius bagi kesehatan, seperti merebaknya penyakit ISPA.
Pasca-kebakaran hebat di tahun 1997, wilayah tersebut 80 persen lanskapnya telah terbakar dan melepaskan sekitar 0,15 miliar ton karbon.
Sepanjang 2015-2019 wilayah itu menjadi sumber titik api bagi lahan seluas -/+ 465.003 Ha atau menyumbang hampir 39% dari total 1.180.000 Ha luas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah.
“Hal ini menunjukkan besarnya potensi bencana kebakaran, jika dilihat dari rasio luas kebakaran di Kalimantan Tengah”, tulis mereka.
Berikan petani hak atas tanah.
Setelah kegagalan PLG, pemerintah seharusnya melakukan pemulihan pasca ganti rugi, namun kenyataanya ketimpangan penguasaan lahan menguat dan konflik tanah terus terjadi.
Hal itu karena sebagian besar eks- PLG justru diberikan izinnya untuk perkebunan sawit dan menghancurkan sistem pertanian dan perikanan tradisional seperti Beje dan sistem handil sebagai bentuk pertanian/perladangan kolektif yang berkembang selama ini.
Penempatan transmigrasi juga merubah struktur sosial dan model kepemilikan lahan di beberapa wilayah dengan munculnya sertifikat tanah dan kepemilikan tanah adat. Hal itu juga menjadi pemicu konflik lahan di wilayah tersebut.
Atas pertimbangan itu, Koalisi masyarakat sipil yang bergerak pada isu lingkungan dan hak- hak masyarakat, selain menolak pembangunan food estate juga meminta pemerintah memprioritaskan sumberdayanya untuk menangani penyebaran Covid-19.
Koalisi masyarakat sipil meminta pemerintah berkolaborasi untuk mencegah perubahan iklim yang tak terkendali dengan menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat. Menurut mereka, pemerintah perlu merubah secara radikal sistem pertanian dan penggunaan lahan skala luas berbasiskan pada kedaulatan pangan dan kearifan lokal, demi pertanian berkeberlanjutan.
Pemerintah juga diminta melakukan diversifikasi pangan dan mengembangkan pangan lokal, serta melakukan intensifikasi lahan-lahan terlantar untuk mengoptimalkan produksi pangan. Termasuk melakukan mekanisasi pertanian, bukan malah mencetak sawah di lahan gambut yang terbukti produktivitasnya rendah dan membutuhkan teknologi yang mahal.
Terakhir, koalisi masyarakat sipil meminta pemerintah menghentikan penggusuran terhadap lahan-lahan pertanian milik warga untuk pengembangan investasi tambang dan perkebunan sawit yang tidak berpihak kepada rakyat.
“Saatnya sistem pertanian dan pangan di kembalikan kepada petani sebagai soko guru di negeri agraris ini”, pungkas mereka. (Jekson Simanjuntak)