
Memotret ngengat Jersey. Foto : Tiffany Ki.
EXETER, BERITALINGKUNGAN.COM– Di era digital yang serba cepat ini, media sosial tidak hanya menjadi ruang berbagi cerita dan tren, tetapi juga bertransformasi menjadi alat ilmiah yang kuat. Dari unggahan foto sederhana hingga diskusi daring, platform seperti Instagram, Flickr, dan iNaturalist kini berperan dalam memantau perubahan iklim dan melacak pergeseran populasi satwa liar di seluruh dunia.
Sebuah penelitian terbaru dari Universitas Exeter menunjukkan bagaimana media sosial dapat membantu ilmuwan mengamati pergerakan spesies akibat perubahan iklim. Studi ini berfokus pada Jersey tiger moth, seekor ngengat mencolok dengan pola hitam-putih khas di sayapnya, yang kini semakin sering ditemukan di daerah perkotaan—sebuah tren yang tidak terdeteksi dalam survei ekologi konvensional.
Dari Foto ke Data Ilmiah
Biasanya, pemantauan spesies dilakukan melalui survei lapangan yang sistematis di daerah pedesaan. Namun, banyak spesies kini bermigrasi ke wilayah urban, membuat pola penyebarannya sulit dipantau menggunakan metode tradisional. Melalui unggahan media sosial, ilmuwan dapat mengakses data dari berbagai lokasi yang sebelumnya jarang dijangkau.
“Survei konvensional sering kali tidak menangkap keanekaragaman hayati di perkotaan,” ujar Nile Stephenson, pemimpin studi ini. “Namun, unggahan dari pengguna media sosial menunjukkan bahwa taman kota dan halaman rumah menjadi habitat baru bagi banyak spesies.”tuturnya seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman Universitas Exeter (18/03/2025).
Tim peneliti menemukan bahwa masyarakat umum tanpa disadari telah menjadi penyedia data berharga. Foto-foto Jersey tiger moth yang diunggah di Instagram dan Flickr tidak hanya membuktikan bahwa spesies ini berkembang di kota, tetapi juga mengungkap pola penyebarannya yang lebih luas.
Media Sosial sebagai Laboratorium Digital
Munculnya tren di media sosial juga berpotensi dimanfaatkan untuk konservasi. Ketika suatu spesies menjadi viral—baik karena keindahannya atau karena cerita unik di baliknya—hal ini dapat mendorong lebih banyak orang untuk melaporkan temuannya. Ilmuwan dapat memanfaatkan tren ini untuk mendeteksi spesies invasif atau mengidentifikasi perubahan ekosistem lebih cepat dibandingkan metode konvensional.
Meski begitu, penelitian ini juga menggarisbawahi keterbatasan media sosial dalam sains. Misalnya, tren digital bisa menimbulkan bias data—suatu spesies yang sedang populer bisa tampak lebih umum daripada yang sebenarnya. Oleh karena itu, media sosial sebaiknya digunakan sebagai alat pelengkap, bukan pengganti, bagi metode ilmiah yang sudah ada.
Masa Depan Pemantauan Keanekaragaman Hayati
Dengan semakin majunya teknologi digital, platform seperti iNaturalist dan iRecord kini memungkinkan pengguna untuk mengunggah dan mengidentifikasi spesies dengan lebih akurat. Data dari aplikasi ini telah banyak digunakan dalam penelitian dan kebijakan konservasi.
Di tengah ancaman perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, media sosial menawarkan harapan baru. Setiap foto yang diunggah, setiap komentar yang dibuat, dan setiap hashtag yang digunakan dapat menjadi bagian dari upaya global untuk memahami dan melindungi dunia yang terus berubah. Di era digital ini, konservasi tak lagi terbatas pada ilmuwan dan aktivis—kita semua bisa menjadi bagian dari solusi (Marwan Aziz).