JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Kuswandono memaparkan fakta terkait hasil survei DNA populasi gajah di Provinsi Lampung yang dilakukan Wildlife Conservation Society (WCS) pada tahun 2010. Saat itu terdata sebanyak 247 ekor gajah. Pada tahun 2020, pendataan kembali dilakukan menggunakan metode GPS collar (pemantauan Elephant Response Unit (ERU) TNWK dari kelompok gajah) menemukan 180 ekor, dan sebanyak 67 ekor gajah tidak terpantau metode GPS collar.
“Lampung merupakan salah satu rumah bagi fauna yang terancam punah (critically endangered),” katanya.
Pada tahun 2020, Balai TNWK mencatat angka kematian gajah mencapai 22 ekor, akibat perburuan liar, kehilangan gading dan gigi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Bahkan, kontak senjata kerap terjadi antara polisi hutan dan pelaku perburuan liar.
Sejumlah barang bukti telah dikumpulkan, seperti: 741 jerat seling, 34 sepeda ontel, 4 perahu dayung, tulang kepala gajah, tulang dan pinggul.
Hasil evaluasi dengan aplikasi SMART RBM semester 1 tahun 2021 menemukan alat perburuan, diantaranya; 1 jaring kabut, 7 jerat nilon, 16 jerat jerat seling, 40 jerat selling kecil, 2 perangkap kandang, 3 stick dan 13 tanda perburuan lainnya.
”Temuan yang kami dapat menandakan bahwa perburuan liar di kawasan TN Way Kambas harus dihentikan karena mengancam populasi satwa liar dan tentunya berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem hutan hingga ekosistem Bumi secara jangka panjang,” tegasnya.
Menurut Kuswandono, konsep perlindungan penyangga kehidupan merupakan hal yang sangat penting. Tidak hanya perlindungan bagi satwa yang ada di area konservasi, namun juga melindungi ekosistemnya.
“Salah satu dari kegiatan konservasi adalah melakukan restorasi hutan, agar keseimbangan ekosistem di kawasan konservasi bisa tercapai,” terangnya.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan di bagian lampiran dari Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, disebutkan bahwa gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) masuk ke dalam daftar jenis satwa yang harus dilindungi.
Sebagai upaya pengawasan dan pencegahan perburuan liar, Kuswandono menginformasikan bahwa TNWK telah bekerja sama dengan beberapa pihak, seperti perguruan tinggi, pemerintah daerah, penegak hukum, dan masyarakat sekitar kawasan serta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
“Pelaku perburuan liar kerap dengan sengaja memicu kebakaran hutan yang memudahkan mereka melakukan perburuan,” ungkapnya
Sedangkan untuk pelestarian kawasan hutan, Balai TNWK bekerjasama dengan kelompok komunitas dan mitra lingkungan, seperti Yayasan Auriga Nusantara, terkait upaya restorasi hutan yang sudah mulai dilakukan sejak tahun 2013.
Ketua Yayasan Auriga Indonesia Timer Manurung menjelaskan bahwa Auriga merupakan salah satu LSM lingkungan yang ikut berpartisipasi dalam program rehabilitasi hutan (pemulihan ekosistem). Saat itu, hamparan ilalang pasca-kebakaran hebat pada dekade 90-an diupayakan pulih kembali menjadi hutan, termasuk sebagai habitat gajah.
“Kami mengapresiasi Balai TNWK yang membuka ruang kerja sama dengan Auriga Nusantara memulihkan habitat tersebut, baik ketika kami bersama konsorsium pada 2013-2017 seluas 100 hektare, maupun spesifik dengan Auriga hingga 2023 untuk luasan 1.200 hektare,” katanya.
Dari luasan total TNWK 125.000 hektare, terdapat 17.000 hektare kawasan yang perlu direhabilitasi. Balai TNWK membagi kawasan tersebut ke dalam tiga metode rehabilitasi atau pemulihan ekosistem, yakni pemulihan ekosistem alami, pemulihan ekosistem yang menggunakan anggaran negara dan pemulihan ekosistem bekerja sama para mitra, di mana Auriga termasuk di dalamnya.
Direktur Kehutanan Auriga Supin mengatakan, dari 1.200 hektare area restorasi, Auriga menargetkan membangun pembibitan dan melakukan penanaman seluas 600 hektare di kawasan Rawa Kadut hingga tahun 2023.
“Selain itu, kami membuat sekat bakar untuk mengendalikan kebakaran dan menghambat kebakaran agar tidak meluas. Kami juga melakukan perawatan pada area permudaan alami (suksesi),” katanya.
Pada kesempatan yang sama, staf fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Balai TNWK Dedi Istnandar menegaskan jika gajah merupakan satwa yang hidup berkelompok dan pemakan tumbuhan (herbivor). Gajah juga memiliki banyak manfaat bagi kehidupan.
“Area jelajahnya luas untuk pencarian makanan, secara tidak langsung membantu penyebaran biji tumbuhan sebagai bibit pohon baru pada kawasan hutan yang dilewatinya,” katanya
Selain itu, kotoran gajah juga bermanfaat sebagai pupuk yang menyuburkan area hutan. Gajah juga mengonsumsi makanan dalam jumlah besar, sehingga mengatur keseimbangan ekosistem hutan.
“Tubuhnya yang besar juga bermanfaat sebagai pembuka jalan bagi satwa lain dalam menjelajah hutan dan mencari makanan,” tandasnya. (Jekson Simanjuntak)