Oleh: Rustam *
Kalimantan bukan lagi pulau masa depan untuk Indonesia. Kalimantan bahkan pulau terbesar ketiga di dunia yang bukan lagi kawasan hutan tropis yang dapat dibanggakan negeri ini, tetapi sudah menjadi pulau dengan investasi bencana terawan di dunia. Minyak dan gas telah disedot sejak ratusan tahun lalu, kayu hutan tropis yang sangat terkenal pun hampir punah, bahkan sekarang tambang batu bara meninggalkan lubang-lubang besar. Pulau seribu sungai ini akan berubah menjadi pulau sejuta danau karena tambang.
Peneliti keragaman hayati menyatakan pulau Kalimantan adalah hotspotkeragaman hayati dunia. Tercatat paling tidak 222 jenis mamalia, 420 jenis burung, 136 jenis ular, 394 jenis ikan air tawar, dan lebih dari 3000 jenis pohon-pohonan. Tipe hutan yang khas kawasan tropis, dari hutan mangrove yang terdepan hingga hutan kerangas dengan dominansi jenis-jenis endemik, dari hutan tropis dataran rendah yang paling kaya akan jenis hingga hutan pegunungan dengan jenis tumbuhan kerdil yang khas. Keindahan terumbu karang pun demikian, dengan ratusan jenis ikan karang dan pantai berpasir putih dengan beberapa jenis penyu, demikian pula dengan ekosistem kars dengan jenis flora dan fauna yang luar biasa. Namun, kita akan kehilangan banyak informasi keragaman hayati ini bahkan tidak menutup kemungkinan ada jenis yang punah sebelum teridentifikasi.
Dapatkah pulau surga ini dibanggakan?
Beberapa waktu lalu diberitakan di beberapa media bagaimana orangutan, hewan kebanggaan penciri pulau ini ditangkap, disiksa dan dibantai karena dianggap hama pada perkebunan sawit. Cerita lain bagaimana orangutan dipaksa untuk ditranslokasi karena habitatnya akan diledakkan untuk memulai aktivitas penambangan batu bara. Cerita satwa kehilangan habitat seperti ini bukan hal baru bahkan cenderung disengaja, bukan sekadar satwa yang ketabrak di jalan raya atau jalan logging, Owa Kelawat (Hylobates muelleri) yang endemik Kalimantan itu, tergantung mati terbakar di tiang listrik tampak biasa oleh sebagian kita.
Pulau yang sangat aman dari kriminalitas tetapi menyimpan bom waktu ini, bahkan tampak menjadi tumpukan sampah masalah. Ingat programfood estate ribuan hektar yang direncanakan di Papua, ditolak oleh masyarakat Papua kemudian dipindahkan ke pulau ini. Kasus penggelapan pajak perusahaan batu bara terbesar di Indonesia, yang sekarang sepi karena macam-macam kasus partai penguasa. Belum lagi masalah rencana tata ruang propinsi (contoh kasus Kaltim) yang tak pernah beres hingga sekarang, tumpang tindih kawasan tampak jamak terjadi. Namun, sekarang pulau ini pun di”janji”kan dengan program pemerintah terbaru, yaitu sebagai daerah yang masuk dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).
MP3EI telah dicetuskan pemerintah sejak tahun 2011 lalu lewat peraturan presiden nomor 32 tahun 2011. Walaupun program ini dirumuskan dengan memperhatikan Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca, tetapi hampir mustahil dapat berjalan beriringan karena target utama program MP3EI adalah kenaikan pendapatan perkapita dan kenaikan nilai total perekonomian (PDB) dengan meningkatkan 22 kegiatan ekonomi utama termasuk di dalamnya batubara, minyak dan gas, kelapa sawit, karet dan perkayuan yang lazim dikeruk dari bumi Kalimantan. Hingga sekarang beberapa kegiatan ekonomi utama ini tidak terbukti bisa sejalan dengan penurunan gas rumah kaca, jutru sebaliknya pengrusakan hutan besar-besaran termasuk didalamnya hilangnya habitat satwa liar dan konflik satwa dan manusia sering terjadi.
MP3EI tampaknya juga berlawanan dengan program pemerintah yang lain. Pada 5 Januari 2012 lalu pemerintah mencetuskan akan mengalokasikan sedikitnya 45% wilayah Kalimantan sebagai paru-paru dunia dalam upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020.
Pertanyaannya, dimanakah letak 45% kawasan hutan yang dipertahankan tersebut sementara paling tidak ada 6,8 juta hektar untuk ijin pertambangan, 7,9 juta hektar untuk perkebunan sawit, 200.000 hektar (informasi lain menyebutkan 2 juta ha) untuk food estate, juga pembukaan jalan, jalur rel kereta api yang membelah kawasan hutan, perkembangan pemukiman, Belum lagi beberapa kegiatan illegal yang tak dapat dikontrol oleh pemerintah, seperti tambang illegal, perkebunan illegal, pemukiman illegal dain lainnya.
Telah lama pula salah satu “LSM besar” memprogramkan Heart of Borneo bekerja sama dengan tiga negara (Brunei, Malaysia dan Indonesia) yang berada di pulau Borneo. Namun program ini tidak lebih sebagai jargon seksi untuk meraup dana besar, sementara progressnya jauh panggang dari api. Di panggung seminar dan laporan-laporan tampak sangat didukung oleh ketiga negara pemilik otoritas tersebut, tetapi di lapangan berbeda cerita. Begitu pula dengan dengan program pemerintah propinsi, misalnya Kaltim Green, tapi tingkah polah pemberian ijin kuasa (tambang dan perkebunan) oleh pemerintah daerah jauh dari jargon tersebut. Begitu pula halnya proyek perintis menjaga paru-paru dunia di Kalimantan Tengah, setali tiga uang.
Lupakan dulu lembaga pengelola dana besar ini, mengingat pesimisme kegiatan REDD dan kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca berpola sama. Negara maju tetap dengan berperilaku merusak, berproduksi dan memproduksi gas rumah kaca kemudian membayar konpensasi yang selain menekan dengan syarat tak masuk akal, juga mekanisme memperoleh dananya pun dibuat rumit sehingga mustahil tersentuh. Mereka sadar jika menurunkan emisi gas rumah kaca juga berarti menurunkan produksi yang akan mempengaruhi perekonomian. Namun buat kita, berperilaku adil dan bijak terhadap alam tak perlu dengan iming-iming insentif yang masih di awang-awang dan tak jelas juntrungnya.
Laju pengurangan tutupan hutan di empat propinsi di Kalimantan demikian fantastis. Berbagai data menyebutkan dari 600 ribu ha hingga 1,1 juta ha per tahun, dan tampaknya akan terus terjadi hingga hutan alami tak tersisa. Begitu pula dengan negara tetangga walaupun tidak besar tetapi terus terjadi, sebesar 0.64% per tahun dari luas hutan di Serawak dan begitu pula dengan Sabah, di Malaysia. Seperti halnya kawasan hutan tropis lainnya di dunia, di Kalimantan faktor utama dan pertama yang menyebabkan hutan tropis terus berkurang adalah pemerintah dengan kebijakannya memberikan ijin pembukaan lahan dengan berbagai peruntukan. Begitu yang ditulis oleh Leslie Taylor (2004) penulis Amerika Serikat dalam bukunya The Healing Power of Rainforest Herbs yang menyimpulkan dari berbagai penelitian di kawasan tropis di dunia. Tidak salah memang jika melihat keadaan mutakhir kondisi hutan di Kalimantan.
Begitu serakahnya kita bahkan ruang pun tak ingin berbagi, bahkan bukan sekadar dengan satwa. Masih segar ingatan kita kejadian Mesuji di Sumatera, juga kejadian pendudukan pelabuhan oleh masyarakat di Nusa Tenggara, karena menolak pemberian ijin ekplorasi tambang di daerahnya. Demikian pula kejadian serupa di beberapa daerah lain termasuk di Kalimantan yang tidak sempat diliput oleh media.
Semuanya karena tumpang tindih lahan, ketidakjelasan batas kawasan dan tentu pengaruh ekonomi yang dikuasai pemodal besar. Mirisnya lagi, kawasan yang diperebutkan justru dikuasai oleh pemodal asing, bahkan dari negeri tetangga Malaysia yang hampir tiap tahun berkonflik dengan Indonesia di bidang seni budaya atau tenaga kerja (TKI). Negeri merdeka yang terjajah!
* Penulis adalah Peneliti satwa liar dan kehutanan, advisory board ProFauna di Kalimantan.