Pemandangan udara pusat kota dengan Baiterek Tower, Nursultan, Ibu kota Kazakhstan. Foto: Shutterstock
NURSULTAN, BERITALINGKUNGAN.COM– Kazakhstan, negara Asia Tengah yang dikenal sebagai produsen uranium terbesar di dunia, baru saja mengambil langkah penting dalam sejarah energinya.
Melalui referendum nasional pada 6 Oktober 2024, sebanyak 73% rakyat Kazakhstan mendukung rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Keputusan ini berpotensi mengubah lanskap energi dan geopolitik di kawasan, bahkan di dunia.
Menurut Gavin Helf, Ph.D., seorang ahli senior kajian Asia Tengah dari The United States Institute of Peace, pilihan ini merupakan respons atas krisis iklim, kebutuhan energi, dan transformasi ekonomi yang semakin mendesak.
“Kazakhstan berada di persimpangan penting,” ungkap Gavin. “Pembangunan energi nuklir dapat mengurangi ketergantungan mereka pada bahan bakar fosil, sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi di tengah transisi energi global.”ujarnya seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman The United States Institute of Peace (30/12/2024)
Dilema Nuklir: Antara Masa Lalu dan Masa Depan
Kazakhstan memiliki sejarah panjang dan kompleks terkait nuklir. Semipalatinsk, lokasi uji coba nuklir Uni Soviet selama lebih dari empat dekade, meninggalkan warisan kelam berupa dampak kesehatan yang masih dirasakan hingga kini. Selain itu, setelah kemerdekaan dari Uni Soviet pada tahun 1991, Kazakhstan secara sukarela menyerahkan lebih dari 1.400 hulu ledak nuklir, menjadikannya contoh global dalam perlucutan senjata.
Namun, referendum ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Kazakhstan telah melihat potensi nuklir sebagai solusi energi masa depan, meskipun 27% suara “tidak” mencerminkan keraguan yang masih ada. “Keputusan ini tidak hanya strategis, tetapi juga simbolis. Pemerintah ingin memastikan bahwa rakyatnya mendukung langkah besar ini,” kata Gavin.
Persaingan Geopolitik: Rusia, China, dan Barat
Dengan cadangan uranium yang melimpah—43% dari produksi dunia berasal dari Kazakhstan—negara ini menjadi medan persaingan antara kekuatan besar seperti Rusia, China, dan Barat. Rusia menawarkan teknologi reaktor kecil, sementara China telah memulai fasilitas pengolahan uranium tahap awal.
Namun, Gavin menekankan bahwa Kazakhstan memiliki peluang untuk membangun model kerja sama internasional yang seimbang. “Presiden Kassym-Jomart Tokayev sendiri mengusulkan agar pembangkit listrik nuklir dikelola oleh konsorsium internasional, melibatkan perusahaan global dengan teknologi tercanggih,” ujarnya. “Ini adalah sinyal bahwa Kazakhstan ingin menjaga kedaulatan energinya tanpa terlalu bergantung pada satu kekuatan tertentu.”
Kesempatan bagi Barat dan Amerika Serikat
Bagi Amerika Serikat dan sekutunya, keterlibatan di Kazakhstan adalah peluang strategis. Barat dapat membantu membangun reaktor nuklir yang ramah lingkungan, mendukung pengolahan uranium di dalam negeri, dan mengurangi ketergantungan global pada uranium yang diproses di Rusia atau China.
“Melalui inisiatif seperti C5+1, Amerika Serikat dapat memainkan peran besar dalam membentuk masa depan nuklir Kazakhstan,” kata Gavin. “Selain itu, ini adalah kesempatan untuk mendorong pengembangan teknologi nuklir inovatif, seperti reaktor modular kecil, sekaligus memperkuat hubungan dengan Asia Tengah.”
Menuju Masa Depan Energi Bersih
Dengan perubahan iklim yang memengaruhi musim dingin yang semakin dingin dan musim panas yang semakin panas, kebutuhan akan energi bersih menjadi prioritas. Kazakhstan juga perlu mengurangi ketergantungannya pada ekspor minyak, mengingat transisi global menuju ekonomi pasca-karbon.
“Keputusan ini tidak hanya tentang energi, tetapi juga tentang masa depan ekonomi Kazakhstan,” kata Gavin. “Jika dikelola dengan baik, nuklir dapat menjadi batu loncatan bagi Kazakhstan menuju kemandirian energi dan keberlanjutan ekonomi.”tambahnya.
Dengan dukungan rakyat, Kazakhstan kini bersiap memasuki babak baru dalam sejarah energinya. Apakah ini langkah yang tepat? Waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti: dunia sedang memperhatikan (Marwan Aziz).