Oleh Said Abdullah *
“Lebih baik menjadi sapi di eropa dari pada menjadi orang miskin di negara berkembang”
OECD atau organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi Pengembangan yang anggotanya Negara-negara maju, mengeluarkan hasil kajiannya tentang perekonomian Indonesia.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa pencapaian ketahanan pangan melalui swasembada pangan adalah kebijakan yang salah arah. Dalam hal ini OECD menyarankan agar pencapaian ketahanan pangan dilakukan melalui mekanisme pasar dengan membuka lebih luas pasar produk pertanian dalam perdagangan internasional. Selain itu OECD juga menilai perlu dilakukan reformasi subsidi di sector pertanian dan pangan.
Pandangan dan arahan OECD terlalu mengada-ngada dan kental nuasansa politik kepentingan Negara-negara anggotanya. Terlebih menjadi tidak seibang membandingkan ukuran negara maju dalam konteks Indonesia. Dalam hal ini pemerintah hendaknya tidak serta merta menerima masukkan tersebut. Tak ada alasan bagi pemerintah untuk menuruti “pesanan” OECD. Beberapa argument yang dapat disodorkan untuk menolak hasil dan rekomendasi tersebut.
Menggantungkan ketahanan pangan pada pasar internasional sama saja bunuh diri. Pengalaman selama ini harusnya telah cukup memberi pelajaran bagi Indonesia. Ketika harga beras melonjak, kedelai naik situasi pangan didalam negeri sontak bergeliat. Saat ini saja hampir 80% produk pangan kita sudah tergantung pada pasar internasional. Apa jadinya jika pintu pasar internasional dibuka lebih lebar lagi. Angka 125 triliyun untuk impor pangan tahuan-tahun ini pasti akan meningkat drastis.
Untuk mencapai ketahanan pangan, pemerintah harusnya tetap konsisten mewujudkan swasembada (kemandirian pangan). Artinya produksi dalam negeri menjadi sumber utama dalam ketersediaan pangan. Dengan kemandirian maka ketergantungan dan pengaruh situasi pasar pangan dunia dapat dihindarkan. Indonesia yang diyakini banyak kalangan punya kemampuan menguasai dunia, semestinya meningkatkan kadar pengelolaan pangan dari ketahanan, kemandirian menjadi kedaulatan.
Menyerahkan urusan pangan pada pasar telah terbukti gagal. Dalam konteks global, pengelolaan pangan oleh pasar (industri) secara nyata makin melanggengkan keberadaan jumlah orang lapar dimuka bumi ini.
FAO mengakui bahwa jumlah produksi pangan dunia cukup, namun ada persoalan ketidak merataan prose’s distribusi yang emndorong peningkatan jumlah orang lapar hingga 925 juta orang. Hal ini dikarenakan jalur distibusi dikuasai oleh perusahaan. Bagi Indonesia amat sangat mengkhawatirkan sebab kuatnya penguasaan pasar pangan dibawah kendali perusahaan akan semakin mengancam 30 juta orang yang berada di pedesaan yang nota bene adalah petani.
Rekomendasi pencabutan subsidi amat menyesatkan. Kenapa demikian? OECD menilai subsidi memperlemah daya saing dan peluang investasi disektor pertanian. Tidakkah sebuah kemunafikan memaksa negara berkembang mengurangi subsidi, sementara di negara anggota OECD subsidi terus ditingkatkan. Secara agregat subsidi di USA, Uni Eropa dan Jepang, termasuk subsidi terselubung termasuk air jumlahnya mencapai 75% dari total pendapatan negara subsahara afrika.
Menjadi amat nyata muslihat yang dilakukan negera-negara OECD dengan mencoba menanggalkan subsidi agar produk dan kuasa perusahaan-perusahaannya makin kuat. Pencabutan subsidi hanya akan menenggelamkan petani kecil di Indonesia dalam jurang terdalam kemiskinan. Mengutip Joseph Stiglitz, lebih baik menjadi sapi di eropa dari pada menjadi orang miskin di negara berkembang. World bank menutarakan di eropa setiap hari sapi mendapat subsidi 2 USD, sementara lebih dari separuh penduduk dinegara berkembang hidup dengan pendapatan kurang dari 2 USD.
Tentu negera ini tak ingin rakyatnya hidup lebih rendah dari seekor sapi, bukan?!
Penulis adalah Manager Advokasi dan Jaringan, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)