Air sangat penting bagi kehidupan. Foto : Wikipedia. |
JAKARTA, BL- Krisis air bersih merupakan salah satu ancaman bagi Ibu Kota Jakarta ke depan.
Ancaman ini salah satu dari tiga ancaman lainnya yang diungkapkan Ubaidillah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada forum diskusi The Indonesian Forum Seri 18 dengan tema Banjir Jakarta: Persoalan Lingkungan atau Politik? di Indonesian Institute, Jakarta Pusat, Rabu (20/6). Dua ancaman lainnya yang memang sudah tidak asing lagi, yaitu banjir dan kemacetan.
“Air, banjir, dan macet merupakan masalah Ibu Kota Jakarta yang tidak bisa dipisahkan”, kata Ubaidillah. Paradigma air sebagai sumber daya sekarang dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan dan harus dibuang secepatnya ke laut. Hal ini terjadi karena setiap tahunnya banjir di Jakarta terus terjadi. Padahal jumlah kebutuhan masyarakat terhadap air akan terus meningkat seiring dengan meningkatkan pertumbuhan penduduk. Air yang ada cenderung tidak dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Ketua Umum Indonesia Water Institute, Firdaus Ali pada media massa memperkirakan tahun 2025 Jakarta akan mengalami defisit 23.720 liter air per detik. Sedangkan, sebagian besar saat ini kebutuhan air bersih penduduk Jakarta didapat dari Kali Malang, air dari Sungai Citarum. “Bagaimana jika sungai Citarum bermasalah? Jakarta akan kolaps kedepannya” ungkap Rudi Siahaan, Asisten Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang tata ruang.
Di media massa lainnya, Kepala Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Barat, Supardiyo, mengatakan 60 persen air bersih di Jakarta Barat sudah tidak layak minum. Supardiyo menjelaskan ini disebabkan terjadinya gravitasi air karena pembangunan gedung-gedung tinggi. Semakin banyak gedung tinggi, aktivitas pengeboran tanah pun tinggi, air tanah akan terdesak dan air laut masuk memenuhi kekosongan rongga tanah. Sehingga terjadi interusi air laut yang menyebabkan kondisi air di beberapa wilayah Jakarta Barat menjadi asin. Permukaan air laut menyusut satu hingga satu setengah centimeter per tahun.
Kesalahan tata ruang menjadi pokok permasalahan. Tata ruang ini menyebabkan terjadinya bencana banjir yang terus berulang setiap tahunnya. Sumber daya ini terus terbuang percuma-cuma ke laut setiap tahunnya. Sedangkan, sumber air yang ada terus terkikis ancaman dari pertumbuhan penduduk dan pemukiman.
“Terkait tata ruang, juga terjadi salah urus dalam tata ruang tersebut,” ungkap Yayat Supriatna, Planolog Universitas Trisaksi. Jakarta dikepung oleh 22 kota dan drainasenya ke 14 sungai Jakarta. Kota-kota tersebut tanpa ada koordinasi pembangunan yang baik. Padahal percepatan hutan dan pemukiman juga terjadi di wilayah tersebut. “Akan lebih parah jika tataran tata ruang Jabodetabek juga tidak dibenahi”, tambahnya.
“Kegagalan politik tata ruang di Jabodetabek terbukti sebagai penyebab terjadinya banjir”, kata Yayat. Infrastruktur kekuasaan di level nasional, provinsi, dan daerah tidak mampu menjalankan amanat UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang secara sepenuhnya. Fungsi negara memberikan perlindungan penduduk dari ancaman banjir, sering terbentur pada belenggu koordinasi dan egoisme sektoral serta kepentingan otonomi daerah.
“Kekuasaan menindak, menghentikan, melarang, dan mengingatkan tidak sepenuhnya dijalankan”, kata Yayat. Terjadi pembiaran alih fungsi hutan dan pertanian, bahkan terjadi perizinan di kawasan lindung dan resapan air. “Merubah pendekatan kebijakan, flood control towards flood management merupakan salah satu solusi”, jelasnya.
Skala prioritas pertama, metode non structural yakni pengelolaan daerah aliran sungai, pengaturan tata guna lahan, pengembangan daerah banjir, pengaturan daerah banjir. Prioritas kedua antaranya metode struktur, membangun pengendalian banjir seperti bendungan kolam retensi, check dam, polder, retarding basin. Prioritas skala ketiga menggunakan metode struktur dengan perbaikan dan pengaturan sistem sungai dengan kegiatan seperti perbaikan sistem jaringan sungai, pelebaran atau pengerukan sungai, pembangunan tanggul banjir, sodetan, dan floodway.
Selain itu, menurutnya Jakarta harus dibangun dengan konsep pengembangan wilayah secara “smart”, ada empat tindakan seperti peran masyarakat, implementasi kearifan lokal, dukungan sistem informasi, teknologi ramah lingkungan, dan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam perencanaan kota.
“Selain itu, pendekatan untuk mengatasi banjir perlu secara struktural, non struktural dan juga humanis”, kata Rudi Siahaan. Dalam artian sumber daya manusia di pemerintahan provinsi harus accountable dan ini penting perlunya reformasi birokrasi. Terkait ini yang paling penting juga adalah komitmen dari para pemimpin dan diimplementasikan dalam berbagai kebijakannya, misalnya kebijakan green development.
“Hal lain yang penting juga adalah peningkatan partisipasi semua pihak, pemerintahnya, masyarakat, dan juga swasta”, tambah Rudi. (Cita Ariani-SIEJ)