Potret perusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara. Foto : Yos Hasrul/Greenpress.
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM-Di balik gemerlap mimpi kendaraan listrik dunia, beriringan dengan laju perusakan alam Indonesia tak terkecuali di Raja Ampat, yang diklaim sebagai surga terakhir di bumi yang kaya akan biodiversity.
Suara itu menggema dalam sebuah diskusi publik bertajuk “Indonesia Bukan Hanya Tambang: Dari Raja Ampat ke Konawe, Sulawesi Tenggara” (13/06/2025), yang menjadi panggung perlawanan dari tanah-tanah yang luka, hutan-hutan yang botak, dan laut-laut yang tercemar.
Diskusi ini diselenggarakan secara daring oleh kolaborasi berbagai organisasi masyarakat sipil: Disaster Channel, Skala Indonesia, Greenpress Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Forum LokaNusa, serta Beritalingkungan.com.
Lebih dari sekadar diskusi, acara ini adalah refleksi mendalam sekaligus alarm keras bagi bangsa yang terlalu tergesa-gesa mengejar investasi, seraya menanggalkan akarnya sendiri: alam dan manusianya.
Ketika Surga Mulai Tergerus
Di Raja Ampat, salah satu titik biodiversitas laut terkaya di dunia, kabar rencana tambang datang bagai kabut racun. Trinirmalaningrum dari Skala Indonesia dengan nada getir menyampaikan Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata.
“Ini adalah mahkota kehidupan laut dunia. Ancaman tambang di kawasan sekitarnya bukan hanya membahayakan ekosistem, tapi juga masa depan generasi manusia,”ujarnya.
Dari pesisir Papua hingga ke jantung Sulawesi Tenggara, luka lingkungan menganga. Di Konawe dan Kolaka Utara, konflik izin tambang merebak di atas lahan produktif. Sungai-sungai dan daerah pesisir tercemar, tanah adat diserobot, nelayan kehilangan mata pencaharian, dan komunitas adat dikriminalisasi karena mempertahankan tanah leluhur.
Nikel: Logam Hijau yang Menyisakan Abu
Anak-anak di tengah lingkungan yang tercemar akibat pertambangan nikel di Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Foto : Yos Hasrul/Greenpress.
Indonesia saat ini menjadi poros penting dalam industri nikel dunia, terutama sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Namun, realitas di lapangan menunjukkan wajah lain.
Di Kolaka Utara, konflik IUP antara dua perusahaan terjadi di atas lahan seluas 475 hektar. Di Konawe, masyarakat adat dikriminalisasi karena mempertahankan tanahnya dari ekspansi tambang.
“Dari sisi geologi, hanya 10% dari seluruh sumber daya nikel kita yang benar-benar bisa ditambang secara ekonomis,” ujar diungkap Alan Matano dari IAGI. Namun, ironisnya, aktivitas tambang justru menggila, tanpa pertimbangan ekologis dan sosial yang memadai.
Muh Jamil dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyampaikan bahwa banyak pertambangan berlangsung tanpa kajian AMDAL yang kredibel. Akibatnya, sungai tercemar, pulau-pulau kecil rusak, dan komunitas lokal tercerabut dari akar kehidupannya. “Ini bukan hanya kerusakan alam, ini keruntuhan sosial. Komunitas tercerabut dari tanah, dari sejarah, dan dari masa depan mereka sendiri.”ujarnya.
Suara dari Akar Rumput
Sementara Yos Hasrul, jurnalis lingkungan dari Greenpress Sulawesi Tenggara yang telah dua dekade meliput isu tambang dan berbagai isu lingkungan lainnya menyampaikan sejarah tentang ekspansi pertambangan di Sulawesi Tenggara yang dimulai dari Kolaka Utara yang kemudian menyebar ke seluruh Sutra yang oleh mantan Gubernur Sultra Nur Alam berambisi menjadikan Sultra sebagai pusat pertambangan dunia.
Ia juga menyoroti pertambangan di Konawe Kepulauan, yang dampak destruktifnya terhadap ekosistem dan menghancurkan ekonomi lokal masyarakat setempat. “Warga kini hanya bisa marah karena putus asa. Hutan gundul, laut tercemar, anak-anak mereka batuk dan demam, dan tak ada yang datang menolong,”ujarnya.
Mantan jurnalis The Jakarta Post itu menyebut tidak ada masyarakat yang kaya di sekeliling tambang, yang kaya adalah pemilik tambang, sementara masyarakat dan alam hanya menjadi korban keserakan dari ekspoitasi alam yang berlebihan.
Pada kesempatan itu, Trinirmalaningrum mengenalkan Forum LokaNusa yang dibentuk di Kendari, sebagai wadah lintas komunitas untuk memperkuat suara rakyat di tingkat lokal. Di saat banyak institusi membisu, inisiatif warga seperti ini menjadi napas baru perjuangan lingkungan.
Antara Energi Hijau dan Keadilan Sosial
Diskusi ini menolak mengamini narasi bahwa transisi energi bersih harus dibayar dengan penderitaan rakyat. IGG Maha Adi, Direktur Eksekutif Greenpress Indonesia dalam tanggapannya menyampaikan perlunya penilaian dampak lingkungan yang tepat, dan pentingnya menyeimbangkan pembangunan dengan pelestarian sumber daya alam.
“Jika Indonesia ingin menjadi pemimpin dalam energi hijau global, maka kita juga harus memimpin dalam keadilan ekologis. Tak ada kompromi terhadap hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan.”ujarnya.
Pada kesempatan tersebut Adi mengusilkan perlunya Dana Darurat Lingkungan dibentuk untuk merespons bencana ekologis.”Jadi tidak hanya CSR tapi perlu ada dana darurat lingkungan, yang bisa digunakan Ketika terjadi bencana alam,”tandasnya.
Menuju Tambang yang Beradab?
Dari diskusi tersebut, muncul poin-poin menarik untuk ditindak lanjuti oleh pihak terkait terutama pemerintah dan pihak industry dalam pengelolaan tambang dan sumber daya alam di Indonesia:
- Prinsip Persetujuan Bebas, Sebelum, dan Terinformasi (PBBTI) harus menjadi prasyarat mutlak izin tambang.
- Kajian AMDAL harus kembali ke fungsinya sebagai alat kontrol substantif, bukan sekadar formalitas.
- Penegakan hukum atas pertambangan ilegal di kawasan lindung harus diperkuat.
- Dana Darurat Lingkungan dibentuk untuk merespons bencana ekologis.
- Perlu ada audit dana reklamasi dan transparansi pengelolaannya.
- Kompensasi riil untuk warga terdampak, baik terhadap tanah, air, maupun penghidupan.
- Perlunya keterlibatan masyarakat dalam desain dan evaluasi program CSR.
- Integritas akademik dalam menilai dampak lingkungan harus dijaga.
Diskusi ini menjadi bukti bahwa suara dari bawah tak bisa diredam. Mereka menyuarakan Indonesia bukan hanya tambang, tapi juga hutan, laut, sungai, dan manusia yang hidup bersamanya yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Di negeri yang kerap bangga menyandang predikat “paru-paru dunia” atau “cincin zamrud khatulistiwa”, kita ditantang untuk memilih: menjadi bangsa yang merawat bumi, atau membiarkannya terbakar perlahan, demi keuntungan sesaat.
Karena sekali tanah dirampas, sungai dikeringkan, dan laut dikotori, tidak ada energi hijau yang cukup untuk menggantikan kehilangan itu (Marwan Aziz).