JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Kajian yang dilakukan Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat potensi kerugian negara dalam pengadaan batu bara bagi pembangkit PLN yang berlangsung dalam sepuluh tahun terakhir.
Selama periode 2009 – 2019, biaya pembelian batubara untuk pembangkit PLN lebih mahal dibandingkan harga impor (CIF) China untuk batubara jenis lignit dari Indonesia. Secara rata-rata dalam 10 tahun terakhir, biaya pembelian batubara untuk pembangkit PLN lebih mahal Rp 225 ribu per ton.
“Kajian ini menelaah dua hal, pertama melihat selisih biaya pengadaan yang disebabkan oleh rantai pasok dan proses pengadaan yang tidak efisien, dan kedua, melihat dari beban penggunaan dibandingkan dengan beban komponen bahan bakar di pembangkit batu bara yang dioperasikan oleh anak perusahaan PLN,” ujar Firdaus Ilyas, peneliti senior Indonesian Corruption Watch (ICW).
Kajian ICW juga menemukan indikasi bahwa PLN telah membeli batu bara lebih mahal daripada harga batu bara Indonesia yang dibeli oleh pihak Cina dan India. Selain itu, apabila dikaitkan dengan realisasi volume pemakaian batubara pada pembangkit listrik milik PLN selama periode 2009 sampai 2019 sebesar 473.602.354 ton. Secara agregat selisih harga pengadaan batubaranya melampaui 100 triliun rupiah dalam satu dekade terakhir.
“Kajian ini menelaah dari sisi biaya, di mana beban penggunaan dibandingkan dengan harga pembelian, dan yang kita lihat disini adalah berapa selisihnya dan siapa yang menanggungnya,” ujar Firdaus Ilyas, peneliti senior Indonesian Corruption Watch (ICW).
Sementara itu, Elrika Hamdi, peneliti energy finance dari lembaga kajian internasional International Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyerukan PLN agar membuka data kepada audit kinerja sistem pembangkitan. Ini penting untuk mengidentifikasi potensi kebocoran dalam rantai nilai pembangkitan listrik Indonesia, utamanya yang menggunakan komoditas energi yang juga menjadi komoditas ekspor yaitu batu bara.
“Kalau memang batu bara yang dibeli PLN lebih mahal dengan harga volatile dan naik turun, kenapa harus dipakai terus, dan kenapa pasokannya harus terus ditambah dengan mendorong pembangunan tambang batu bara terus menerus?” ujar Elrika Hamdi.
Elrika juga menanyakan, “mengapa pembangkit batu bara terus dibangun?”. Padahal dari sisi kontrak pembelian listrik dari pembangkit batu bara, PLN sangat tidak diuntungkan dengan sistem kontrak take or pay, di mana listrik yang tidak dipakai pun harus dibayar.
“Hal itu akan berdampak pada tagihan listrik kita.” tegas Elrika Hamdi.
Menurut peneliti energy finance dari lembaga kajian internasional International Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) itu, potensi kerugian negara juga ditemukan pada pengadaan batu bara di PLTU Suralaya.
Hal ini ditemukan dengan membandingkan pengadaan batu bara di PLTU Suralaya yg dikelola oleh PT Indonesia Power (IP) dan PLTU Paiton yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) yang dianggap merupakan pembangkit dengan tipe serupa.
Berdasarkan kalori batu bara yang digunakan serta tingkat efisiensi penggunaan batu bara, Kajian ICW mencatat, komponen biaya untuk bahan bakar yang dikeluarkan PLTU Suralaya seharusnya lebih rendah dibandingkan PLTU Paiton.
“Kenyataannya, diindikasikan adanya selisih beban komponen batubara pada PLTU Suralaya sebesar Rp 11,159 triliun selama periode 2009 – 2018”, papar Firdaus Ilyas.
Menurut Firdaus, rerata tiap tahun nilai indikasi inefisiensinya sebesar Rp 1,240 triliun. Angka ini disimpulkan ICW sebagai indikasi inefisiensi pada pembangkit PLTU Suralaya yang dikelola oleh PT Indonesia Power.
“Hal ini bisa mempengaruhi beban aktual dan akan tercermin dalam tagihan listrik kita, dalam harga per KwH yang kita gunakan di rumah,” ujar Firdaus.
Oleh karena itu, Firdaus meminta inefisiensi ini segera diselidiki lebih lanjut. Termasuk menyediliki apa yang menyebabkannya.
“Apakah kesalahan dalam strategi pengadaan, apakah rantai pasok yang terlalu panjang yang terpapar banyak pencari rente? Ada indikasi bahwa ini dapat dianggap sebagai kerugian negara,” pungkas Firdaus. (Jekson Simanjuntak)
–>