Persawahan yg terendam di Cilebar, Karawang. Foto : Marwan Azis/Beritalingkungan.com
Memasuki Januari, sejumlah kecamatan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dilanda banjir yang merendam areal ratusan hektare persawahan. Petani pun tak bisa berbuat apa-apa. Jadwal untuk nandur (menanam) terpaksa mundur, karena hujan terus turun.
Kecamatan Cilebar adalah yang terparah menderita akibat banjir, karena lebih dari separuh sawah terendam dan tambah warga pun meluap sehingga banyak ikan yang meluber. Kecamatan lain yang ikut terendam air adalah Cilebar, Pedas, sebagian Rawamerta, Tempuran, Cilamaya. Seluruh daerah ini masuk dalam golongan penerima irigasi 4 dan 5 yang berarti daerah ini terletak di hilir.
Bila dua hari saja hujan , maka dipastikan menyebabkan ratusan hektar areal persawahan sejumlah kecamatan di Karawang lenyap ditelan air. Berdasarkan pantauan di sejumlah kecamatan seperti Pedas, Cilebar, Tempuran, Cilamaya dan Kulon, ketinggian air yang merendam areal persawahan cukup bervariasi antara 50 cm hingga 1 meter.
Para petani terpaksa mengundur waktu menanam. “Kalau kondisi seperti ini bisa dua minggu mundurnya. Banjir dua hari saja, bisa mundur dua waktu nanam, apalagi kalau banjir 4 hari atau lebih,” kata Eno Maryono, aktifis Serikat Petani Karawang (Sepetak) yang juga bertani di kecamatan Tempuran.
Endang warga Desa Tanjung Sari, Kecamatan Cilebar, Karawang, hanya bisa pasrah melihat sawahnya terendam air setinggi hampir satu meter. Ia menyewa lahan garapan seluas seluas dua hektare di Desa Tanjung Sari. Semusim ongkos sewanya enam juta rupiah per hektare. Seperti petani lainnya, Endang beberapa hari belakangan ini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga atau nongkrong bersama petani lainnya. “Berdasarkan pengalaman kalau banjir seperti ini biasanya minimal berlangsung satu bulan,”ujarnya.
Jam delapan pagi Endang sudah nongkrong bersama Pak Narto dan Pak Anto, yang semua sawahnya terendam pula. Mereka malah asyik ngobrol sambil menyeruput kopi panas. Menurut perhitungan Endang, mestinya di awal Januari benih sudah ditanam atau disebar dua minggu lalu, tapi karena kebanjiran, harus bersabar menunggu air surut yang entah kapan. Di saat bersamaan, bibit padi yang mereka semai 2 minggu lalu banyak yang rusak karena banjir. Akibatnya mereka terpaksa menyemai kembali, sehingga waktu tanam pun terpaksa mundur.
Endang menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir ini, banjir seperti ini berulang, hampir setiap tahun areal persawahan Kecamatan Cilebar terendam. Perubahan tren cuaca dalam beberapa tahun terakhir ini mempengaruhi hasil produksi padi petani. Biasanya mereka bisa memproduksi tujuh ton padi per hektare, kini turun jadi empat ton. ”Ini karena cuaca sudah semakin tak menentu, petani jadi bingung kapan waktu untuk nandur yang tepat. Belum lagi hampir setiap tahun sawah di sini kebanjiran dan serangan hama wereng juga semakin tinggi,”ungkapnya.
Endang berharap pemerintah bisa membantunya dengan menyediakan beras, karena persedian bahan pangan mereka semakin menipis, sementara harga beras kian melambung.”Stok beras di rumah tinggal beberapa liter saja. Paling bertahan beberapa hari, sementara musim panen kan masih empat bulan lagi,”ungkapnya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Endang mengaku kadang-kadang bekerja sebagai kuli bangunan , kadang di Kota Karawang atau di Jakarta.”Kalau nggak cari sumber pendapatan lain, keluarga mau dikasih makan apa?”ujarnya.
Bencana banjir ternyata membawa berkah tak terduga. Banjir ternyata merendam pula ratusan hektare tambak air tawar di Kecamatan Petamburan, sehingga banyak ikan tambak yang meluber dan diambil oleh para petani sekitar tambak. Pemancing dadakan ini datang ke tambah dengan berbagai alat tangkap seperti joglo (ayab) yang terbuat dari bambu berbentuk persegi empat, setrum listrik dan pancing. Seperti yang dilakukan Pak Anjung bersama 4 petani lainnya di areal yang saling berdekatan.“Dari pada tinggal di rumah mending mancing,” katanya.
Seluruh daerah yang terkena banjir termasuk daerah hilir irigasi Karawang. Selain petani tidak bisa melakukan aktivitas di sawah, benih padi yang mereka semai 2-3 minggu lalu, tidak bisa digunakan lagi. Menurut sejumlah warga, biasanya air yang membanjiri areal persawahan akan surut dua hari kemudian, tapi kali ini sampai hari ketiga, air tetap menggenang. Bahkan kemungkinan bertambah karena hujan masih terus berlangsung dengan intensitas yang tinggi.
Sebelumnya Badan Klimatologi Bogor juga sudah mengingatkan agar sebaiknya petani di Jawa Barat termasuk di Karawang untuk waspada dengan intensitas curah hujan tinggi di awal Januari ini. “Petani di Karawang sebaiknya jangan buru-buru nanam, karena berdasarkan perkiraan kami, intensitas hujan di Januari lumayan tinggi. Lihat cuaca dulu,”kata Hendri Antoro, Kasi Data dan Informasi, Stasiun Klimatologi, Bogor, Jawa Barat.
BMKG memperkirakan hujan ektrem atau musim pancaroba berlangsung hingga Februari 2012. Penyebabnya adalah seruak angin dingin dari daratan Asia Tengah ke selatan dibarengi pertemuan angina di atas Pulau Jawa hingga Nusantara.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, areal persawahan di Karawang hampir setiap tahun dilanda banjir yang menyebabkan petani gagal panen. Sebelumnya, tahun 2002 terjadi banjir besar di hampir semua kecamatan terutama di hilir seperti Pakijaya, Batu Jaya, Cibuaya, Pedas, Tempuran dan Cilamaya.
Karawang yang selama ini dikenal sebagai sentra produksi padi dan mengandalkan irigasi pernah dilanda kekeringan parah tahun 2003. Sekitar 20 ribu hektare sawah puso akibat kekeringan dan tak mendapat air sehingga petani merugi hingga ratusan juta rupiah. Saat itu setidaknya ada 6 kecamatan di Karawang yang mengalami kesulitan memperoleh air akibat musim kemarau yang panjang. Wilayah menderita kekeringan terparah umumnya berlokasi di pantai utara Karawang yakni Kecamatan Cilamaya, Pedes, Cibuaya, Tirta Jaya, Pakis Jaya, dan Batu Jaya.
Tahun 2007 banjir kembali merendam areal persawahan dihampir semua kecamatan. Kejadian ini berulang di bulan Maret 2010, banjir besar terjadi di Kecamatan Batu Jaya, Pakisjaya. Dua Kecamatan ini tepat berada di tepian sungai citarum. Akibat banjir besar tersebut, sebagian besar petani mengalami gagal panen.
Tahun 2011 tepatnya Juli hingga Agustus, sejumlah areal persawahan di Karawang kembali dilanda kemarau menyebabkan sebagaian kecamatan mengalami gagal panen. Sejumlah kelompok tani yang mendapat pendampingan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) bekerjasama Konsorium Petani Karawang mengalami gagal panen seperti di kecamatan Teluk Buyung, Kecamatan Pakisjaya.
Dari empat kelompok yang diberikan bantuan kredit, hanya satu kelompok yang mengembalikan kredit tersebut ke pihak konsorsium yang mengelola dana tersebut karena mereka mengalami gagal panen. “Jangan kan mencicil ke konsorsium, untuk mereka sendiri bertahan hidup susah,” kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said`Abdullah.
Sebagian lagi tidak bisa mengembalikan modal 100 persen ke konsorsium karena mereka hanya panen kurang dari 50 persen, lahan mereka kebanjiran tahun 2010 terutama di Batu Jaya, yang lokasinya tepat di tepian sungai Citarum.
Kredit dana bergulir yang diserahkan KRKP kepada kelompok tani tersebut diperuntukan kepada petani yang tidak memiliki lahan, atau petani penggarap, sehingga mereka bisa menyewa lahan sawah termasuk mengelola sawah yang mereka sewa tanpa harus tergantung sama rentenir.
Masing-masing kelompok yang rata-rata berjumlah sekitar 10 orang, mendapatkan kredit antara Rp 9 juta hingga 16 juta perkelompok dengan jumlah anggota perkelompok masing-masing 10 orang yang rata-rata menyewa dan menggarap sawah seluas 2 hektar.
KRKP mengucurkan total sebanyak 140 juta rupiah kepada 9 kelompok tani yang tidak memiliki sawah.
Modal itu selain untuk sewa lahan juga dipakai untuk biaya produksi. “Dengan adanya kredit lunak ini para buruh tani, agar tidak lagi tergantung pada hasil nyeblok. Mereka bisa lepas dari itu, karena ini sudah bisa mengakses lahan, meskipun mereka masih menyewa lahan. juga dipakai untuk biaya produksi,”kata Ayip panggilan akrab Said Abdullah. Nyeblok artinya, si petani penggarap yang tidak punya lahan membantu membersihkan rumput dan merawat tanaman, sebelum panen, tanpa dibayar. Tapi disaat pas panen, si penyeblok ini berhak memanen dari areal tersebut.
Menurut Ayip, dampak terburuk anomali iklim dalam empat tahun terakhir adalah menurunnya produksi pagi, bahkan tahun 2010 di sekitar Tempuran sampai Cibuaya, persentase penurunan produksi mencapai 50 %.“Satu dari sisi produksi memang turun, ini bisa mengancam stabilitas ketersediaan beras nasional, karena Karawang merupakan lumbung pangan nasional. Kedua penurunan produksi juga mengancam kehidupan petani terutama pada buruh tani yang tidak memiliki lahan sawah,”ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Karawang, Nachrowi M. Nur membenarkan jika dalam beberapa tahun terakhir ini cuaca di Karawang banyak berubah. “Sepertinya memang lebih terasa tiga tahun terakhir ini di Karawang. Di tahun 2010 antara Desember akhir sampai Februari, di Karawang terjadi tiga kali puncak banjir, curah hujan cukup tinggi sehingga banyak sawah terendam banjir, akibatnya, petani nanam hingga tiga kali karena banjirnya tiga kali. Air begitu banyak dan tidak kita predikis,”ujarnya.
“Begitu 2011 kok gak ada banjir. Nah sekarang di 2012 sudah mulai terasa, mendung banyak, ini artinya ada pergeseran iklim. Apa akibatnya? Sekarang sudah terasa, Jadwal musim tanam 1 Oktober 2011 sudah mulai. Sesuai dengan rencana, 15 November 600 ribu hektar sudah harus tertanam. Tapi kenyataan kita baru nanam 100 ribu, akhirnya bergeser,”ungkapnya.
Selain perubahan tren cuaca lanjut Nachrowi, tingkat serangan hama penggerek dalam beberapa tahun terakhir ini juga semakin tinggi.”Tadi udah terungkap waktu kita rapat dengan para petugas pertanian seluruh kecamatan se-Karawang. “Sekarang juga sepertinya hama-hama itu sudah beradaptasi dengan kondisi iklim, sehingga petani kewalahan mengantisipasinya, ada kekebalan pestisida,”ujarnya.
Nachrowi memperkirakan pencapaian target produksi padi di daerah tersebut pada 2012 akan terasa berat akibat kemungkinan perubahan cuaca dan iklim yang tidak menentu. “Jika kondisi cuaca dan iklim pada tahun mendatang sama dengan yang terjadi pada tahun 2011, maka pencapaian target padi di Karawang akan cukup berat,” katanya.
Kendala dalam upaya mengembangkan sektor pertanian di Karawang menurut alumnus IPB ini adalah ganasnya serangan hama, ancaman banjir, ancaman kekeringan, alih fungsi lahan, tingginya kerusakan infrastruktur sektor pertanian dan lain-lain yang diperparah oleh ketidak siapan petani dan pemerintah mengantisipasi perubahan cuaca yang semakin tidak menentu, tentu ini akan mempengaruhi pencapaian produksi padi di Karawang dan kerawanan pangan terutama petani tak memiliki lahan. (Marwan Azis).