JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sejak 3 Juli lalu ternyata tidak membawa perubahan signifikan terhadap kualitas udara kota Jakarta. Padahal, pengendalian terhadap pencemaran udara memiliki peran penting untuk mengurangi jumlah pasien ataupun angka kematian akibat Covid-19.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sebelum dan selama PPKM Darurat mengalami peningkatan, khususnya di bulan Juli. Dalam periode tersebut, udara Jakarta dipastikan tercemar sesuai data yang terekam pada alat pemantau milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta dan US Embassy.
“Sepanjang Juli menunjukkan peningkatan empat hingga enam kali lipat dibanding bulan Juni,” ujar Bondan saat menghadiri Media Briefing Koalisi Ibukota, Selasa (10/8).
Dari data tersebut, papar Bondan, terlihat konsentrasi PM 2.5 saat PPKM Darurat lebih tinggi dibandingkan saat diberlakukannya PPKM Mikro (3-20 Juni 2021) dan PSBB (3-20 Juli 2020). “Saat PPKM Mikro maupun PSBB, curah hujan pada SPKU Bundaran HI lebih tinggi dibandingkan PPKM darurat sehingga dapat membantu peluruhan atau pencucian partikel halus di udara,” terangnya.
Karena itu, Bondan meminta pemerintah membuka data konsentrasi dari Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) ke publik secara real time dan berkala. “Ini seharusnya berlaku untuk semua kota dan daerah, bukan hanya menjadi beban DKI Jakarta,” katanya.
Selain itu, jumlah SPKU juga harus diperbanyak, yakni 10 alat pemantau untuk setiap 3 juta populasi. Riset sumber pencemar udara, menurut Bondan, harus dilakukan berkala oleh seluruh wilayah, dan kemudian membuka datanya ke publik agar masyarakat tahu, termasuk melakukan langkah pencegahan.
“Lebih penting lagi pengakuan dari pemerintah bahwa udara DKI Jakarta tercemar dan melebihi BMUA. Perlu langkah nyata mengendalikan sumber pencemar udara secara menyeluruh dan lintas batas berdasarkan data saintifik,” tukas Bondan.
Pada kesempatan yang sama, dr Feni Fitriani Taufik dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menegaskan bahwa organisasinya sudah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyikapi masalah polusi udara di Jakarta.
PDPI, kata Feni, selain meminta pemerintah membuat undang-undang dan peraturan yang baik terkait pengendalian polusi udara, koordinasi lintas sektoral termasuk dengan akademisi, organisasi profesi ataupun aktivis lingkungan melalui kajian dan penelitian, merupakan cara terbaik mengatasi masalah polusi udara di ibu kota.
“Perlu juga melakukan pemantauan polusi yang berasal dari industri, mendorong pembukaan pembangkit listrik tenaga alternatif, membangun sarana transportasi massal yang aman, nyaman dan ramah lingkungan, termasuk meningkatkan penanaman pohon dan menambah area hijau di seluruh wilayah untuk menambah paru-paru kota,” jelas Feni.
“Kalau bicara polusi udara dengan Covid-19, menurut saya, polusi udara saja sudah mengganggu pertahanan tubuh tanpa adanya Covid. Sekarang sudah banyak diteliti juga, bahwa polusi menurunkan imun tubuh dalam melawan virus,” ungkapnya.
Penundaan Gugatan Warga
Kuasa hukum 32 warga DKI Jakarta yang menggugat 7 pejabat negara dalam kasus Gugatan Warga Negara atas Pencemaran Udara Jakarta, Ayu Eza Tiara, menyampaikan bahwa proses persidangan yang berlangsung lebih dari 2 tahun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sangat dinanti warga ibu kota.
“Sudah hampir dua tahun dengan enam kali penundaan Sidang Putusan, ini sudah nggak wajar. Saya khawatir berpotensi maladministrasi. Hal itu merujuk pada aturan Mahkamah Agung melalui Surat Edaran No.2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada empat lingkungan peradilan,” terang Ayu.
Ayu menjelaskan, keempat lingkungan peradilan yang dimaksud, salah satunya adalah peradilan umum atau pengadilan negeri. Dalam surat edaran itu, hakim diamanatkan sebisa mungkin melakukan persidangan dengan proses yang cepat, dan waktu persidangan hingga vonis di tingkat pertama dalam waktu lima bulan.
Sayangnya, hingga saat ini, agenda sidang putusan saja, sebut Ayu, terus ditunda sebanyak enam kali dengan alasan yang terkesan mengada-ada. Dia membeberkan, beberapa alasan penundaan, mulai dari para Tergugat yang lupa mengirim soft file kepada Majelis Hakim, salah satu anak Hakim yang meninggal dunia, kemudian berturut-turut Ketua Majelis Hakim, Panitera dan Hakim Anggota terpapar Covid-19.
“Kami tidak mau dibilang tidak bersimpati, tetapi waktu berduka yang diminta oleh Majelis Hakim nyatanya cukup lama yaitu 2 minggu. Padahal kalau PNS hanya dapat waktu duka empat hari,” terang Ayu.
Ayu juga menambahkan, “saya melihatnya, pengadilan jadi turut serta terlibat melakukan pelanggaran hukum karena menghambat hak warga negara atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat”.
Di tempat yang sama, Yuyun Ismawati, perwakilan dari penggugat mengingatkan bahwa sudah menjadi tugas pemerintah untuk menjamin hak hidup sehat, dan harus bertanggung jawab untuk memberikan udara bersih kepada warganya. Apalagi, kata Yuyun, paparan udara kotor berdampak pada segala usia, sehingga menurunkan harapan Indonesia Emas yang ingin dicapai sesuai bonus demografi.
“Penundaan keputusan berarti memperpanjang risiko dan biaya kesehatan. Semakin ditunda, biaya kesehatan semakin tinggi,” katanya.
Jika Jakarta dibiarkan seperti ini, lalu ditiru oleh kota-kota lain, maka itu menjadi contoh yang buruk. Karena itu, Yuyun mengatakan, jangan berharap bonus demografi sebagai Indonesia Emas di tahun 2045.
“Kalau anak-anak saat ini terus-menerus terpapar udara kotor dan kesehatan yang terganggu, ya harapan itu sulit didapat,” pungkasnya. (Jekson Simanjuntak)