Jekson Simanjuntak
JAKARTA,BERITALINGKUNGAN.COM – Direktur Utama PT Sarinah (Persero) Fetty Kwartati mengatakan, ground breaking sekaligus perayaan ulang tahun pada 18 Agustus 2020 merupakan tanda dimulainya pemugaran Gedung Sarinah yang mengusung konsep Bangunan Gedung Hijau (green building).
“Tahun ini, kita sudah bisa melihat kemajuan atau capaian-capaian yang diperoleh selama satu setengah tahun belakangan ini,” kata Fetty saat memberikan kata sambutan pada perayaan ulang tahun ke 59 Gedung Sarinah.
Meskipun belum mendapatkan sertifikasi Green Building, Fetty menegaskan, Gedung Sarinah memiliki misi untuk mendukung konsep pembangunan berkelanjutan. Secara bertahap mereka segera memenuhi sejumlah kelengkapan yang dibutuhkan demi mendapatkan sertifikasi tersebut.
“Green Building syaratnya bukan hanya lahan terbuka, tanaman dan sebagainya, namun banyak sekali. Tapi kita tetap mengarah ke green building,” ujarnya.
Untuk mengarah kesana, Fetty mengakui tidak sedikit yang telah dicapai, meskipun belum final karena banyak hal yang harus di catch up. “Tapi paling tidak, kita sudah melihat dengan kongkret mulai dari gedung,” katanya.
Hal itu terlihat jelas saat memasuki kawasan Sarinah yang memiliki komposisi lahan terbuka dengan bangunan yang seimbang. Jika dibandingkan dengan tampilan sebelumnya, Gedung Sarinah kini terlihat lebih modern, kokoh dan fresh.
“Teman-teman jika sudah sempat lihat atau lewat atau masuk ke dalam, itu sudah berasa sekali bedanya, Sarinah yang dulu dengan sekarang,” terangnya.
Bahkan menurut Fetty, banyak yang mengatakan, “Wah kalo sekarang lewat Sarinah keren sekali. Apalagi jika kita berada di dalam, itu sangat berasa beda ambience-nya, gitu.”
Secara umum, Gedung Sarinah tidak dirombak total. Dengan begitu masih terlihat adanya perpaduan antara heritage dengan gedung modern. “Itu adalah pencapaian yang sudah diperoleh sampai saat ini,” ungkapnya.
Saat meninjau pemugaran, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengungkapkan jika renovasi keseluruhan Gedung Sarinah telah dimulai pada akhir Juli 2020. Pemugaran membutuhkan biaya sekitar Rp700 miliar.
Karena membutuhkan dana yang besar, Basuki mengingatkan agar kontraktor memperhatikan kualitas pondasi dan tiang gedung lama untuk menjamin keamanan bangunan. “Agar lebih diperhatikan hasil estetika bangunannya,” tegasnya.
Basuki tidak menampik, jika Gedung Sarinah tengah mengusung konsep smart dan green building (gedung pintar dan hijau) yang dilengkapi dengan tempat area berkumpul dan penyediaan co-working space yang modern.
Hal senada diungkapkan Direktur Operasi III PT. Wijaya Karya Sugeng Rochadi. Menurutnya, konsep green building harus bisa memastikan keamanan bangunan sebelum direnovasi. Pihak kontraktor bahkan telah menggandeng tim independen untuk memastikan konstruksi berjalan sesuai prosedur, termasuk pengujian struktur bangunan yang mengacu pada SNI terbaru.
Dalam pengerjaan di lapangan ada beberapa penguatan, baik pondasi maupun struktur kolom penyangga. Sugeng menambahkan, berhubung Gedung Sarinah merupakan cagar budaya, maka bentuk bangunan asli termasuk karya seni rupa patung relief tidak diubah, namun dijaga keasliannya.
“Transformasi bertujuan untuk membangun Sarinah dengan dimensi gaya lama dan menjaga keasliannya, namun dengan estetika kekinian agar menjadi ikon kedepannya,” jelas Sugeng.
Untuk menjadi ikon, diperlukan sarana dan prasarana yang memudahkan pengunjung untuk datang ke Sarinah. Salah satunya melalui penambahan area parkir basement sebanyak dua lantai.
“Juga ada tambahan mezanin sebanyak dua lantai dan untuk casing/facadenya diubah ke kondisi asli pada waktu pertama kali dibangun di tahun 1960-an” paparnya.
Sebelumnya Gedung Sarinah pernah direnovasi usai mengalami kebakaran pada tahun 1984, yang pada akhirnya fasad tower gedung dan podium tersebut ditutup aluminium, tangga outdoor diberi atap, dan tambahan setempat satu lantai pada area podium.
Konsep Green Building
Jakarta sedang berbenah menuju kota yang maju dan lestari dengan menerapkan konsep Green Building. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berdampak langsung pada lingkungan.
Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, Green Building merupakan konsep bangunan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien sejak perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan, pemeliharaan, sampai dekonstruksi.
“Konsep itu didasarkan Pergub No. 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau,” ujarnya.
Prinsip reduksi emisi pada bangunan hijau adalah terjadinya penurunan konsumsi energi tanpa menurunkan kemampuan fungsional bangunan. Data aktivitas emisi GRK bangunan gedung hijau dihitung dari konsumsi dan lama penggunaan listrik.
“Kami dorong kolaborasi aksi penurunan emisi GRK melalui implementasi konsep bangunan gedung hijau dengan melaporkan konsumsi energi, air, dan pelaksanaan program konservasi energi secara berkala,” kata Andono di Jakarta, Minggu (19/9).
Hal itu diamini Totok Sulistiyanto, Direkur PT. Narama Mandiri Mechanical yang memang berkutat dalam perencanaan konsep Bangunan Gedung Hijau. Menurutnya, di era Gubernur DKI yang kebetulan arsitek dan paham konsep green building telah ada regulasi khusus, meskipun di tingkat nasional saat itu belum ada. “Aturan itu kita kenal dengan Pergub no.38 tahun 2012,” paparnya.
Meskipun telah ada sejak sembilan tahun silam, implementasinya di DKI belum terlalu efektif. Untuk gedung-gedung yang ukurannya besar, biasanya konsep green building sudah menjadi bagian dari izin IMB.
“Jika tidak menerapkan konsep green, maka IMB-nya tidak bisa keluar,” katanya.
Ini juga sejalan dengan aturan Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau
“Aturan itu mengenai gedung atau konsep di dalam bangunan yang memikirkan lingkungan. PP no.16 tentang implementasi bangunan gedung, kemudian bentuk detilnya PP ada di Permen PUPR 21/ 2021 yang spesifik bicara mengenai green building, meskipun belum menyebut mengenai net zero building,” terang Totok.
Peranan Kota
Direktur Eksekutif ECLAI Indonesia Ari Mochamad mengatakan, bukan karena kota semata-mata sebagai engine pertumbuhan ekonomi, namun perannya sebagai bagian dari masyarakat dunia. Contohnya, bisa dilihat dalam potret kota di Indonesia.
Menurut Ari, data BPS dan data yang diambil secara global menunjukkan bahwa perkembangan sebuah kota akan semakin pesat diikuti dengan mobilitas penduduk. “Diproyeksikan pada tahun 2030 berdasarkan data global dan data BPS bahwa pada 2035 ada 57% masyarakat akan tinggal di kota,” katanya.
Kota-kota besar di Indonesia, sebagian besar terletak di daerah pesisir. Secara umum, lokasi tersebut berdampak terhadap perubahan iklim, yakni meningkatnya permukaan air laut (Rob), banjir, rusaknya ekosisten hingga abrasi.
“Jika hal ini dinafikkan akan menjadi ancaman besar,” katanya. Di sisi lain, kota dihadapkan pada persoalan lingkungan dan kemiskinan. Tidak heran jika potret kota selalu diterjemahkan dengan hadirnya kantong-kantong kemiskinan, yang dalam perspektif adaptasi perubahan iklim menjadi wilayah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
“Sehingga kota menjadi salah satu sorotan dalam perspektif mengelola dan respons terhadap dampak perubahan iklim,” tegas Ari.
Disamping itu, kota juga memiliki peluang untuk mengembangkan infrastrukturnya. Level of education dari penduduk kota dan perkembangannya telah mengarah pada kota yang cerdas (smart city).
“Sehingga jika upaya-upaya tersebut dapat dialokasikan menjadi sebuah peluang kota di dalam respons perubahan iklim akan memberikan perubahan yang positif,” ujarnya.
Misalnya, gedung-gedung yang dibangun saat ini harus mengarah pada pembangunan yang lebih efisien dalam pemanfaatan energinya. Termasuk sistem transportasi, mengarah kedalam sistem transportasi yang ramah terhadap lingkungan.
Sarana pedestrian juga diperbaiki, termasuk inisiatif masyarakat untuk bersepeda yang seharusnya semakin masif. “Sehingga ini jadi peluang sebuah kota dapat memerangi atau mencegah perubahan iklim,” tegas Ari.
Selama ini, aktivitas manusia yang berlebihan, khususnya pasca revolusi industri telah mengakibatkan berkumpulnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Jika dihitung, menurut Ari, jumlahnya telah melebihi daya dukung lingkungan yang seharusnya.
Itu sebabnya Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) bertujuan untuk menstabilkan gas rumah kaca agar tidak memberikan efek negatif terhadap fungsi fisik dan biologi yang ada di Bumi.
“Faktanya, aktivitas manusia sampai saat ini terutama didorong oleh bahan bakar fosil juga termasuk pembukaan dan penggunaan lahan menyebabkan terlepas gas-gas rumah kaca terutama CO2” katanya.
Ari menambahkan, “Ini yang kemudian menyebabkan pemanasan global dan pemanasan global mendorong perubahan unsur iklim sehingga mengakibatkan perubahan iklim.”
Meskipun telah menyinggung dampak perubahan iklim terhadap perkembangan kota, secara spesifik UNFCCC belum memikirkan atau membahas tentang bangunan hijau.
Di tahun 2015, bertepatan dengan COP21 di Paris, World Green Building Council (WGBC) menggagas momen yang dikenal sebagai Building Day. Sejak itu, konsep bangunan hijau menjadi perhatian serius, seiring upaya penurunan emisi oleh masing-masing negara.
“World Green Building Council sudah punya usulan yang mirip dengan programnya UNFCCC. Tahun 2030 semua gedung baru harus didesain dan memenuhi persyaratan net zero,” kata Totok.
Lalu di tahun 2050, semua bangunan baru dan existing building sudah harus net zero operation. “Dioperasikannya secara net zero,” jelasnya.
Saat ini, World Green Building Council (WGBC) memiliki anggota lebih dari 80 negara, termasuk Indonesia. Indonesia bahkan menjadi anggota penuh di WGBC dan sejak dua tahun terakhir memberikan mandat kepada anggota untuk menerapkan advancing net zero building.
“Ini yang menjadi apresiasi WGBC, karena Indonesia tidak menyebut advancing net zero building tapi kita punya konsep sendiri yaitu GREENSHIP Net Zero untuk mentransformasikan semua bangunan tanpa emisi,” katanya.
Caranya melalui empat langkah penting, yakni pendekatan desain pasif terdiri dari penggunaan ventilasi alami dan pencahayaan alami. Kemudian pendekatan desain aktif melalui optimalisasi kinerja sistem pendingin udara, penerangan, dan peralatan lainnya.
Lalu pendekatan lingkungan yang sehat dan nyaman, termasuk menciptakan kualitas udara yang sehat di dalam gedung, serta penggunaan energi terbarukan di lokasi, di luar lokasi, dan offset. Termasuk mengurangi emisi dari operasional gedung dengan memanfaatkan energi terbarukan dengan emisi nol.
“Gambarannya seperti iklan di televisi, How Low Can You Go. How low you use your energy, baru mikirin renewable energy-nya,” terangnya
Intinya, tidak terjadi pemborosan energi di dalam gedung, dan tidak terburu-buru memasang solar panel, wind, dan sebagainya. “Syaratnya harus hemat dulu, baru bisa ke arah net zero. Ini rating tools yang disiapkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) untuk mewujudkkan GREENSHIP – Net Zero Healthy Building,” ungkap Totok.
Pembangunan rendah karbon
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menunjukkan komitmennya untuk mewujudkan kota yang berketahanan iklim. Itu dibuktikan melalui terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah Yang Berketahanan Iklim (RPRKD).
Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, RPRKD merupakan peraturan pada tingkat daerah yang komprehensif yang memuat aksi perubahan iklim yang mengintegrasikan aksi mitigasi dan adaptasi di DKI Jakarta.
“DKI Jakarta menjadi provinsi pertama di Indonesia yang memiliki RPRKD sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024),” kata Anies, Jumat (15/10).
Dan untuk pertama kali, rencana aksi adaptasi perubahan iklim diatur dalam sebuah produk hukum. RPRKD merupakan perwujudan komitmen ambisius DKI serta kontribusi aktif dalam pencapaian National Determined Contribution (NDC) Indonesia.
“Jakarta melakukan inovasi yang menyeluruh di mana aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim diberlakukan secara seimbang, mengingat selama ini aksi adaptasi perubahan iklim sering sekali terlupakan,” katanya.
Selain itu, pengarusutamaan isu perubahan iklim dan pembangunan daerah pun menjadi semangat dari perumusan regulasi tersebut.
“Komitmennya adalah ingin mewujudkan Jakarta sebagai kota yang berketahanan iklim, dan Jakarta bisa melakukan percepatan pencapaian target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 30% dan secara ambisius mampu mengurangi emisi GRK langsung sebesar 50% pada tahun 2030, serta net zero emission pada tahun 2050,” terang Anies.
Secara paralel, Jakarta berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana iklim dengan tolok ukur mengurangi jumlah kawasan atau area yang termasuk ke dalam kategori rentan dan sangat rentan terhadap bencana iklim. Sebagai informasi, RPRKD juga sesuai dengan Perjanjian Paris, yang menjadi agenda global dari penanganan perubahan iklim.
Kepala Seksi Inventarisasi GRK Sektor Energi dan IPPU dari Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan dan Verifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ratnasari mengapresiasi aksi adaptasi yang dipilih oleh Pemprov DKI Jakarta.
Menurutnya, hal itu sejalan dengan kebijakan dan instrumen pendukung pencapaian NDC yang disusun secara spesifik yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Terbukti pada Konferensi Para Pihak 2021 (COP26) di Glasgow peran subnasional (daerah) menjadi salah satu perhatian utama.
“Peran kota sangat penting sebagai motor penggerak dari isu perubahan iklim,” jelasnya.
Secara umum, pemerintah daerah berperan penting dalam mendukung pencapaian NDC yang dibagi atas beberapa kategori, seperti level biru, dimana pemerintah provinsi dapat melakukan upaya aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklimi serta inventarisasi gas rumah kaca, sebagaimana diamanatkan Permendagri No 86/2017.
“Ini merupakan indikator kinerja daerah dalam RPJMD,” tegasnya.
Level hijau, dimana pemerintah daerah mampu menyediakan data dan pelaporan gas rumah kaca (GRK) secara berkala untuk memotret emisi aktual sebagai historical data untuk penyusunan baseline provinsi terkait penghitungan besaran pengurangan emisi GRK, sebagaimana mandat Perpres 71/2011 dan permen LHK 73/2017 dan perpres NEK 98/2021.
Level kuning untuk melaporkan/mendaftarkan aktif aksi-aksi mitigasi yang telah diimplementasikan, khususnya aksi-aksi yang menjadi kewenangan pembiayaan dari daerah (APBD) ke platform yang tersedia seperti Sistem Registrasi Nasional (SRN) untuk kemudian diverifikasi.
“Registry ini sangat penting untuk memantau kemajuan pencapaian NDC secara nasional,” katanya.
Kemudan level merah, dimana kebijakan daerah mendukung pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi melalui pembatasan plastik sekali pakai, kampanye eco-living (gaya hidup minim sampah) serta kebijakan energi efisiensi transportasi (peningkatan transportasi masal, peningkatan penggunaan bahan bakar rendah emisi, dll).
“Peran subnasional sebagai motor penggerak atau bottom up approach sangat diperlukan dalam pelaksanaan isu perubahan iklim,” katanya.
Menurut Ratnasari, Peraturan Menteri LHK No.73/2017 merupakan pedoman terkait pelaporan inventarisasi GRK yang harus dipatuhi. Ini adalah aturan yang mewajibkan pemerintah daerah dan non-party stakeholder lainnya melakukan kegiatan inventarisasi GRK.
“Juga melakukan pelaporan setiap tahun kepada pemerintah pusat untuk di compile yang pada akhirnya menjadi pelaporan nasional,” terangnya.
Sementara terkait Perpres 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) secara khusus mengatur tentang perdagangan karbon (carbon pricing). Namun sampai saat ini, peraturan turunan belum bisa diimplementasikan karena masih dibahas, khususnya terkait sertifikasi, hingga verifikasi emisi GRK.
“Sementara menunggu, bagi yang ingin melaporkan perdagangan karbon sebaiknya mulai menyusun aturan dan beres-beres dulu di tingkat sub-nasional. Inventarisasinya seperti apa dan mitigasinya seperti apa, baru nanti bisa berbicara tentang perdagangan karbon,” katanya.
Pengurangan emisi GRK baru 0,93 persen
Andono Warih menjelaskan, hingga saat ini, baru 5 (lima) gedung di DKI Jakarta yang telah melaporkan aksi mitigasinya, yaitu Menara BCA, Sampoerna Strategic Square, Sequis Life, Pacific Place, dan Gedung Waskita.
Data itu diperoleh dari Green Building Council Indonesia (GBCI) yang telah melakukan sertifikasi bangunan hijau dengan hasil perhitungan capaian reduksi emisi GRK sebesar 13.789 ton CO2e.
“Persentase capaian reduksi aksi mitigasi green building pada tahun 2020 baru sebesar 0,93% dari target penurunan emisi GRK. Masih sangat kecil sekali,” katanya
Berdasarkan Pergub No. 131 Tahun 2012, target penurunan emisi GRK dari gedung non-Pemprov pada tahun 2020 sebesar 1,5 juta ton CO2e dan tahun 2030 sebesar 5,5 juta ton CO2e.
“Sementara yarget dari gedung Pemprov sendiri pada Tahun 2020 sebesar 49,4 ribu ton CO2e dan tahun 2030 sebesar 129,5 ribu ton CO2e,” ungkapnya
Lebih lanjut, konsep green building DKI Jakarta telah dituangkan dalam Grand Desain Green Building yang diinisiasi sejak tahun 2016. Dijelaskan, pada tahun 2030 Jakarta berkomitmen akan menurunkan konsumsi energi, konsumsi air dan penurunan emisi gas rumah kaca masing-masing sebesar 30%.
Konsep green building juga dapat mencegah dampak negatif dan meningkatkan kesehatan lingkungan sekitar yang dapat diterapkan pada permukiman atau hunian warga. “Ini merupakan wujud kepedulian terhadap lingkungan,” katanya.
Adapun target green building melalui penghematan energi listrik sebesar 3.785 GWh. Artinya energi ini dapat digunakan untuk menerangi lebih dari 32 ribu unit rumah/rusun dengan daya 1.300 W sampai dengan 2030.
Selain itu, penghematan konsumsi air sebesar 2,4 miliar liter setara dengan konsumsi air untuk lebih dari 1.100 unit rumah/rusun sampai dengan 2030. Dengan penghematan konsumsi listrik dan air tersebut, dapat dilakukan pengurangan emisi GRK sebesar 3,37 juta ton CO2e.
“Setara dengan pengurangan emisi oleh 815 ribu batang pohon yang ditanam sampai dengan 2030,” tandasnya.
Perencanaan yang matang
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca/emisi karbon sebagai upaya penanggulangan perubahan iklim. Bentuk komitmen itu diwujudkan melalui Kampanye Publik Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau Indonesia yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Menteri Basuki mengatakan, sejalan dengan peran Indonesia menghadapi isu lingkungan, kementerian yang dipimpinnya terus berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon melalui berbagai pembangunan infrastruktur yang mengadopsi prinsip green building.
“Seperti pada pembangunan pasar tradisional, stadion, dan rumah susun (rusun), serta pemanfaatan energi terbarukan dalam pengoperasian dan pemeliharaan gedung dan pengembangan manajemen infrastruktur pengelolaan sampah,” katanya.
Basuki menambahkan, “Kami mengadopsi prinsip pembangunan gedung hijau (green building) melalui Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau.”
Kementerian PUPR juga melakukan peningkatan sertifikasi bangunan gedung hijau dengan menugaskan pelatih dan asesor serta mengembangkan kemampuan instruktur teknis untuk evaluasi kinerja bangunan.
Dengan berbagai langkah itu, Basuki optimists mampu memberikan dukungan pengurangan emisi karbon dengan potensi sebesar 58 persen di sektor bangunan dan 5 persen di sektor limbah.
“Berdasarkan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Fourth Assessment Report on Climate Change (2017), operasional gedung menyumbang hingga 72 persen emisi karbondioksida di kawasan perkotaan,” ujar Basuki.
Direktur Bina Teknik Permukiman dan Perumahan Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR Dian Irawati mengatakan, kampanye publik diselenggarakan untuk memberikan informasi mengenai penilaian kinerja bangunan gedung hijau kepada para pemangku kepentingan (stakeholder) terkait penyelenggaraan bangunan gedung hijau dalam mewujudkan infrastruktur bidang permukiman dan perumahan yang andal dan berkelanjutan.
“Perlu ada upaya mitigasi perubahan iklim dengan segera mewujudkan bangunan hijau yang hemat dalam penggunaan energi, air, dan sumber daya lainnya,” kata Ira pada Kampanye Publik Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau Indonesia, Selasa (23/11/).
Kementerian PUPR, kata Ira, terus berkomitmen untuk mewujudkan penyelenggaraan infrastruktur permukiman dan perumahan yang berkelanjutan, termasuk bangunan gedung, sebagaimana tertuang dalam visi Kementerian PUPR 2030, yakni tercapainya 100% hunian cerdas (Smart Living).
“Dalam mewujudkan 100% Smart Living, Kementerian PUPR memiliki arah kebijakan pembinaan dan pengembangan infrastruktur permukiman dan perumahan dengan peningkatan penyediaan infrastruktur permukiman dan perumahan yang partisipatif dan berkelanjutan,” ungkap Ira.
Ditambahkannya, terdapat empat aspek utama dalam mewujudkan hal tersebut, yakni perwujudan permukiman layak huni, penerapan bangunan gedung hijau, pembangunan permukiman tahan bencana, serta penerapan teknologi dan permukiman ramah lingkungan.
“Diperlukan dukungan aktif semua pihak pelaku pembangunan gedung mulai dari pemerintah daerah, asosiasi profesi, dunia usaha akademisi, dan pihak terkait lainnya untuk mempercepat tercapainya pembangunan gedung hijau,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia Hendricus Andy Simarmata mengingatkan bahwa dalam konteks perubahan iklim, setiap kota harus lebih agresif untuk mengarusutamakan mitigasi dan adaptasi dalam berbagai platform pembangunan.
“Perencanaan perlu difokuskan lebih banyak kepada memperbaiki kualitas dokumen rencana dan bagaimana integrasi dari rencana tersebut, karena pemerintah daerah terkadang dipusingkan dengan begitu banyak amanat dari pusat yang harus diimplementasikan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Hendricus mengusulkan tentang redefinisi perencanaan kota. “Rencana kota harusnya sudah memiliki konten-konten perubahan iklim, konten pembangunan berkelanjutan, konten mitigasi risiko bencana, dan banyak hal yang bisa masuk didalamnya tanpa harus membuat banyak rencana,” terangnya.
Salah satu contohnya, terjadi di tahun 2019 ketika mereka berhasil merumuskan Resilient-Net Zero Carbon Cities powered by GE sebagai kota yang secara sistematis mengembangkan ruang yang meminimalisir kehilangan dan kerugian dari dampak perubahan iklim (muatan adaptasi) serta memungkinkan masyarakatnya untuk hidup dan berkehidupan dengan pengeluaran emisi karbon yang relatif lebih rendah (pembangunan rendah karbon) dibandingkan dengan periode pembangunan sebelumnya melalui transformasi energi hijau.
Menurut Hendricus, dengan konsepsi itu, terdapat dua makna, yaitu mitigasi dan perubahan iklim yang sudah embeded kedalam satu konsep yang disebut sebagai Resilient-Net Zero Carbon Cities powered by GE.
Sebagai ahli dalam pengembangkan konsep ketahanan dan keberlanjutan kota, Ia menekankan tentang perlunya mengembangkan berbagai standar untuk mengukur sebuah kota yang telah mengarusutamakan perubahan iklim, termasuk didalamnya menciptakan kota cerdas.
“Jika kebanyakan standar, nanti akan membuat bingung pemerintah kota dalam mengkesekusinya,” katanya.
Di sisi lain, perlu ada prosedur perencanaan yang terintegrasi antar-kepentingan sektoral dan knowledge management. Menurut Hendricus, hal itu dapat digunakan oleh semua pihak yang bergerak di bidang pembangunan berkelanjutan, tidak hanya pemerintah daerah.
“Menghasilkan informasi terkini dan kuat tentang jalinan perubahan iklim, keberlanjutan, dan pembangunan perkotaan,” ujarnya.
Juga penting untuk memperhatikan siklus yang terdiri dari climate change, climate impact, sosio-economydevelopment, energy dan land use, serta emisi yang merupakan bagian dari siklus pembangunan jangka panjang. Dengan begitu, pemerintah daerah akan memiliki ukuran yang jelas terkait perubahan dalam setiap lima tahun.
“Perjuangan ini harus dimulai dari sekarang, karena kita masih punya dua tahun untuk menggodok apa-apa saja yang harus dimasukkan dalam agenda perencanaan pembangunan jangka panjang nasional,” terang Hendricus.
Ia menambahkan, “Terus terang waktu tahun 2005 ke 2025, RPJMN tentang perubahan iklim sudah masuk, tetapi tidak mewarnai. Ada periode climate change 30 tahunan yang harus bisa masuk ke dalam periodesasi rencana pembangunan kita.”
Hal itu diharapkan dapat tercapai pada periode Indonesia emas di tahun 2045. Setidaknya akan menjadikan rencana pembangunan yang terintegrasi, antara rencana pembangunan jangka panjang yang didalamnya ada rencana pembangunan jangka menengah 5 tahun.
“Kita harapkan pada 2025 kita punya start yang sama, dimana indikator keberhasilan pembangunan bukan hanya bicara tentang PDB tetapi rasio PDB dibandingkan dengan emisi karbon,” ujarnya.
Dengan demikian, arah pembangunan rendah karbon sampai mencapai netral karbon dapat disusun dengan baik dari tahap perencanaan. “Jadi bukan secara otodidak atau secara fragmatis, baik di level nasional maupun di level daerah,” pungkasnya. (end)