Kopi Kaongke-ngkea dan jambu mete asal Buton yang dikemas apik laris dalam Pameran HUT TMII beberapa waktu lalu. Foto : kominfobuton.com. |
BOGOR, BL- Komoditas kopi dan mete kini menjadi pilihan produk unggulan yang direkomendasikan FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat) untuk dikembangkan masyarakat yang mengantungkan hidupnya di sektor kehutanan.
Kedua komoditas tersebut tersebar luas di sejumlah daerah terutama di bagian timur Indonesia. Menurut Andri Santosa, Sekretaris Nasional FKKM, meski peran masyarakat dalam pengelolaan hutan sudah diakui dan beragam hasilnya menjadi sumber pendapatan. Namun, kekayaan alam tersebut tidak serta merta membuat masyarakat menjadi kaya.
Melihat persoalan itu, FKKM bersama Right Resources Initiative (RRI) mengadakan Lokakarya Nasional “Kebijakan dan Pengembangan Produk Kopi dan Mete pada Kehutanan Masyarakat”, di Bogor, 17 Oktober 2013.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan kini tak lagi asing. Beragam nama dikenal, diantaranya perhutanan sosial, kehutanan masyarakat (KM), serta community forestry. Skema pengelolaannya tak kalah beragam; Hutan Kemasyarakatan (HKm), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Desa, Kemitraan, Desa Konservasi, dan Hutan Adat telah diakui dalam produk kebijakan di Indonesia.
Community Forestry Enterprise (CFE), atau wirausaha kehutanan masyarakat juga mulai mengemuka. Namun, berwirausaha tidaklah sederhana bagi masyarakat. Setidaknya diperlukan kepastian kelembagaan, produk yang berdaya saing, kebijakan yang mendukung, serta pasar yang potensial.
Melalui dukungan RRI, FKKM juga melakukan kajian terhadap produk unggul kehutanan masyarakat di region Sulawesi, Jawa serta Nusa Tenggara. Produk tersebut dinilai dari sisi ketersedian bahan baku, kebijakan, dan potensi pasar. “Kopi dan Mete menjadi pilihan produk yang direkomendasikan untuk didorong menjadi unggulan Kehutanan Masyarakat,”kata Wisnu Caroko, Direktur Yayasan Setara-NTFP yang menekuni pada hasil hutan bukan kayu.
FKKM kemudian melakukan VCA atau Value Chain Analysis terhadap kedua produk tersebut. VCA kopi dilakukan dari Hutan Desa Bantaeng, Sulawesi Selatan, HKm Lombok Utara – Nusa Tenggara Barat (NTB), dan PHBM Bandung, Jawa Barat. VCA mete dilakukan dari HKm Jeneponto, Sulawesi Selatan, HKm Lombok Tengah, NTB, dan Gunung Kidul, Yogyakarta.
“Di sisi lain, kebijakan pun selayaknya mendukung mereka yang bersungguh mengelola hutan,”kata Andri. Ia yakin, jika produk tersebut ditangani secara serius, mereka pun akan sanggup bersaing. (Andhika Vega/Marwan)
Kedua komoditas tersebut tersebar luas di sejumlah daerah terutama di bagian timur Indonesia. Menurut Andri Santosa, Sekretaris Nasional FKKM, meski peran masyarakat dalam pengelolaan hutan sudah diakui dan beragam hasilnya menjadi sumber pendapatan. Namun, kekayaan alam tersebut tidak serta merta membuat masyarakat menjadi kaya.
Melihat persoalan itu, FKKM bersama Right Resources Initiative (RRI) mengadakan Lokakarya Nasional “Kebijakan dan Pengembangan Produk Kopi dan Mete pada Kehutanan Masyarakat”, di Bogor, 17 Oktober 2013.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan kini tak lagi asing. Beragam nama dikenal, diantaranya perhutanan sosial, kehutanan masyarakat (KM), serta community forestry. Skema pengelolaannya tak kalah beragam; Hutan Kemasyarakatan (HKm), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Desa, Kemitraan, Desa Konservasi, dan Hutan Adat telah diakui dalam produk kebijakan di Indonesia.
Community Forestry Enterprise (CFE), atau wirausaha kehutanan masyarakat juga mulai mengemuka. Namun, berwirausaha tidaklah sederhana bagi masyarakat. Setidaknya diperlukan kepastian kelembagaan, produk yang berdaya saing, kebijakan yang mendukung, serta pasar yang potensial.
Melalui dukungan RRI, FKKM juga melakukan kajian terhadap produk unggul kehutanan masyarakat di region Sulawesi, Jawa serta Nusa Tenggara. Produk tersebut dinilai dari sisi ketersedian bahan baku, kebijakan, dan potensi pasar. “Kopi dan Mete menjadi pilihan produk yang direkomendasikan untuk didorong menjadi unggulan Kehutanan Masyarakat,”kata Wisnu Caroko, Direktur Yayasan Setara-NTFP yang menekuni pada hasil hutan bukan kayu.
FKKM kemudian melakukan VCA atau Value Chain Analysis terhadap kedua produk tersebut. VCA kopi dilakukan dari Hutan Desa Bantaeng, Sulawesi Selatan, HKm Lombok Utara – Nusa Tenggara Barat (NTB), dan PHBM Bandung, Jawa Barat. VCA mete dilakukan dari HKm Jeneponto, Sulawesi Selatan, HKm Lombok Tengah, NTB, dan Gunung Kidul, Yogyakarta.
“Di sisi lain, kebijakan pun selayaknya mendukung mereka yang bersungguh mengelola hutan,”kata Andri. Ia yakin, jika produk tersebut ditangani secara serius, mereka pun akan sanggup bersaing. (Andhika Vega/Marwan)