
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Menjelang peringatan Hari Bumi, Koalisi Transisi Ekonomi Hijau (K-TEH) dengan berbagai latar keilmuan dan profesi mengeluarkan pernyataan sikap untuk mendorong perubahan strategis sektor perekonomian agar mengedepankan praktik keberlanjutan dengan mengutamakan masa depan manusia dan alam.
Pernyataan sikap itu ditegaskan dalam sebuah diskusi daring bertema “Menuju Indonesia yang Hijau, Sejahtera dan Berkeadilan” pada Rabu, 20 April 2022.
Koalisi berharap para pemangku kepentingan mengakselerasi praktik ekonomi keberlanjutan dengan cara melakukan reorientasi dan realokasi anggaran dan belanja publik, termasuk pendanaan BUMN.
Koalisi juga mendesak pemerintah untuk mencabut peraturan-peraturan yang berpihak pada eksploitasi alam (ekstraktivisme) yang tidak berkelanjutan dan menerapkan kebijakan yang mendukung transisi hijau di lima sektor prioritas (energi dan transportasi, konsumsi berkelanjutan dan manufaktur, agrikultur berkelanjutan dan maritim, kehutanan dan penggunaan lahan, dan pembiayaan pembangunan rendah karbon).
Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustasya mengatakan, masa depan Indonesia berada di persimpangan jalan. Untuk itu, sudah seharusnya meninggalkan jalan “busines as usual” yang bakal membawa bencana dan memilih jalan ekonomi hijau sebagai alternatif masa depan menuju Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan.
“Berbagai kajian dan fakta lapangan dari para peneliti dalam dua laporan IPCC sudah lebih dari cukup untuk membuat dasar urgensi kita bergerak meninggalkan ekonomi yang berbasis sektor industri ekstraktif menuju keberlanjutan,” ujarnya.
Senada dengan itu, Associate Director Climate Policy Initiative Tiza Mafira menjelaskan, pencapaian transisi ekonomi hijau memerlukan pendanaan yang signifikan.
Di tengah keterbatasan dana, porsi anggaran untuk kegiatan beremisi tinggi masih lebih besar daripada anggaran hijau. Akibatnya, investasi swasta pun belum maksimal mendukung pengembangan energi terbarukan.
“Terlepas sudah adanya sukuk hijau dan insentif hijau, belanja pemerintah belum memberikan sinyal yang konsisten menarik investor hijau,” katanya.
Sementara itu, Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya menekankan bahwa di sektor energi, mengacu data pemerintah, porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) baru mencapai 11.5% pada 2021, sedangkan targetnya 23% pada 2025.
Dalam kategori EBT, ternyata rencana menggunakan energi kotor seperti batu bara terbilang besar. Padahal, upaya untuk beralih ke energi bersih seperti energi surya dan bayu sangat diharapkan para pemerhati lingkungan.
“Padahal animo masyarakat dan sektor swasta semakin besar untuk menggunakan dua sumber energi yang ketersediaannya tanpa batas ini,” terang Berly.
Melihat berbagai fakta yang ada, Indonesia masih belum bergerak secara masif menuju ekonomi sirkular. Menuju perhelatan G20 yang akan berlangsung tahun ini, pemerintah seharusnya menunjukkan keberpihakan pada aspek keberlanjutan dengan mengutamakan usaha-usaha mandiri, ketimbang menunggu kucuran bantuan internasional.
Inisiator Ecomasjid Hayu S Prabowo menilai intensitas bencana hidrometeorologi yang semakin tinggi, dengan dampaknya yang luas ke kesejahteraan penduduk termasuk di pesisir dan urban. Sementara itu, waktunya sudah menipis bagi Indonesia untuk menelurkan target yang ambisius dan tindakan progresif.
“Salah satunya melalui pengembangan penerapan ekonomi dan keuangan berwawasan lingkungan hidup” tandas Hayu. (Jekson Simanjuntak)