Ekoliterasi Dedi Mulyadi: Nalar, Rasa, dan Aksi

Berita Lingkungan Environmental News Kolom Terkini

Keterangan foto : Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menanam pohon di Naringgul Puncak Bogor, Sabtu, 22 Maret 2025 menlhk.go.id.

Oleh:  IGG Maha Adi*

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (Kang Dedi) muncul sebagai fenomena “angsa hitam” di antara pemimpin di Indonesia karena gayanya yang tidak biasa, sehingga kontras dengan kebanyakan pemimpin nasional maupun daerah,  dan mengejutkan banyak pihak.

Pada sisi  lain, ia merepresentasikan keinginan publik untuk melihat dan menilai  bagaimana seorang pemimpin menggunakan otoritasnya untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan persoalan orang banyak.

Salah satu aspek dari fenomena Kang Dedi adalah usahanya untuk membawa isu-isu lingkungan hidup kembali ke tengah, sehingga menjadi landasan dalam pengambilan keputusan.

BIla banyak gubernur dan bupati memerintah dalam seragam dan sepati mengkilat sambil berkacak pinggang, Dedi Mulyadi tidak sungkan telanjang kaki dan terjun langsung membersihkan sampah sungai atau memimpin penertiban bangunan liar yang menutup aliran sungai, memerintahkan pengembalian fungsi lahan perkebunan dan hutan di dataran tinggi Puncak dan Lembang, Jawa Barat, menutup tambang pasir liar, atau membereskan puluhan ton sampah yang menumpuk di pasar Caringin kota Bandung.

Dalam berbagai acara podcast, diskusi dan konten sosial medianya, ia sering menekankan pentingnya lingkungan hidup untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, berbicara tentang hubungan antara kerusakan lingkungan dengan kemiskinan di Jawa Barat, konsep menjaga leuweng (hutan) dan leuit (lumbung) dalam budaya Sunda yang dapat mendukung keberlanjutan ekologi dan ketahanan pangan, atau keadilan fiskal bagi daerah terpencil di pegunungan yang menyumbangkan oksigen dan air bersih.

Dedi Mulyadi dapat dikategorikan seabgai pemimpin yang memiliki kemampuan literasi ekologi (ekoliterasi) yang mumpuni, karena dapat menjelaskan bekerjanya sistem alam secara gamblang, mengambil keputusan berdasarkan prinsip ekologi, dan bertindak untuk keberlanjutan hidup bersama. Ekoliterasi bukan sekadar pengetahuan faktual tentang lingkungan, melainkan kapasitas kognitif, afektif, dan praktis yang mengoptimalkan aspek 3-H, yakni Head (nalar), Heart (rasa), dan Hand (aksi).

Nalar atau rasionalitas pikiran dibutuhkan untuk menjelaskan fenomena ilmiah lingkungan hidup sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan bersama, sekaligus dasar kebijakan yang berbasis sains. Sisi rasa atau emosionalitas adalah aspek afektif manusia yang mampu menggugah sisi moralitas, mempertanyakan peran dan dan posisi manusia di dalam alam. Pada sisi eksekusi, maka aksi lingkungan juga dibutuhka sebagai keteladanan untuk menciptakan gerakan sosial.

Nalar

Filsuf Arne Naess dari Norwegia yang mencetuskan filsafat ekologi dalam (deep ecology), menegaskan bahwa semua makhluk hidup memiliki nilai intrinsik sehingga tidak diposisikan sebagai hubungan instrumental, yakni semata hadir sebagai instrumen pemenuhan kebutuhan manusia.

Saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi menolak pendekatan pembangunan yang mengorbankan ruang terbuka hijau demi peningkatan nilai ekonomi.

Ia memilih untuk memperkuat lanskap ekologis melalui pelestarian bambu, sungai, dan pepohonan. Rasionalitas kebijakannya didasarkan pada pemahaman sistemik bahwa kerusakan pada satu elemen ekosistem akan berdampak pada sistem lainnya, termasuk kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

Pendekatan ini juga sejalan dengan pakar ekosistem Eugene dan Howard T. Odum yang menyatakan bahwa ekosistem bekerja sebagai satu kesatuan yang dinamis di mana semua komponennya saling terkait.

Dengan rasionalitas ekologis ini, Kang Dedi berupaya tidak terjebak pada solusi teknokratis jangka pendek, tetapi membuat keputusan berdasarkan logika ekosistem jangka panjang.

Ia misalnya mendesak pendataan kebutuhan tanah untuk proyek nasional di Jawa Barat, sehingga tidak asal menerabas dan mengubah lahan produktif seperti kawasan hutan tanpa kompensasi dan restorasi ekosistem.

Sikap ini merupakan cerminan kepemimpinan ekologis, pemimpin yang memahami kompleksitas sistem alam dan membawanya ke ranah kebijakan publik.

Seorang tokoh ekoliterasi terkemuka dunia David W. Orr, sampai pada kesimpulan bahwa masalah lingkungan pada dasarnya adalah masalah pendidikan yang gagal membentuk manusia yang memahami batas-batas ekologis.

Pendidikan formal yang mengedepankan nalar semata rupanya menghasilkan banyak aktor di belakang layar yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang masif dan memarjinalkan pertimbangan ekologis dalam pembangunan.

Rasa

Selain nalar, manusia memiliki sisi emosionalitas atau rasa yang sangat mempengaruhinya dalam memandang sesuatu dan mengambil keputusan.

Di dalam ekoliterasi, rasa ini antara lain diwujudkan dalam  etika lingkungan yang dibutuhkan untuk menumbuhkan rasa hormat dan tanggung jawab moral terhadap komunitas biotik—tidak hanya sesama manusia, tetapi juga tanah, air, tumbuhan, dan satwa seperti tulisan Aldo Leopold dalam The Land Ethic.

Kang Dedi memenuhi media sosialnya dengan unggahan video perjalanan keliling Jawa Barat dan menunjukkan rasa hormat dan bantuannya kepada anggota masyarakat yang paling rentan terdampak oleh sistem ekonomi yang eksploitatif.

Ia memecahkan masalah mereka dengan solusi jangka pendek seperti ganti rugi, bantuan uang tunai, bantuan biaya sekolah agar mereka dapat bertahan hidup sembari mencari solusi jangka panjangdan berkelanjutan.

Pendekatan rasa ini juga mencerminkan prinsip biofilia dari  Profesor Emeritus Universitas Harvard dan pencetus sosiobiologi Edward O. Wilson, yang menyaimpulkan bahwa manusia secara alami memiliki kedekatan emosional terhadap makhluk hidup dan alam.

Sayangnya, modernisasi dan urbanisasi sering kali mereduksi hubungan ini, dan menjauhkan manusia dari kecintaannya terhadap Bumi. Kang Dedi melalui tindakan-tindakan kecil itu mencoba memulihkan ikatan emosional antara manusia dan alam, antara lain dengan terus mengingatkan bahwa mereka adalah orang Sunda yang mewarisi kearifan dari leluhur mereka dalam menjaga alam.

Aksi

Diskursus dan empat saja tidak cukup jika tidak diwujudkan dalam tindakan dan ekoliterasi sejati harus berujung pada tindakan nyata.

Dalam tradisi ekologi politik, tindakan merupakan respons terhadap ketidakadilan ekologis dan sosial yang terjadi akibat relasi kuasa yang tidak setara antara manusia dan alam.

Kang Dedi terjun langsung membersihkan sungai dari sampah, menanam pohon di lahan tandus, merestorasi taman kota yang terbengkalai, serta mengembalikan fungsi drainase kota.

Ia terus berkeliling menyelamatkan sumber air, lahan, hutan, dan laut, serta mengedukasi masyarakat melalui media sosial. Aksinya juga memperkuat prinsip ketahanan ekosistem, yaitu kemampuan sistem sosial-ekologis untuk bertahan hidup, beradaptasi, dan pulih dari tekanan.

Dalam tataran gerakan sosial, aksi nyata rupanya  mendapatkan dukungan memadai dari publik melalui partisipasi warga lokal.  Gerakan komunal semacam ini dapat menciptakan ketahanan ekologis (resiliensi) yang tinggi.

Kesadaran

Apa yang ditunjukkan Gubernur Jawa Barat ini tidak boleh berhenti sebagai kekaguman pribadi terhadap satu sosok, tetapi dapat menjadi model dalam membangun kesadaran ekologis kolektif. Bumi  tengah menghadapi polikrisis­-lingkungan, sosial, dan ekonomi yang mengancam kesejahteraan manusia dalam jangka panjang.

Dalam situasi ini, kita tidak hanya bergantung pada negara atau lembaga formal, tetapi pada apa yang oleh Teori Kognitif Sosial dari Albert Bandura,  disebut bahwa setiap orang adalah agen perubahan.

Gubernur Dedi Mulyadi menunjukkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin ekologis bukan tentang gelar atau jabatan, tetapi keberanian untuk berpikir berbeda, merasakan secara mendalam, dan bertindak untuk alam dan kemanusiaan.

Karena pada ujungnya, seperti yang dikatakan oleh Gregory Bateson antropolog kenamaan Amerika Serikat dan penulis buku Mind and Nature, bahwa pikiran yang sehat tidak dapat lahir dari sistem yang merusak ekosistem tempat ia hidup.

Kritik

Dedi Mulyadi mendapat kritik pada karakteristik aksinya yang dianggap populis, non konsultatif, cenderung konfrontatif dan berpotensi melampaui kewenangannya.

Ia memang harus memperhatikan kritik ini karena dapat menciptakan arus balik yang mengagalkan semua pendekatannya. Tetapi pendekatan populisme plus publikasi di media, memang bak pisau bermata dua; bisa menjadi alat promosi  sekaligus demosi.

Di banyak tempat, ekoliterasi memang selalu menciptakan “musuh-musuhnya” sendiri, yaitu para pemegang kepentingan jangka pendek dalam eksploitasi sumber daya alam.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Green Press Indonesia dan penerima Bertha Challenge Fellow 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *