JAKARTA,BERITALINGKUNGAN.COM– Kondisi terumbu karang di perairan Jakarta, khususnya Kepulauan Seribu kian hari kian mengkhawatirkan. Aktivitas manusia menjadi salah satu penyebab mengapa keberadaan terumbu karang di kawasan itu semakin terancam.
Fakta membuktikan, setidaknya sejak tahun 1970-an terumbu karang di Kepulauan Seribu mulai rusak akibat maraknya pemboman untuk menangkap ikan. Kondisi karang juga terancam seiring tingginya sedimentasi, buangan sampah, dan limbah ke laut. Ditambah lagi, banyak perilaku pelaku wisata tidak ramah terhadap lingkungan. Ditandai dengan banyaknya wisatawan yang menginjak-injak karang.
Padahal tanpa terumbu karang yang sehat, hewan-hewan laut seperti ikan, kepiting, udang-udangan hingga belut laut bakal kehilangan tempat tinggalnya. Hewan-hewan laut tersebut menjadikan terumbu karang sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan berkembang biak.
Sementara itu, laut yang merupakan tempat hidup terumbu karang memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pasalnya, laut menjadi penghasil oksigen terbesar di Bumi. Laut juga memberikan sumber protein hewani yang kaya.
Menyadari kondisi terumbu karang yang terus terdegradasi, akibat beberapa faktor diatas, ditambah dengan naiknya suhu air laut akibat pemanasan global, maka sejumlah kampanye penyelamatan laut sering dilakukan. Hanya saja, tantangannya terletak pada opini publik yang melihat laut hanyalah sebagai hamparan air nan luas, tanpa memahami fungsi dan peran penting ekosistem yang hidup di bawah permukaan laut.
Adalah Yayasan Terumbu Rupa (YTR), sebuah organisasi nirlaba yang memiliki misi melakukan konservasi terumbu karang melalui media seni. YTR berusaha menggugah kesadaran publik untuk ikut peduli dan terlibat dalam upaya penyelamatan laut.
“Tujuannya untuk membuat terumbu karang buatan, yang artistik, dimana art (seni)nya lebih dipentingkan daripada yang lain-lain. Supaya dari hari pertama sudah menjadi atraksi dan orang akan melihat artnya dulu.” ujar Teguh Ostenrik, pendiri Yayasan Terumbu Rupa.
Lewat kepedulian itu, Yayasan Terumbu Rupa (YTR) akhirnya memperkenalkan konsep ARTificial Reef, sebuah karya seni yang berguna sebagai media transplantasi terumbu karang.
“YTR lebih ke terumbu rupa, artifisial reef, menggunakan medium seni untuk kampanye. Kata “rupa” dibuat sengaja untuk mewakili seni”, ujar Mira Tedja, pengurus Yayasan Terumbu Rupa.
Karena kecintaannya akan laut, karya seni besutan Teguh Ostenrik selalu bertema laut. Ia sengaja mengingatkan manusia tentang pentingnya laut bagi kehidupan.
“Oksigen yang kita hirup, 60 persennya berasal dari laut, lebih banyak ketimbang hutan. Menurut scientist, pada tahun 2050, cucu anda akan hidup dengan oksigen mask. Betapa mengkhawatirkannya”, papar Ostenrik bersemangat.
Domus Musculi
Teguh Ostenrik yang juga pendiri Yayasan Terumbu Rupa (YTR) membuktikan seni mampu memasuki ruang lain seperti lingkungan laut. Seni dapat dinikmati melalui medium instalasi “Domus Musculi”.
ARTificial Reef “Domus Musculi” adalah instalasi seni karya Teguh Ostenrik yang dibuat dari pipa dan plat besi berukuran 5 x 2.8 x 2 meter dan terdiri dari 3 modul. Modul itu ditempatkan pada kedalaman 3-7 meter di Pulau Sepa, Kepulauan Seribu dibantu beberapa relawan.
Domus Musculi berarti Rumah Kerang. Replica kerang dipilih sebagai pengingat bahwa Teluk Jakarta pernah terkenal sebagai penghasil kerang hijau sebelum tercemar aneka logam berat.
“Ya, saya memang sengaja memilih logo kerang, karena Teluk Jakarta memang dikenal sebagai penghasil kerang hijau. Sekaligus memberi identitas yang berbeda dengan ARTificial reef di tempat lain”, ujar Ostenrik.
Sebelumnya, pada Desember 2015, instalasi seni Domus Musculi ditempatkan di Pulau Pelangi, di kedalaman 5-12 meter. Pulau Pelangi sendiri letaknya berhadapan dengan Pulau Sepa. Namun karena sesuatu hal, Domus Musculi terpaksa dipindahkan ke Pulau Sepa, setelah 8 bulan lamanya berada di Pulau Pelangi.
“Saat itu, ada usulan meletakkan domus di Pulau Pelangi. Namun karena pengelola kurang akomodatif, akhirnya kita pindah ke Pulau Sepa”, ujar Ostenrik.
Instalasi Domus Musculi merupakan yang ke-tiga dikerjakan Ostenrik sejak berkecimpung di seni bawah laut. Instalasi pertama diletakkan di Lombok pada tahun 2013, sementara yang ke-dua dikerjakan di Wakatobi pada September 2015.
Lewat Domus Musculi, Ostenrik berusaha memberikan sesuatu kepada lingkungan. Ia ingin karyanya semakin mendekatkan masyarakat terhadap laut.
“Dengan memanfaatkan karya seni di laut, sebenarnya saya ingin meluhurkan laut, supaya kita tidak memunggungi laut lagi”, papar Ostenrik.
Penenggelaman Domus Musculi dilaksanakan oleh pengurus Yayasan Terumbu Rupa dibantu relawan pada Selasa (23/8) hingga Rabu (24/8) lalu. Cuaca yang bersahabat membuat proses penenggelaman tidak menghadapi kendala yang berarti. Akhirnya tiga instalasi itu berhasil ditempatkan di sebelah kanan dermaga Pulau Sepa.
Uniknya, baru sehari ditempatkan di perairan Pulau Sepa, beberapa jenis ikan langsung mendatangi instalasi Domus Musculi. Ikan-ikan itu tidak terganggu dengan kehadiran para relawan.
“Gak menyangka, ikannya langsung datang ke terumbu karang buatan. Jumlahnya pun lumayan banyak”, ujar salah seorang relawan.
Instalasi Domus Musculi bukanlah akhir dari pembuatan ARTificial Reef di Kepulauan Seribu. Harapannya akan dibuat banyak instalasi serupa, sehingga karya itu akan menjadi rumah bagi biota laut dan akan memberikan manfaat kepada penduduk setempat.
“Nantinya, kaki-kaki dermaga akan kita digarap juga, sebagai ARTtificial Reef, mumpung ada solar cell. Nanti kita bikin macam-macam lalu ditempel”, ujar Ostenrik bersemangat.
Ketika instalasi dipenuhi dengan biota laut, Ostenrik berharap semakin banyak orang menyadari potensi dan tanggung jawab menjaga lingkungan. Tentu saja, karena dampak kerusakan terumbu karang akibat ulah manusia maupun dampak global warming terjadi begitu cepat, sehingga antisipasi harus dilakukan segera.
“Ini kesempatan yang bagus untuk membawa dampak yang positif terhadap lokasi setempat”, kata Ostenrik.
Gunakan Solar Cell
Struktur instalasi Domus Musculi menggunakan metode Bio-Rock untuk mempercepat pertumbuhan coral. Caranya, instalasi dialiri listrik tegangan rendah untuk membentuk proses elektrolisa yang menarik mineral air laut menyelimuti struktur sebagai media koral bertumbuh.
Listrik tenaga rendah itu didapat dari panel surya yang setiap saat mengalirkan listrik, hasil dari penyerapan sinar matahari. Dengan teknologi ini pertumbuhan koral akan berlangsung 6-8x lebih cepat ketimbang proses normal.
“Kalo kita pake listrik kecepatan pertumbuhan karangnya 8 kali lipat. Kalo menggunakan metode alamiah, belum tentu koralnya langsung tumbuh”, kata Ostenrik.
Selain itu, dari beberapa kali percobaan, pilihan media terbaik bagi pertumbuhan karang adalah menggunakan besi pipa. Selain ringan, besi pipa juga media yang tepat bagi pertumbuhan karang dengan membentuk lapisan batu kapur sebagai media pertumbuhan koral.
“Dari beberapa kali percobaan, sepertinya yang paling berhasil dengan menggunakan pipa besi. Paling ringan, tidak berat dan mudah tertutup limestone”, pungkas Ostenrik.
Melalui Domus Musculi, Yayasan Terumbu Rupa ingin terus menyuarakan bahwa kepedulian terhadap terumbu karang harus ditunjukkan. Alasannya, kegiatan eksploitasi manusia telah menyebabkan terumbu karang di Indonesia hanya tinggal 69% dari area seluas 87.500 km. Sebuah kondisi yang sangat mengkhawatirkan, tentunya. (Jekson Simanjuntak)
–>