ARU, BERITALINGKUNGAN.COM – Masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku, Indonesia, menyerukan perhatian pada perlindungan keanekaragaman hayati di tanah leluhur mereka dalam aksi damai yang berlangsung di Pulau Kumareri, Kepulauan Aru.
Aksi ini berlangsung bersamaan dengan konferensi internasional COP16 Convention on Biological Diversity (CBD) di Cali, Kolombia, yang membahas kerangka kerja perlindungan keanekaragaman hayati global.
Mewakili suara masyarakat Aru, Monika Maritjie Kailey turut hadir di COP16 CBD untuk menyampaikan pesan penting tentang upaya menjaga keanekaragaman hayati di wilayah adat. Ia menekankan bahwa masyarakat adat selama ini telah berperan dalam melindungi alam melalui kearifan lokal dan praktik leluhur, meski kerap berhadapan dengan ancaman perizinan industri ekstraktif yang membahayakan ekosistem lokal.
Di Pulau Kumareri, para pemimpin adat dan pemuda Aru membentangkan spanduk besar yang menyerukan perlindungan hutan dan laut dari ancaman eksploitasi. “Menjadi orang Aru adalah sebuah kewajiban untuk menjaga tanah air kami. Aksi hari ini adalah bentuk perjuangan untuk menolak investasi yang merusak lingkungan Aru dan meminta pemerintah mencabut izin eksploitasi hutan yang ada,” ujar Johan Djamanmona, Koordinator Aksi Damai di Kepulauan Aru.
Kontribusi Masyarakat Adat dalam Kerangka Global
Konferensi COP16 CBD yang dihadiri Monika menjadi momen penting bagi masyarakat adat dunia untuk menuntut pengakuan resmi atas peran mereka dalam menjaga keanekaragaman hayati. Meski Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global (Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework, KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu telah menyoroti pentingnya peran masyarakat adat, pengakuan yang lebih kuat dalam bentuk pembentukan badan permanen (Subsidiary Body) khusus pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik tradisional masih tertahan karena sejumlah negara, termasuk Indonesia, menyatakan penolakan.
“Negara-negara di COP16 harus memberi pengakuan penuh atas kontribusi Masyarakat Adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati dunia. Pengakuan ini diperlukan untuk menjaga hutan, laut, dan seluruh ekosistem alami yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat,” tegas Monika.
Tantangan dalam Kebijakan Domestik
Di dalam negeri, perlindungan keanekaragaman hayati dan hak-hak masyarakat adat belum sepenuhnya diakomodasi dalam kebijakan yang kuat. Bimantara dari Perkumpulan HuMa menyoroti bahwa dua landasan kebijakan terbaru, yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 2023 dan UU Nomor 32 Tahun 2024, belum menjawab kebutuhan masyarakat adat sepenuhnya. “Instruksi Presiden masih kurang kuat secara hukum. Bentuk aturan yang lebih tegas, seperti Peraturan Presiden, akan lebih melindungi masyarakat adat dalam jangka panjang,” jelas Bimantara.
Pengakuan atas peran masyarakat adat, yang selama ini telah terbukti melindungi ekosistem hutan, mangrove, terumbu karang, dan kekayaan laut di Kepulauan Aru, adalah langkah penting. “Tidak ada lagi alasan untuk tidak mengakui keberadaan masyarakat adat dan kontribusinya terhadap pelestarian alam,” tegas Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia.
Masyarakat Adat dan Ketahanan terhadap Perubahan Iklim
Selain menjaga biodiversitas, masyarakat adat di Aru juga merasakan dampak langsung dari perubahan iklim. Salma Zakiyah, Program Officer Hutan dan Iklim MADANI Berkelanjutan, mengingatkan pentingnya penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam rencana biodiversitas nasional seperti IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) serta target iklim dalam NDC (Nationally Determined Contribution).
Dengan berlandaskan kearifan lokal, masyarakat adat telah lama menjaga keseimbangan alam di wilayah mereka. Keberlanjutan ekosistem hutan dan laut, yang kaya akan keanekaragaman hayati, hanya mungkin terjadi apabila pemerintah mengakui, menghormati, dan mendukung perjuangan masyarakat adat secara penuh (Marwan Aziz)