Potret eksploitasi Tambang di Raja Ampat yang mengancam kelestarian kawasan Geopark itu.
RAJA AMPAT, BERITALINGKUNGAN.COM — Suara keberatan datang dari ujung timur Nusantara. Sejumlah pemuda adat yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat menyatakan penolakan tegas terhadap ekspansi dan eksploitasi tambang nikel di Pulau Manyaifun dan Batang Pele.
Mereka menyebut langkah ini sebagai ancaman nyata terhadap salah satu kawasan keanekaragaman hayati terbesar di dunia—Raja Ampat.
“Keindahan Raja Ampat kini mulai dirusak oleh tambang nikel atas nama transisi energi,” ujar Elon Salomo Moifilit, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Moi Maya seperti dikutip Beritalingkungan.com dari laman Aman.or.id (03/06/2025).
“Kapal tongkang hilir mudik, ekskavator bekerja siang malam. Pulau-pulau kecil kami sedang dikeruk hidup-hidup.”ungkapnya.
Raja Ampat Terancam Jadi Korban Transisi Energi
Bagi para pemuda adat, keindahan Raja Ampat bukan hanya lanskap eksotis yang dibanggakan dunia, melainkan warisan leluhur yang dijaga turun-temurun. Namun kini, warisan itu sedang terancam oleh industri tambang nikel yang membonceng agenda transisi energi global.
“Pemerintah jangan ugal-ugalan memberi izin tambang,” tegas Elon. “Atas nama hilirisasi dan keuntungan jangka pendek, keanekaragaman hayati bisa lenyap. Dan kita akan turut memperparah krisis iklim global.”
Pulau Manyaifun dan Batang Pele telah dikapling menjadi konsesi pertambangan nikel milik PT Mulia Raymond Perkasa, mencakup area seluas 2.193 hektare. Warga adat menyebut pemberian izin itu dilakukan tanpa persetujuan mereka, bahkan tanpa proses AMDAL yang transparan dan partisipatif.
Geopark Dunia, Tapi Diincar Tambang
Bagi Ronisel Mambrasar, anggota Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, tidak ada alasan untuk mengorbankan keindahan alam Raja Ampat. Terlebih, kawasan ini telah diakui dunia lewat status UNESCO Global Geopark (UGGp).
“Raja Ampat bukan tanah kosong. Ini rumah kami. Kami bukan hanya tinggal di sini—kami menjaga, merawat, dan hidup bersimbiosis dengan alam,” katanya. “Ironisnya, justru kami yang terancam digusur oleh tambang yang mengejar nikel.”
Ronisel menegaskan, penolakan mereka bukan semata demi melindungi kampung halaman, tapi juga demi bumi dan generasi mendatang.
Ia mendesak pencabutan semua Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan tanpa persetujuan masyarakat adat.
Ronisel mengatakan sebagai Masyarakat Adat, mereka telah terbukti sebagai penjaga bumi Raja Ampat yang kini telah mendapatkan pengakuan dari UNESCO Global Geopark (UGGp).
“Geopark Raja Ampat sebagai salah satu kekayaan dunia yang patut dijaga dan dilestarikan,” tegasnya.
Sayangnya, sebut Ronisel, dibalik kekayaan alam Raja Ampat, ada tangan-tangan jahil pebisnis pertambangan nikel yang mengincar keindahan alam Raja Ampat. Mereka telah mendapatkan IUP dari pemerintah daerah dan pusat.
Disebutnya, saat ini pulau Manyaifun dan Batang Pele telah dibebani konsesi Izin Usaha Pertambangan Nikel milik PT Mulia Raymond Perkasa dengan seluas, 2,193 hektare. Dikatakannya, Masyarakat Adat di kampung Manyaifun dan Batang Pele akan kehilangan keanekaragaman hayati apabila pemerintah tidak serius untuk melindungi kawasan konservasi bahari di Raja Ampat.
“Sebagai masyarakat yang telah lama hidup bersahabat dengan keanekaragaman hayati di Raja Ampat, kami menolak ekspansi dan eksploitasi pertambangan nikel di Pulau Manyaifun dan Batang Pele karena dinilai akan mengancam ekosistem darat dan laut Raja Ampat,” tandasnya sembari mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk mencabut seluruh Izin Usaha Pertambangan yang diterbitkan tanpa persetujuan Masyarakat Adat dan tanpa proses AMDAL yang partisipatif dan transparan.
Masyarakat Adat, Penjaga Terbaik Alam Nusantara
Dalam budaya Papua, menjaga alam adalah bagian dari identitas. Tradisi dan kearifan lokal telah lama membuktikan bahwa kelestarian bisa berjalan seiring dengan kehidupan.
“Masyarakat Adat di Raja Ampat sudah terbukti mampu menjaga hutan dan laut secara berkelanjutan,” tutur Elon. “Pemerintah seharusnya tidak memihak kepentingan korporasi, tapi berdiri bersama kami—penjaga alam sesungguhnya.”tuturnya (Samuel Moifilit/Wan).