JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM – Laporan terbaru CREA (Centre for Research on Energy and Clean Air) mengungkapkan terjadinya pencemaran udara lintas batas yang terjadi di ruang udara Jakarta, dari Banten dan Jawa Barat.
Hal itu terjadi akibat aktivitas transportasi darat yang keluar-masuk di ibu kota dan aktivitas pembangkit listrik batu bara, pabrik, dan fasilitas industri lainnya (sumber emisi tidak bergerak) yang memberi sumbangan signifikan terhadap beban polusi di kota Jakarta.
“Kini ruang udara Jakarta atau area di mana emisi memengaruhi kualitas udara, luasnya telah melampaui batas administratifnya seperti Tangerang, Bogor, Depok, Bekasi, Puncak dan Cianjur. Bahkan telah meluas hingga Sumatera Selatan, Lampung, dan Jawa Tengah,” ungkap Analis CREA, Isabella Suarez.
Isabella Suarez mencatat, emisi pencemar udara di Jakarta, dan juga di provinsi-provinsi sekitarnya, telah meningkat hingga memperburuk kualitas udara dan menghambat upaya perbaikan kualitas udara itu sendiri.
“Hal itu terlihat dari data sepanjang tahun 2018, pemantauan PM2.5 di Jakarta mencatat ada 101 hari dengan kualitas udara “tidak sehat” dan 172 hari pada tahun 2019,” ungkap Analis CREA, Isabella Suarez.
Bahkan ketika COVID-19 melanda pada awal tahun 2020, kualitas udara di Jakarta tidak dapat dikatakan meningkat secara signifikan. Citra satelit membuktikan bahwa pembangkit listrik Suralaya di Banten telah beroperasi dan menghasilkan emisi seperti periode sebelumnya meski terjadi pembatasan akibat COVID-19.
Penelitian CREA juga menemukan jika angin menjadi salah satu faktor yang membawa pencemaran pembangkit listrik Suralaya ke Jakarta. Hal itu menyebabkan konsentrasi PM2.5 yang tetap tinggi di Jakarta, kendati terjadi pengurangan besar-besaran dalam lalu lintas lokal dan aktivitas perkotaan.
Selain itu, CREA menjelaskan bahwa faktor meteorologi seperti lintasan angin memengaruhi penyebaran pencemar seperti NO, SO2 dan PM2.5.
“Pada bulan-bulan kering Mei hingga Oktober, ketika tingkat pencemaran keseluruhan di kota ini paling tinggi, sumber-sumber dari PLTU berbahan bakar batu bara dan pabrik industri di sebelah timur Jakarta (dari Bekasi, Karawang, Purwakarta hingga Bandung) memberikan dampak yang besar pada kualitas udara,” terang Suarez.
Sedangkan pada bulan-bulan basah (Desember hingga Maret), sumber-sumber di wilayah bagian barat, hususnya pembangkit listrik Suralaya di Banten, menjadi penyumbang pencemaran yang lebih besar.
CREA juga menemukan, ada 136 fasilitas industri terdaftar (termasuk pembangkit listrik) yang bergerak di sektor dengan emisi tinggi di Jakarta dan berada dalam radius 100 km dari batas administratif ibu kota.
Fasilitas industri tersebut sebanyak 16 unit berlokasi di DKI Jakarta; 62 di Jawa Barat, 56 di Banten, satu di Jawa Tengah dan terakhir di Sumatera Selatan (lebih rinci di dalam report).
“Lebih dari itu, melalui pantauan satelit, peneliti melihat wilayah padat industri tersebut berada pada lokasi yang sama dengan titik konsentrasi NOx dan SO2 di Jawa,” imbuh Suarez.
Dari inventarisasi emisi untuk Banten, Jawa Barat dan Jakarta didapati bahwa Banten dan Jawa Barat memiliki emisi PM2.5, SO2 dan NOx yang jauh lebih tinggi (2 kali lipat, bahkan 4 kali lipat dibanding Jakarta).
“Emisi berbahaya itu sebagian besar disebabkan oleh industri dan pembangkit listrik,” kata Suarez.
Dari kumpulan gas beracun yang memenuhi ruang udara Jakarta tersebut, CREA mengestimasikan bahwa PLTU berbahan bakar batu bara yang berada dalam radius 100 km dari Jakarta bertanggung jawab atas sekitar 2.500 kematian dini di wilayah Jabodetabek.
“Pencemaran lintas batas juga bertanggung jawab atas dampak buruk kesehatan lainnya yang terkait dengan sistem kekebalan, pernapasan, dan kardiovaskular,”ujar Suarez.
Sementara itu, biaya tahunan akibat pencemaran lintas batas dari PLTU Batu bara bahkan diperkirakan mencapai Rp 5,1 triliun per tahun di Jabodetabek, atau Rp 180.000 per orang per tahun.
Penemuan terbaru CREA ini memperkuat dan menegaskan temuan-temuan ilmiah sebelumnya yang menyatakan bahwa beban polusi kota Jakarta sudah mencapai tingkat kritis dan semakin meningkat seiring dengan rencana pengembangan pembangkit listrik ke depannya (Jawa 9 & 10). (Jekson Simanjuntak)