JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengatakan agenda COP26 adalah menyelesaikan Paris rulebook. COP dibuat untuk mendorong komitmen seluruh negara menuju kondisi net-zero emission.
“Kewajiban yang diwujudkan dalam Nationally Determined Contributions (NDCs) harus bisa dilacak dan dilaporkan agar bisa memenuhi unsur transparansi,” kata Laksmi pada sesi diskusi online bertema “COP26 101: Komitmen Kolaborasi Indonesia dalam Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim”, Sabtu (09/10).
Dikatakannya, sesuai dengan mandatori Paris Agreement yang telah diratifikasi Indonesia pada 2015, Indonesia berinisiatif menuju net-zero emission. Indonesia mencanangkan target pengurangan emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri, dan hingga 41 persen jika ada dukungan internasional.
Untuk itu perlu adanya transisi yang berkeadilan saat ingin mewujudkan komitmen tersebut. “Negara berkembang dan negara maju memiliki kapasitas yang berbeda. Yang pasti kami tidak bisa melakukan ini sendiri,” ujarnya
Laksmi menambahkan, “Kami perlu komitmen bersama dengan para jurnalis dan publik untuk bergerak bersama dalam mencapai net-zero emission ini.”
Pada kesempatan yang sama, Vice-Chair, Working Group I IPCC Edvin Aldrian menjelaskan, perubahan iklim terjadi di segala lapisan Bumi dan kondisi ekstrem itu terjadi secara bersamaan. Itu sebabnya, adaptasi yang dilakukan saat ini berdampak besar terhadap skenario dalam beberapa tahun kedepan.
Kesimpulan itu didasarkan atas sejumlah penelitian yang dilakukan oleh IPCC sebagai badan PBB yang menangani ilmu perubahan iklim. Produk utama mereka adalah laporan kajian perubahan iklim dalam tiga kelompok kerja: basis sains, kerentanan dan adaptasi dampak, serta Mitigasi.
“Perubahan iklim sudah mempengaruhi setiap wilayah di Bumi, dalam berbagai cara. Perubahan yang kita alami akan meningkat dengan pemanasan lebih lanjut,” ujar Edvin.
Sementara itu, jurnalis Kompas Ahmad Arif mengatakan bahwa di Indonesia, wacana terkait perubahan iklim masih dianggap sebagai isu tunggal (stand alone) karena tidak dikaitkan dengan isu lingkungan lainnya, seperti banjir, kesehatan, atau pangan.
Hal itu terjadi karena publik memandang isu perubahan iklim memiliki dimensi yang kompleks di hampir setiap persoalan hidup. Padahal kalau itu dilakukan, maka inklusivitas perubahan iklim akan lebih mudah dicerna oleh publik.
“Ini merupakan PR besar terkait isu perubahan iklim yang masih stand alone di media massa, dapat menjadi salah satu barrier penyebab rendahnya literasi masyarakat.” kata Ahmad Arif dalam pemaparannya.
Senada dengan itu, Ketua Umum The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Rochimawati menjelaskan bahwa media memiliki peran penting dalam meningkatkan literasi masyarakat.
Oleh karena itu, SIEJ mendorong media di Indonesia agar memberikan perhatian lebih terhadap isu perubahan iklim, termasuk menjelang Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-26 (UNFCCC COP26) di Glasgow, Inggris yang akan berlangsung sebentar lagi.
“Karena hal itu berdampak langsung terhadap langkah antisipasi dan mitigasi Indonesia dalam menghadapi krisis iklim,” terang Rochimawati saat membuka diskusi.
Rochimawati berharap, jurnalis mampu memberikan informasi yang jelas terkait perubahan iklim di daerah masing-masing. “Isu lingkungan adalah isu yang sangat penting bagi publik dan penting untuk disampaikan ke publik,” ujarnya.
Rochimawati juga mengingatkan agar jurnalis tetap setia mengawal komitmen dan ambisi Indonesia dalam COP26. Karena itu, jurnalis perlu bersinergi agar dapat melakukan peliputan yang lebih persuasif dan informatif mengenai kolaborasi dunia dalam menghadapi perubahan iklim.
“Peran media massa dalam memberitakan kejadian COP26 sangat mempengaruhi persepsi publik terhadap kejadian dan penanganan,” tutupnya. (Jekson Simanjuntak)