Oleh : Jekson Simanjuntak.
Pengelolaan kawasan pesisir dan laut memerlukan perhatian dari masyarakat lokal yang ada di wilayah tersebut. Caranya dengan melibatkan struktur masyarakat adat yang mendiami kawasan tersebut. Pasalnya, karena hidup cukup lama disitu, mereka yang akan menjaga laut tetap lestari.
Hal itu diungkapkan Bupati Wakatobi Arhawi, saat Beritalingkungan.com datang berkunjung. Arhawi menyebut pemerintahannya sangat menghormati dan menghargai kearifan lokal, terutama masyarakat hukum adat, dalam upaya mereka menjaga lingkungan.
Arhawi menyadari, tanpa pelibatan komunitas adat, maka konservasi tidak akan membuahkan hasil. Selain itu, wilayah yang luas membutuhkan kerjasama semua pihak.
“Di seluruh wilayah kabupaten Wakatobi ini ada beberapa komunitas adat. Di Wangi-Wangi seperti Kadie Wanse, Kadie Mandati, Kadie Kapota dan Kadie Liya. Mereka ini sangat dihormati oleh masyarakat. Kita melibatkan mereka untuk menjaga laut”, ujar Arhawi yang memimpin salah satu kabupaten konservasi di Indonesia itu.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Interim Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Herlina Hartanto, menyebut masyarakat adat sebagai pertahanan terakhir untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari.
Karena itu, YKAN terlibat aktif mendampingi Masyarakat Hukum Adat (MHA) sejak 2014 hingga keluarnya Peraturan Bupati (Perbup) di tahun 2018 tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut berbasis masyarakat adat.
“Pada prinsipnya, kita ingin melihat masyarakatnya sejahtera, kemudian juga alamnya terjaga” ujar Herlina Hartanto.
Herlina juga menyebut keluarnya perbub tentang pelibatan masyarakat adat, sebagai kerja-kerja advokasi masyarakat pulau.
“Munculnya perbup tentang masyarakat adat merupakan proses yang alami. Yang memang diinisiasi oleh mitra sendiri, dalam hal ini masyarakat adat dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi”, papar Herlina.
Berawal dari Kaledupa
Wakatobi terkenal sebagai bagian dari segitiga karang dunia dengan luas 1,39 juta hektar. Selama ini pengelolaannya tidak bisa lepaskan dari partisipasi komunitas lokal dan masyarakat hukum adat.
La ode Arifudin, Stakeholders Engagement Coordinator YKAN yang sejak awal mendampingi masyarakat adat di Kaledupa tidak pernah lupa bagaimana proses tersebut diinisiasi.
“Itu sebagai landasan awal kami. YKAN mencoba menggali kembali kearifan lokal melalui masyarakat hukum adat, pada tahun 2015”, ujar La ode.
Saat melakukan pendampingan, La ode menemukan adanya permintaan masyarakat untuk merevitalisasi aturan wilayah adat Limbo Tombuluruha di Bharata Kahedupa di Pulau Kaledupa. Untuk mempercepat prosesnya, YKAN bermitra dengan Forkani (Forum Kahedupa Toudani), forum masyarakat pulau di Kaledupa pada tahun 2017.
“Aturan ini disambut baik pemerintah desa. Mereka lalu bekerjasama secara adat dengan Limbo Tombuluruha untuk melakukan monitoring/ pengawasan berbasis adat”, ungkap La ode.
Proses penguatan hukum adat di Kaledupa, diamini oleh Ketua Forkani, La Beloro dengan menyebut pendekatan tersebut sebagai konservasi berbasis adat. La Balero mengingat pertemuan besar pernah dilakukan oleh TNC-WWF di tahun 2004. Lalu berlanjut di tahun 2007 hingga 2009, dengan tuntutan pelibatan masyarakat hukum adat.
“Jika bicara konservasi, nenek moyang kami telah memikirkannya, walaupun judulnya berbeda. Bagaimana kami memperlakukan alam, bagaimana kami mendapatkan ikan besar, bagaimana pada saat hajatan, masih ada ikan yang mudah ditangkap. Itu lah konservasi”, ujar La Beloro
Dukungan terhadap hukum adat terus meluas, seiring desakan untuk melakukan monitoring sumberdaya laut. Inisiatif itu kemudian membesar, sehingga warga Kaledupa merasa perlu payung hukum, sebagai landasan berpijak.
“Harapannya, payung hukum tersebut melindungi masyarakat adat di pulau lain di Wakatobi. Pilihan jatuh pada Peraturan Bupati”, kata La Beloro.
Sambil menunggu perbub diteken, YKAN terus melakukan pemetaan wilayah adat. Di Kaledupa, La ode dibantu Forkani (Forum Kahedupa Toudani), sementara di Tomia dengan Komunto (Komunitas Nelayan Tomia)
Dalam setahun, YKAN berhasil menuntaskan pemetaan wilayah adat di Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Binongko). Hasilnya, ditemukan 9 wilayah adat di Pulau Kaledupa, dan di Tomia ada 3 wilayah adat.
“Inisiatif itu kemudian berlanjut menjadi draf yang diajukan sebagai perbup. Pembahasannya berawal di tingkatan pulau (Kaledupa dan Tomia), lalu dibawa ke Kabupaten”, ungkap La ode.
Pada 3 Desember 2018, Bupati Wakatobi, H. Arhawi menandatangani Peraturan Bupati tentang Masyarakat Hukum Adat dengan nomor 44 untuk Bharata Kahaedupa dan nomor 45 untuk Kawati di Pulau Tomia.
Hukum Adat Sebagai Solusi
Ketika pemerintah daerah menghadapi dilema terkait birokrasi, pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan, maka sanksi bagi pelaku ilegal fishing dan perusak ekosistem laut, semakin sulit ditegakkan.
“Sehingga ketika ada orang berbuat sesuatu di dalam kawasan (taman nasional), kadang kita cuma melihat saja, karena tidak punya kewenangan untuk menindak”, ujar Arhawi saat ditemui kantornya.
Pemerintah setempat juga tidak memiliki kewenangan untuk memanfaatkan potensi laut Wakatobi. Semua kewenangan kini dipegang oleh provinsi.
“Sehingga harapan, bahwa, otonomi daerah bisa memaksimalkan potensi daerah agar memiliki kemandirian, menjadi sia-sia. Padahal kita punya potensi, tapi tidak punya kewenangan untuk memaksimalkannya”, ungkap Arhawi.
Karena itu, kehadiran masyarakat adat merupakan jawaban. Masyarakat adat melalui peraturan bupati menjadi harapan baru tentang pengelolaan kawasan pesisir dan laut.
“Ini juga menjadi bentuk eksistensi masyarakat hukum adat. Kolaborasi ini penting untuk menjaga lingkungan di kawasan Taman Nasional Wakatobi”, kata Arhawi.
Hukum Adat Masih Ditakuti
Fakta juga membuktikan bahwa hukum adat berperan penting dalam kehidupan masyarakat Wakatobi.
“Masyarakat sangat hati-hati, karena ada sanksi adat yang didapat jika kedapatan melanggar aturan”, ujar Arhawi.
Bagi warga yang membandel terhadap aturan adat, sanksi sosial telah menanti.
“Katakan jika ada hajatan (pesta), jika orang ini bandel terhadap keputusan adat, maka orang-orang tua tidak mau hadir menyelesaikan secara adat” papar Arhawi.
Hal yang sama juga terjadi jika ada yang meninggal. “Kalo tidak menghormati adat, maka tidak diselenggarakan jenazahnya secara islam. Itu pentingnya mengapa masyarakat tunduk pada hukum adat” ujarnya.
Mendukung Hukum Positif
Pasca 1970-an, sistem hukum adat di Indonesia mulai melemah. Sejak saat itu, hukum adat mulai dilupakan dan kurang mendapat respons di masyarakat. Padahal, jauh sebelum Indonesia berdiri, masyarakat hidup dengan hukum-hukum adat.
Oleh karena itu, La ode menilai kehadiran hukum adat seharusnya mampu bersinergi, bahkan memperkuat hukum positif. Jangan sampai terjadi overlapping penegakan hukum di masyarakat. Termasuk juga tidak ingin terjadi benturan antara masyarakat dengan pemerintah.
“Contoh kecil misalnya, di hukum positif ada larangan pengambilan Kimah, di hukum adat juga demikian. Karena itu sifatnya saling mendukung”, ujarnya.
Lebih jauh, La ode menyebut hukum adat sebagai bagian dari konservasi. Terbukti, saat ada tempat yang dikeramatkan, maka itu tak lain dari menjaga kawasan tetap lestari.
“Masyarakat adat menganggapnya keramat, tapi Itulah konsep konservasi yang turun temurun. Dalam hal kepatuhan, saya melihatnya masyarakat tak berani melanggarnya”, ungkap La ode.
Sementara bagi Herlina Hartanto, hukum adat yang diwariskan dari generasi ke generasi memiliki kearifannya sendiri dan akan terus berevolusi serta beradaptasi mengikuti zaman.
“Adat itu tidak statis. Dia ada sekarang karena kemampuan, baik masyarakat adat ataupun adat sendiri telah beradaptasi sesuai waktu, melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan”, papar Herlina.
Untuk Wakatobi, Herlina menyebut masyarakat masih kuat mematuhi aturan hukum adat, karena hal itu menjadi bagian dari identitas mereka. Sehingga lebih bijaksana jika menggunakan sesuatu yang bisa diterima secara luas oleh masyarakat. Contohnya untuk mengatur dan mengelola sumberdaya alam secara lestari.
“Kita dengar sendiri, pamali-pamali lebih ditakuti oleh warga dibanding peraturan yang lain, menurut saya memang harus seperti itu”, ujar herlina.
Penguatan Hukum Adat
Saat ini, peraturan bupati tentang pelibatan masyarakat adat belum efektif membangun eksistensi hukum adat. Karena itu sejumlah hal perlu dilakukan. Termasuk regenerasi bagi mereka yang akan mengemban tugas sebagai perangkat adat.
“Ketika perbup sudah ada, kita juga perlu melakukan tahapan lain, seperti membangun kapasitas sumberdaya manusia, melakukan sosialisasi tentang tugas pokok dan fungsi, termasuk sosialisasi aturan-aturan yang ada di perbup ini”, ungkap La ode.
Untuk mewujudkan efektivitas perbup, Herlina mengingatkan tentang perlunya kerjasama dengan banyak pihak, termasuk Taman Nasional Wakatobi. Bagi Herlina, pengelolaan sumberdaya alam memiliki dimensi yang sangat kompleks.
“Tidak mungkin ada satu lembaga menjadi superman atau superwomen, bisa menyelesaikan masalah itu sendiri. Itu tidak mungkin. Oleh karena itu harus berkoordinasi. Sinergi itu keharusan”, ujar Herlina
Tak hanya itu, Herlina juga meminta kajian ilmiah terhadap kearifan lokal perlu ditingkatkan. Untuk membuktikan bahwa hukum adat tidak bertentangan, namun sejalan dengan program-program pemerintah.
“Data-data ilmiah dari suatu kajian dan kearifan lokal di suatu daerah itu seringkali klop, karena basis dari keduanya sebetulnya sama,” kata Herlina Hartanto.
Herlina menyebut basis yang dimaksud sebagai pengamatan. Sebab, pada hakikatnya kearifan lokal didasarkan atas pengamatan. Kondisinya mirip penelitian ilmiah, yang juga didasarkan pada pengamatan.
Bahkan, berdasarkan pengalaman YKAN, informasi-informasi yang diperoleh dari pendekatan ilmiah seringkali terbukti mampu membantu, baik bagi warga maupun pemerintah daerah.
Sementara bagi La ode Arifudin, yang memang terlibat sejak lama dalam pendampingan masyarakat, menyebut kearifan lokal tidaklah bertentangan dengan konservasi. Hanya saja, kecenderungan masyarakat untuk modifikasi alat tangkapnya perlu diperbaiki.
“Jika dibiarkan, menurut saya mengarah kepada over exploitasi. Mengapa kita tidak mencoba kembali kepada alat tangkap yang ramah lingkungan dan itu cenderung bisa mempertahankan sumberdaya alam kita”, ungkap Laode.
Karena itu, La ode meyakini selama pendampingan dilakukan dengan benar, walaupun memakan waktu lama, maka aspirasi masyarakat akan diketahui dan berbagai permasalahan mampu diselesaikan.
“Kalau tantangannya wilayah adat yang luas, maka hukum adat harus dipatuhi bersama. Karena dengan berlalunya waktu, biasanya makin kompleks persoalan yang dihadapi. Dan masyarakat hukum adat harus siap dengan itu”, pungkasnya.***