Oleh : Jekson Simanjuntak
SD Negeri Kulati, Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara prihatin dengan maraknya kerusakan lingkungan dan sumber daya alam yang terjadi di Indonesia. Meskipun berada dilokasi yang jauh, sekolah ini telah menerapkan pendidikan lingkungan bagi siswanya sejak dini.
Pihak sekolah menyadari, kerusakan lingkungan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di perkotaan namun juga oleh masyarakat desa. Karena itu, setiap siswa, mulai dari kelas 4 hingga kelas 6 mengikuti pelajaran khusus tentang lingkungan, sebagai muatan lokal.
“Untuk kelas 3 ada pendidikan lingkungan, tetapi tidak terlalu dalam. Sementara untuk kelas 1 dan 2 meski belum mengerti soal itu, tetap diajarkan juga”, ujar Taharuddin, guru di SD Kulati.
Salah satu yang diajarkan adalah bahanya sampah di lautan maupun di pantai. Juga tak ketinggalah tentang bahaya limbah rumah tangga.
“Di sekolah ini ada materi tentang lingkungan, dimana hal itu berhubungan dengan sampah. Selain itu kita juga ajarkan tentang pesisir pantai yang harus dijaga”, ujar Taharuddin.
Sifatnya Aplikatif
Menyikapi kerusakan lingkungan, sekolah menyadari perlunya pengetahuan dan keterampilan yang bersifat aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, serta menjadi pola tindak dan pola pikir untuk penanganan yang lebih spesifik. Apalagi, Kulati memang terkenal sebagai desa yang memiliki alam yang indah dan bersih.
“Cerita orang tua-tua, Kulati itu dulunya lingkungannya sangat bersih, dan karangnya bagus. Namun seiring waktu, ada penangkapan ikan, pengeboman menggunakan racun atau potas masyarakat disini menyebutnya”, papar Taharuddin.
Akibat perusakan karang, banyak terumbu karang yang mati. Dari situ, para guru berinisiatif mengajarkan tentang pentingnya ekosistem laut yang sehat, demi saaat ii dan kelangsungan generasi mendatang.
“Kami ingin, anak cucu tidak bisa melihat keindahan Kulati ini, terutama di pantai sana”, ujarnya.
Adapun kegiatan ekstrakurikuler turun ke pantai, sengaja dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran siswa. Pengumpulan sampah, biasanya dilakukan secara berkala dan dadakan. Secara berkala, ketika selesai ulangan, sedangkan dadakan, jika ada waktu luang.
Selama ini, pendidikan lingkungan yang diajarkan, tidak berdiri sendiri, namun menjadi bagian dari pelajaran IPA. Pendidikan tersebut diajakan oleh guru kelas.
“Tidak ada guru khusus mata pelajaran lingkungan. Biasanya guru kelas yang mengajarkan mata pelajaran IPA, IPS dan yang lain”, ujar Taharuddin
Selain belajar tentang bahaya sampah, para siswa juga diajarkan kerajinan dengan memanfaatkan limbah plastik, utamanya minuman kemasan sekali pakai. Contohnya cara membuat anyaman dari botol plastik, bingkai foto, hingga tempat ATK dari limbah plastik.
“Kadang hasil dari anak-anak itu dijual hingga ke Onemay (ibukota Tomia). Biasanya suka ada yang beli”, kata Taharuddin.
Inisiatif Sekolah
Program pendidikan lingkungan murni diinisiasi oleh sekolah, yang kemudian mendapat sambutan hangat dari komunitas pemuda Desa Kulati, Poassa Nuhada. Bersama-sama mereka lalu mengembangkannya, termasuk dengan aksi bersih pantai.
“Kita ada rutinitas membersihkan di pantai, bersama-sama dengan lembaga Poassa Nuhada”, kata Taharuddin.
Menurut Taharuddin, melalui pendidikan lingkungan, anak-anak akan mempraktikkannya di rumah. Belakangan, tak sedikit dari mereka yang memarahi orangtuanya ketika kedapatan merusak karang.
“Terkadang dia mengajarkan orang tuanya, tangkap ikan jangan seperti itu. Kadang saat turun ke laut, mereka tahu jika karangnya dirusak untuk mengambil ikan, maka itu membuat karang mati”, katanya.
Sementara terkait alat peraga yang digunakan dalam pendidikan lingkungan, semua didisain sendiri dan dibuat secara swadaya. Harapannya anak-anak menjadi lebih mengerti, jika ada visualnya.
“Dengan alat peraga, siswa jadi paham, bahwa buang sampah jangan sembarangan, misalnya. Atau ikannya bisa mati, terumbu karang akan rusak. Disitu mereka langsung tahu”, ujar Taharuddin.
Meluas Hingga Ke Masyarakat
Pihak sekolah berharap, muatan lokal terkait pendidikan lingkungan tidak berhenti hanya di sekolah, namun meluas ke masyarakat di kehidupan sehari-hari. Taharuddin menyadari, bahwa menjaga lingkungan tidak hanya tanggungjawab pihak sekolah saja.
“Jangan sampai kita yang menjaga lingkungan, sementara masyarakat luas seenaknya buang sampah, atau tidak jaga itu lingkungan”, katanya.
Di sekolah, salah satu praktik peduli lingkungan adalah dengan penerapan aturan untuk membuang sampah pada tempatnya. Untuk itu, sekolah menyediakan tempat sampah yang diletakkan di beberapa tempat. Selain itu, pihak sekolah juga menganjurkan agar tidak menggunakan plastik sekali pakai.
“Kalau bisa jika belanja, jangan menggunakan kantung plastik sekali pakai. Atau kalau minum cukup menggunakan gelas. Sehingga tidak lagi menimbulkan masalah baru”, ujar Taharuddin.
Karena terbiasa dengan pendidikan lingkungan, siswa SD Negeri Kulati menjadi paham tentang pentingnya lingkungan yang bersih. Bahkan ketika ada lomba menggambar, siswa yang ikut akan melukis tentang pantai yang bersih, atau terumbu karang yang penuh ikan.
Replikasi Program
Bagi Taharuddin, pendidikan lingkungan yang diterapkan di sekolahnya, sebaiknya diterapkan juga di sekolah-sekolah lain di Pulau Tamia. Pasalnya, kesadarn tentang lingkungan yang sehat perlu ditanamkan sejak kecil.
“Saya setuju program ini direplikasi di sekolah-sekolah lain, biar kesadarannya tumbuh”, ujarnya.
Sementara bagi Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), pendidikan lingkungan di SD Negeri Kulati layak didukung. Karena itu, sejak 2018 YKAN terlibat mendukung program tersebut.
“Sasarannya adalah penyadartahuan para siswa,” kata Stakeholders Engagement Coordinator YKAN, La ode Arifudin.
Ketua Pelaksana Interim YKAN Herlina Hartanto, menyebut para siswa tersebut sebagai agen perubahan di lingkungan masing-masing, terutama bagi keluarga mereka. Karen itu ke depan, YKAN berencana menerapkan program itu di seluruh SD di Kecamatan Tomia.
“Kita inginnya selalu replikasi, supaya dampaknya lebih besar”, ujar Herlina.
Ketika YKAN berhasil menyiapkan modul pendidikan lingkungan yang tepat, maka modul tersebut dapat digunakan oleh sekolah-sekolah lain di kecamatan di Tomia. Selain itu, YKAN juga berharap komunias Poassa Nuhada yang telah memilki kemampuan dan kapasitas di bidang pengelolaan sampah mampu menularkan ilmunya ke masyarakat di desa yang lain.
“Soalnya teman-teman di desa yang lain, tanggapannya cukup baik dan YKAN akan membantu proses teknisnya”, ujarnya.
Kegiatan ini menjadi bagian dari pola kerja YKAN yang biasanhya sangat berorientasi pada satu lokasi tertentu. Dalam 5 tahun terakhir, Herlina menyebut YKAN telah berevolusi, sehingga tidak fokus pada satu lokasinya saja.
“Karena yang terpenting bagi kita adalah memunculkan yang baru, seperti muatan lokal, guidebook. Ini sebabnya kita sangat aktif mendorong learning by exchange dari satu tempat ke tempat lain”, pungkas Herlina
Harapannya, perubahan dari satu desa bisa ditularkan ke desa lain. Termasuk aparat desanya harus terlibat aktif dalam pembelajaran tersebut. Karena nyatanya, ancaman kerusakan lingkungan akibat sampah telah terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi.***