oleh Jekson Simanjuntak
JAKARTA, BERITALINGKUNGAN.COM — Sejak pukul 7.00 pagi, Zakry, petugas operasional PT Higer Maju Indonesia (HMI) bersiap di pool Transjakarta, di bilangan Cawang, Jakarta Timur. Pagi itu, Zakry datang lebih dahulu ketimbang pramudi. Sesuai jadwal, dia harus mengecek kesiapan bus listrik Higer sebelum digunakan pada uji coba di rute Blok M – Balaikota.
“Pagi, otomatis pramudi dari Transjakarta datang, bus dalam keadaan ready dengan kapasitas baterai mencapai 100%,” katanya.
Sesuai perjanjian antara PT HMI dan Transjakarta, selama masa uji coba, semua hal disediakan oleh tim Higer termasuk kegiatan charging baterai. “Saya tidak boleh pulang sebelum mengecas baterai,” ucap Zakry.
Zakry, petugas operasional PT (HMI) bersiap di pool Transjakarta. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Menurut Zakry, masa uji coba sebagai tahapan merealisasikan rencana penggunaan kendaraan bus listrik berbasis baterai yang ramah lingkungan. Nantinya, secara bertahap, semua armada konvensional Transjakarta beralih ke bus listrik.
“Uji coba mulai 16 September 2021 sampai 16 Desember 2021,” katanya.
Di masa uji coba selama satu setengah bulan ini, Zakry memastikan, bus Higer terbukti kuat dan tidak mengalami kendala apapun, baik di saat cuaca panas maupun hujan seperti sekarang ini. “Tidak ada hambatan sama sekali. Atau problem di jalur itu tidak ada,” katanya.
Tak hanya itu, bus listrik yang menjadi tanggungjawabnya tidak pernah berhenti bergerak. Sejak uji coba, bus Higer selalu beroperasi sejak pagi hingga malam hari, dan tidak mengenal hari libur.
“Bus ini tidak pernah berhenti. Pemberhentian terakhir, seperti di Blok M paling lama 10 menit, sedangkan di Balai Kota paling lima menit. Di Blok M sering agak lama, karena kita tunggu giliran untuk masuk terminal,” terang Zakry.
Sehari-harinya, bus Higer beroperasi mulai pukul 08.00 WIB dari Blok M. Bus harus sudah keluar dari depo paling lambat pukul 07.00 WIB. Bus akan kembali ke Blok M pada pukul 20.00 WIB dari Balai Kota. Sepanjang hari itu, bus Higer melakukan 8-9 kali perjalanan pulang pergi.
“Kita balik lagi kesini (pool), biasanya jam setengah 10.00 malam. Paling lama jam 10.45 WIB,” ujarnya.
Bus listrik Transjakarta sebelum berangkat ke Blok M. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Setibanya di pool, baterai tersisa biasa merujuk angka 40%. Untuk kekuatan baterai, angka tersebut terbilang baik, meskipun telah digunakan seharian, dalam segala kondisi. Bahkan, jika suhu diluar panas, pemakaian baterai cenderung boros.
“Karena bus beroperasi setiap hari, maka setiap balik ke pool, misalnya jam 10 malam, kita langsung cas,” katanya.
Menurut Zakry, kapasitas baterai bus Higer sebesar 348 Kwh. Sementara kapasitas genset mencapai 600 Kwh. Daya sebesar itu akan alirkan ke dispenser (alat pembagi arus). Dari dispenser disambungkan dengan soket pengisian daya ke bus listrik.
“Output dispenser diatas 300 Kwh, karena kapasitas baterainya 348 Kwh,” ucapnya.
Genset dan dispenser yang digunakan untuk mensuplai listrik bagi bus listrik Transjakarta. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Kapasitas genset sebesar itu mampu untuk menampung empat buah dispenser. Masing-masing dispenser dapat digunakan untuk mengecas delapan unit bus listrik disaat yang bersamaan. “Total satu genset bisa untuk delapan bus listrik” ungkap Zakry.
Adapun waktu pengecasan bus listrik mencapai dua jam. “Data dari kemarin malam, misalnya, saya mulai ngecas saat baterai 45%. Saya cas sampai full hanya butuh waktu 110 menit.”
Untuk waktu berhenti ngecas tidak ada patokan. “Stop charging bisa di angka berapa pun. Baru cas 10 menit, mobil mau jalan, kita bisa langsung stop charging dari dispenser.”
Selama masa uji coba, PT HMI menugaskan tiga operator yang bertindak sebagai teknisi. Zakry salah satunya. Bersama dua temannya, secara bergantian mereka menyiapkan segala hal, termasuk pembagian jam kerja.
“Kita kerjanya shift, sehari tiga orang. Kita jatuhnya long shift dari jam 6.00 pagi hingga 1.00 dini hari. Kita bagi rata jadwalnya,” katanya.
Bus listrik Transjakarta berhenti di Balai Kota. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Selama uji coba, PT HMI hanya menyediakan satu bus dengan nomor EV 005. Pasca-uji coba, jika dibutuhkan, perusahaan akan menyediakan bus listrik sesuai kesepakatan.
“Jadi satu unit ini menjadi ajang uji coba untuk operator, Pemprov DKI maupun Transjakarta. Kedepannya, kita akan tergantung permintaan,” ucap Zakry.
Saat ini, PT Higer belum berani menyediakan bus dalam jumlah besar, karena pihak rekanan Transjakarta selaku operator belum diketahui. Merekalah nantinya yang akan mengoperasikan bus listrik tersebut.
“Dari Higer sudah pasti siap untuk menyediakan bus, cuma kita tidak bisa membawa bus dari sana (China) tanpa ada pembeli di Indonesia,” katanya.
Sepengetahuan Zakry, terkait program bus listrik, Transjakarta hanya menyediakan jalur, sementara operasional bus akan diserahkan ke internal masing-masing operator.
“Dari Higer targetnya terjual minimal 20 unit kepada setiap operator. Setelah itu, kita memberikan pelatihan kepada teknisi dari operator-operator itu.”
Sejak digratiskan September 2021 bus listrik Transjakarta ramai dikunjungi penumpang. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Awal mula
Agung Wicaksono, mantan Dirut PT Transjakarta masih ingat bagaimana program bus listrik diperkenalkan di Jakarta. Saat itu, medio November 2018, dia diminta Gubernur Anies untuk menjajaki kemungkinan Transjakarta menggunakan bus listrik sebagai kendaraan transportasi ramah lingkungan.
“Kebetulan sebelumnya saya dari MRT (mass rapid transit) yang telah menggunakan kereta listrik yang ramah lingkungan. Saya punya pemikiran waktu itu, bagaimana koridor Transjakarta yang bersamaan dengan rute MRT, yaitu koridor 1 dibuat green juga,” ungkapnya.
Agung kemudian bertemu perwakilan perusahaan bus asal China yang saat itu kendaraannya digunakan di acara Annual Meeting IMF-World Bank 2018 di Bali.
“Salah satunya adalah BYD, produsen asal China. Mereka sudah ada 2 bus listrik di Indonesia yang digunakan di kegiatan itu,” katanya.
Menurut Agung, ketimbang dibawa pulang ke China, ia menawarkan untuk di uji coba di Jakarta. Bakrie Autoparts kemudian diusulkan sebagai agen pemegang merek (APM) oleh perusahaan multinasional China BYD Co Ltd produsen BYD (Buid Your Dreams).
“Waktu itu ada rencana bus BYD akan digunakan di Jawa Tengah, karena mereka ada kerjasama disana. Trus saya bilang, mengapa tidak di Jakarta saja. Akhirnya disepakati mengarah pada uji coba,” katanya.
Tampilan dalam bus listrik Transjakarta yang terlihat sangat lega. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Kegiatan kemudian berlanjut dengan penandatanganan memorandum of understanding (MOU) di JIExpo Kemayoran yang bertepatan dengan perhelatan Busworld South East Asia yang diselenggarakan pada 20-22 Maret 2019.
“Saya waktu itu tanda tangan MOU dengan BYD, dengan Bakrie Autoparts dan Mobil Anak Bangsa (MAB),” ujar Agung.
Selain itu, Agung juga menjajaki peluang kerjasama dengan perusahaan asal Taiwan. “Karena selain ke China, saya juga berkunjung ke Taiwan. Kemudian kita belajar juga dari Singapura yang kebetulan saat itu sedang ada pilot project,” katanya.
Sejak itu, wacana penggunaan bus listrik terus bergulir, sampai akhirnya Gubernur Anies meminta agar setiap bus listrik mengikuti pra uji coba, karena saat itu belum ada izinnya.
“Dengan komitmen gubernur, kemudian diterbitkan SK Dishub yang memberikan dasar terhadap pra ujicoba bus listrik,” ucapnya.
Tampilan dalam bus listrik Transjakarta yang terlihat sangat lega. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Setelah uji coba, Bakrie Autoparts selaku agen pemegang merek langsung tancap gas. Sebanyak 30 unit bus BYD, didatangkan dari kantor pusatnya di Xi’an, Provinsi Shaanxi, China. “Artinya, dari hasil ujicoba diputuskan untuk dilakukan penyediaan bus lebih banyak lagi,” terang Agung.
Sementara terkait dengan usulan 100 bus listrik di tahun 2020, Agung menjelaskan, hal itu ada kaitannya dengan pergelaran balap Formula E pada Juni 2020. Bus listrik akan digunakan sebagai pendukung kegiatan, bagi kebutuhan panitia, official maupun peserta balapan.
“Pada masa saya sudah digagas penyediaan bus sebanyak 100 unit. Ini ada hubungannya dengan formula E,” jelasnya. Sebagai operator, Agung mengusulkan bus listrik BYD dan bus produksi Mobil Anak Bangsa (MAB) karena memenuhi kriteria yang ditetapkan, yakni memiliki panjang 12 meter.
Namun karena keburu pandemi, dan ajang Formula E diundur hingga 2022, target pengadaan 100 bus di tahun 2020 tidak terpenuhi. Selain itu, skema detilnya belum diputuskan, apakah Transjakarta akan terlibat di pelaksanaan Formula E atau tidak.
“Hanya disebutkan kebutuhan 100 unit bus listrik di 2020,” katanya.
Penumpang sedang menikmati layanan bus listrik Transjakarta. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Uji Coba Bus Listrik
Saat ini PT. HMI sebagai penyedia bus listrik telah sepakat untuk melaksanakan uji coba selama tiga bulan. “Tapi waktu uji coba bisa saja lebih cepat, jika data-data yang diinginkan telah terpenuhi,” kata Zakry.
Uji coba dilakukan untuk melihat performa bus Higer dan kekuatan baterainya. Uji coba juga harus melewati sejumlah tes, seperti uji tipe dari Kemenhub. “Uji tipe lebih ke spesifikasi kendaraan. Bus harus sesuai dengan regulasi yang ada, termasuk standar keselamatan juga,” katanya.
Selain itu, uji nanjak juga dilakukan dibawah pengawasan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. “Caranya, kapasitas mobil dengan beban penuh dicoba pada jalan menanjak. Saat itu, sebagai pengganti penumpang digunakan galon air,” ujarnya.
Tak hanya itu, bus Higer juga melewati tes uji genangan, yakni melewati genangan air dengan ketinggian setengah ban. “Itu dilakukan ketika banjir di dekat Kali Ciliwung. Sisanya jalan di cuaca ekstrem, hujan dan angin saat di tol,” jelas Zakry.
Kabid Angkutan Jalan Dishub DKI Jakarta Yayat Sudrajat tidak menampik jika uji coba bus Higer tengah berlangsung. Menurutnya uji coba dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebagai pra ujicoba untuk menguji secara statis, misalnya ketahanan baterai dan performa bus.
Tahap kedua uji coba mengangkut penumpang di rute transjakarta. “Uji coba ini untuk menguji penyesuaian pola layanan Transjakarta,” ujar Yayat.
Sejauh ini, bus listrik yang telah menjalani tahap uji coba secara lengkap, baru dua agen pemegang merek (APM). Hasilnya sedang dikaji lebih lanjut oleh PT Transjakarta bersama pihak professional lainnya (C40-GIZ).
Senada dengan itu, Utusan Khusus Gubernur DKI Jakarta untuk Perubahan Iklim Irvan Pulungan mengatakan, bus listrik sudah mulai diuji coba di Jakarta sejak tahun 2019. Sebanyak tiga unit bus mengikuti masa uji coba, dan dua diantaranya telah selesai tahun lalu.
Pemprov DKI telah menjadikan bus listrik sebagai tulang punggung (backbone) sistem transportasi publik. Itu sebabnya, integrasi sistem transportasi massal terus dilakukan.
“Tidak hanya bus rapid transit (BRT) namun juga disesuaikan dengan Jak Lingko, penataan stasiun termasuk integrasi fisik. Jak Lingko juga didorong menggunakan listrik,” katanya.
Adapun target moda sharing bus listrik di tahun 2030 diharapkan mencapai 60%. Itu sebabnya, arah kebijakan didorong pada pembatasan kendaraan pribadi, sehingga beralih menggunakan kendaraan umum.
Sementara terkait upaya menyongsong nol emisi pada tahun 2025 untuk transportasi publik jenis bus, Dinas Perhubungan telah menyiapkan sejumlah langkah. Diantaranya, menyukseskan pilot project 100 unit bus listrik hingga tahun 2022.
“Saat ini proses implementasi pilot project sedang dalam tahap pengadaan operator yang akan menjalankan operasional bus listrik,” kata Yayat.
Bus listrik berhenti selama 5-10 menit di Balai Kota menunggu penumpang. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Agak Terlambat
Awalnya, Transjakarta menargetkan 100 unit bus listrik harus beroperasi di tahun 2021. Namun hingga saat ini, target tersebut belum terwujud. Irvan Pulungan menilai pandemi sebagai alasannya.
“Jika ditanya mengapa terlambat, itu murni karena pandemi,” katanya.
Pandemi telah mengakibatkan sejumlah operatur harus melakukan refocusing demi menyesuaikan pola bisnisnya, termasuk target yang diinginkan. Bahkan tak sedikit yang mencari akal agar bisa bertahan.
“Banyak operator terkena dampak di awal-awal pandemi. Ketika orang tidak keluar rumah, terus ada PPKM, mengakibatkan kegoyahan finansial. Jadi bukan karena faktor lain,” terangnya.
Yang menarik, menurut Irvan, pengguna Transjakarta relatif stabil meskipun sempat turun karena ada aturan yang harus dipatuhi. Namun ia yakin, masyarakat ibu kota masih sangat bergantung pada Transjakarta sebagai sarana transportasi massal.
“Jadi ketika pandeminya selesai, penggunaan transportasi publik, khususnya listrik kita akan lebih baik,” katanya.
Sementara itu, mewakili penyedia bus, Zakry beranggapan, Transjakarta punya alasan tertentu mengapa target yang ditetapkan tak kunjung terealisasi. Ia pun tak ingin berspekulasi lebih jauh.
“Mengapa terkesan Transjakarta lambat, kami tidak tahu. Mungkin ada masalah prosedural. Tapi kami sebagai penyedia, yang pertama disiapkan adalah kemampuan dan ketahanan baterai,” paparnya
Sebisa mungkin, PT HMI mengikuti semua aturan terkait kapasitas baterai sesuai standar yang ditetapkan oleh Transjakarta.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa sangat mendukung jika kota besar seperti Jakarta beralih menggunakan kendaraan ramah lingkungan. Meskipun masih dalam tahap uji coba.
“Saya dengar, Transjakarta sedang berhitung menyiapkan bus listrik secara bertahap untuk mengganti armada bus konvensional mereka,” katanya.
Hanya saja, Fabby khawatir jika upaya tersebut tidak berjalan optimal akibat sejumlah hal. Pasalnya, setelah lebih dari setahun, hasil uji coba belum diketahui masyarakat, termasuk siapa saja penyedia bus listrik yang akan digunakan Transjakarta.
“Saya kira itu satu langkah yang baik, tapi memang sampai hari ini realisasinya belum terlihat, padahal uji coba sudah setahun lalu,” ungkap Fabby.
Bus listrik Transjakarta. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Bakrie Autoparts Setia Menunggu
Manager Sales & Product Management EV Division Bakrie Autoparts Adhitya Kuntoaji mengatakan, bus listrik mereka telah mengikuti uji coba pada tahun lalu. Saat itu, pihak Transjakarta melakukan serangkaian uji coba, yakni uji coba non penumpang dan uji coba berpenumpang.
“Uji coba non penumpang menggunakan beban berupa galon air. Jika uji berpenumpang berarti harus sudah memiliki surat-surat lengkap. Sudah ada STNK, sudah uji KIR dan sebagainya, baru bisa berpenumpang,” terangnya.
Adhitya menjelaskan, sejauh ini hanya dua perusahaan yang telah melakukan uji coba berpenumpang, yakni Bakrie Autoparts dan PT Higer Maju Indonesia (HMI). “Yang lain hanya melakukan uji coba tanpa penumpang. Sudah ada beberapa yang melakukan,” ucapnya.
Uji coba non penumpang, menurut Adhitya dilakukan dalam kondisi overload, atau dianggap mengangkut penumpang maksimal. Tujuannya untuk melihat endurance kendaraan pada beban maksimal, termasuk performa baterai.
“Sementara uji berpenumpang untuk melihat aktual kondisi sehari-hari yang benar terjadi. Mau penumpangnya sedikit atau banyak akan terlihat disitu,” katanya.
Pada saat uji coba, Bakrie Autoparts diminta melakukannya selama enam bulan. “Tapi kita sebagai penyedia agak keberatan, kok lama sekali. Karena selama uji coba kita harus menyiapkan orang, unitnya sendiri, charging juga. Mereka gak mau nekan biaya untuk listriknya,” katanya.
Kemudian dilakukan negoisasi, dan disepakati waktu uji coba hanya tiga bulan. Setelah uji coba selesai, Bakrie Autopart dianggap layak sebagai salah satu penyedia bus listrik yang direkomendasikan oleh Transjakarta. “Kemudian tinggal mencari operator yang akan berkontrak dengan Transjakarta,” ujarnya.
Sejauh ini, komunikasi terbatas telah dijalin dengan sejumlah operator yang dikenal sebagai rekanan Transjakarta, seperti Damri, PPD, Mayasari, Bianglala dan yang lainnya. Ia berharap operator tersebut bersedia menggunakan bus listrik yang mereka tawarkan.
Di sisi lain, sejak uji coba diberlakukan setahun berlalu, pihak Bakrie Autoparts belum mengetahui siapa saja pemenang tender yang akan menyediakan bus listrik untuk Transjakarta.
“Tapi siapa yang menjadi pemenangnya kita belum tahu. Masih berjalan prosesnya. Harapan kita, bulan ini sudah ada kejelasan tentang siapa saja pihak yang menjadi penyedia,” harap Adhitya.
Kejelasan menjadi penting, karena menyediakan bus listrik membutuhkan waktu. “Takut jika ada yang kurang dan harus ditambahkan. Mau gak mau, jika dioperasikan tahun ini, maka Desember harus sudah jalan,” katanya.
Sejauh ini, Bakrie Autoparts hanya menyediakan sesuai jumlah yang ditenderkan, yakni 30 unit. “Karena belum ada yang siap, kita sedikit pede untuk masukin 30 unit, sesuai dengan kebutuhan awal,” jelas Adhitya.
Maju dengan bus merek BYD (asal China) Bakrie Autoparts yakin mampu menyediakan bus sesuai permintaan. “Cuma proses ini tidak bisa di by pass, ditunjuk langsung menang. Nanti masalahnya panjang kemana-mana. Kita harus mengikuti prosedur yang berlaku,” katanya.
Zakry memperagakan cara mengecas bus listrik Transjakarta. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Charging Station
Fabby Tumiwa mengingatkan bahwa kendaraan listrik sangat tergantung pada stasiun pengisian baterai (charging station). Dengan teknologi yang tersedia saat ini, Fabby mengusulkan charging station menggunakan energi baru terbarukan.
“Kita pasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) misalnya, kemudian nanti di depo Transjakarta di charging disana atau di halte-halte besar. Ini memang perlu di desain, tapi menurut saya, studi kami menunjukkan hal itu bisa dilakukan,” katanya.
Menurut Fabby, bus listrik masih tergantung pada listriknya PLN, dimana bauran energinya sebagian besar berasal dari batu bara. Bisa dipastikan emisi bus listrik masih cukup tinggi. “Walaupun lebih hemat pake bus listrik,” ucapnya.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah meningkatkan bauran energi terbarukan di sistem kelistrikan kita, sehingga emisi bisa ditekan. “Dengan pengadaan bus listrik maka pengadaan charging stationnya harus menggunakan energi terbarukan seperti PLTS, supaya emisinya bisa turun,” kata Fabby.
Selanjutnya, masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari penurunan emisi dari bus listrik yang tidak saja hemat energi, namun berhasil menurunkan emisinya.
Sementara itu, Zakry sebagai operator bus listrik Higer tidak menampik peluang dibangunnya PLTS di depo Transjakarta untuk menyuplai kebutuhan listrik. Hanya saja, membangun PLTS membutuhkan lokasi yang cukup luas.
“Pengganti mesin genset dengan solar panel sebenarnnya bisa dilakukan, tapi pasti butuh solar panel dalam jumlah banyak dan membutuhkan lokasi yang juga luas, karena ini mobil, inputnya sangat gede,” katanya.
Jika dibandingkan antara biaya PLTS dengan penghematan BBM, Zakry menilai untuk jangka panjang, keberadaan PLTS jauh lebih menguntungkan, selama mampu memenuhi kebutuhan baterai bus listrik.
Selama masa uji coba, Zakry menghabiskan paling sedikit 20-25 liter solar untuk kebutuhan genset yang digunakan mensuplai bus listrik dengan level baterai mencapai 40%. Menurutnya, penggunaan bus listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang masih menggunakan BBM, sangat bertolak belakang.
“Kita butuh 30-35 liter solar untuk mengecas baterai dari posisi 10% hingga 100% dan 40-50 liter jika kapasitasnya 0% – 10%. dengan durasi 2 jam. Selain itu, setiap hari, solar kita usahakan ada terus,” terangnya.
Sebelum PLTS terwujud, Zakry menginginkan agar sistem pengisian baterai disediakan di tempat-tempat tertentu. “Ke depan, Pemprov DKI dan Transjakarta gak mungkin pakai genset, tetapi menggunakan listrik PLN. Jadi di setiap pemberhentian akhir harus ada charging station,” pintanya.
Agung Wicaksono mengusulkan dua opsi charging station. Pertama menggunakan tipe Overnight Charging, dimana pengecasan dilakukan di malam hari ketika bus sedang istirahat, atau di siang hari saat break.
Kedua, bisa menggunakan Opportunity Charging. “Dia bisa charging pada saat berhenti di halte ujung, sembari memanfaatkan waktu dan itu chargingnya lebih cepat,” katanya.
Dua teknologi yang berbeda itu berasal dari dua negara yang berbeda. “Bus BYD asal China pakenya sistem Overnight Charging. Untuk yang Opportunity Charging, kemarin saya lihat di Eropa,” paparnya.
Oleh karena itu, Agung mengusulkan agar dilakukan kajian tentang teknologi charging yang terbaik, jika ingin dilakukan pada skala besar.
“Untuk kebutuhan 100 bus listrik, sepertinya bisa ditangani dengan sistem Overnight Charging,” katanya.
Penulis mencoba bus listrik Transjakarta. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Dukungan Regulasi
Irvan Pulungan menjelaskan, kehadiran bus listrik merupakan keniscayaan. Terbukti, Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara telah mensyaratkan hal itu. Untuk mewujudkannya, Transjakarta menargetkan 100 bus listrik pada tahun 2022.
Semua itu sebagai bagian dari upaya untuk menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di sektor transporasi. Harapannya pengurangan emisi sebanyak 30% sebagai business as usual dan target ambisius 50% pada tahun 2030 segera terwujud.
“Pada 2030, kita punya dua target. Ini dijelaskan di dalam Peraturan Gubernur no.90 tahun 2021 tentang Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon yang baru saja ditandatangani gubernur,” katanya
Irvan menambahkan, “Selain itu, Pergub 88 tahun 2019 sudah mengecualikan bukan hanya bus listrik, tetapi juga kendaraan listrik di ganjil genap.”
Sementara itu, Yayat menegaskan, keberadaan bus listrik telah diatur melalui Perpres nomor 55 tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Sekarang tinggal mengimplementasikannya.
“Juga Permen ESDM nomor 13 tahun 2020 tentang penyediaan infrastruktur pengisian listrik untuk kendaraan bermotor berbasis listrik,” katanya.
Meskipun masih gratis, penumpang harus menempelkan kartu agar bisa masuk ke dalam bus listrik Transjakarta. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Pentingnya kendaraan listrik sebagai insturmen mengurangi emisi GRK diamini oleh Direktur Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kustiana. Menurutnya, Perpres 55/2019 telah mengakomodasi hal itu.
Selain itu, ada Peraturan Kementerian Keuangan untuk pembebasan PPnBM 0% untuk kendaraan listrik berbasis baterai, dan tidak diperlakukannya ganjil genap di jalan raya di Jakarta melalui Peraturan Gubernur.
“Jadi dari sisi regulasi telah ada perbaikan iklim untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik,” katanya.
Dadan mengungkapkan data terbaru kementeriannya yang menyebut sektor transportasi mendominasi konsumsi energi final di tahun 2019 dengan bauran sebesar 44%. Angka itu setara dengan 414 juta setara barel minyak – SBM.
“Sektor transportasi berkontribusi terhadap tingginya polusi udara di kota-kota besar serta sumbangan emisi GRK yang juga signifikan,” kata Dadan
Sebelumnya di tahun 2017, sektor transportasi menyumbang sekitar 26% dari total emisi GRK sektor energi. Tanpa adanya kebijakan dan program dekarbonisasi yang terintegrasi dan mengarah kepada sistem yang rendah dan nol karbon, emisi GRK transportasi akan meningkat hingga tiga kali lipat.
“Mendekati 500 juta ton setara CO2 di tahun 2050.”
Oleh karena itu, Dadan menilai, transisi energi di sektor transportasi, khususnya di Jakarta harus segera dilakukan. Pasalnya, jika merujuk pada mobil konvensional, konsumsi energinya sebesar 2,46 MJ/km. Jauh lebih kecil dari mobil listrik yang konsumsinya hanya 0,44 MJ/km.
Adapun energy cost untuk mobil listik sebesar 177 Rp/km. Tetap jauh lebih rendah dibandingkan mobil konvensional yang mencapai 747 Rp/km
“Dari sini terlihat bahwa sisi biaya energi dan emisi, kendaraan listrik memberikan nilai yg lebih rendah dibandingkan dengan kendaraan BBM,” katanya.
Sependapat dengan Dadan, Yayat Sudrajat membenarkan jika efisiensi bus bertenaga listrik jauh lebih besar dibandingkan bus berbahan bakar biosolar dan CNG.
Merujuk data PT Transportasi Jakarta, terjadi penghematan 0,468 liter solar/Km dari peralihan bus diesel ke bus listrik dengan mempertimbangkan sejumlah hal, yakni: konsumsi solar pada pembangkit listrik diesel adalah 0,27 liter solar/Kwh.
Kemudian jumlah pembangkit listrik diesel adalah 10% dari total pembangkit listrik yang ada saat ini di Indonesia, serta konsumsi bahan bakar bus diesel adalah 0,495 liter solar/Km.
Adapun kajian efisiensi bus bertenaga listrik dibandingkan bus berbahan bakar biosolar dan CNG, Yayat sangat mengharapkan masukan dari berbagai pihak.
Zakry baru selesai melakukan pengecekan terakhir bus listrik Transjakarta. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Sementara itu, Fabby Tumiwa menjelaskan, harga bus listrik jauh lebih mahal ketimbang bus konvensional. Namun harus diingat bahan bakarnya lebih murah.
“Jadi total cost of ownership kendaraan listrik lebih murah dari pada kendaraan konvensional.”
Atas dasar itu, Fabby menyebut transisi energi di sektor transportasi, berbicara tentang dua pilihan. Pertama, berpindah ke kendaraan listrik. Kedua, penggunaan bahan bakar bersih untuk mengurangi emisi GRK, yang mengarah ke low carbon vehicle dan low carbon fuel, atau kendaraan rendah emisi dan kendaraan yang rendah bahan bakar.
Untuk saat ini, masyarakat butuh kebijakan yang lebih agresif, dan Fabby menilai, Pemprov DKI belum mengarah kesana. Padahal, di beberapa negara, pemerintah kota telah memberi beberapa kemudahan, misalnya menggunakan jalur khusus.
“Kemudian yang tadinya merupakan kawasan terbatas dia (kendaraan listrik) bisa masuk. Lalu bisa parkir di kawasan tertentu,” katanya.
Bus Transjakarta memasuki halte Monas di Koridor I. (Sumber: Jekson Simanjuntak) |
Khusus untuk Jakarta, Fabby mengusulkan agar dibuatkan kawasan parkir bagi kendaraan listrik, untuk mendorong orang berpindah dari kendaraan konvensional. Selain itu, Pemprov harus menyediakan lebih banyak charging station di tempat-tempat umum.
“Pemprov bisa saja bekerjasama dengan PLN, tapi Pemprov yang bangun untuk charging stationnya. Di daerah-daerah khusus, orang bisa charging kendaraan listrik disitu,” ujarnya.
Fabby menambahkan, “Saya melihat belum banyak terobosan untuk kendaraan listrik di Jakarta.”
Di sisi lain, Agung Wicaksono menilai bus listrik telah menjadi kebutuhan warga Jakarta saat ini. Bus listrik juga sesuai dengan tren energi ke depan.
Menurutnya, pengurangan emisi GRK dan upaya pengurangan polusi di Jakarta, bertepatan dengan kegiatan masyarakat yang kembali aktif seharusnya menjadi perhatian. Ditambah lagi, Transjakarta kapasitasnya telah mencapai 100%.
“Dengan kondisi itu, bisa dipastikan mobilitas meningkat. Polusi juga naik lagi, jika tidak ada langkah dari segi pengurangan emisi kedepannya,” ujarnya.
Hal serupa juga dikhawatirkan Irvan Pulungan. Ketika sektor transportasi publik sebagai penyumbang emisi terbesar dalam perubahan iklim, maka ia mengusulkan agar Jakarta segera shifting ke transportasi yang lebih ramah lingkungan, seperti bus listrik.
Hal ini penting, agar kita bisa berkontribusi secara global terhadap penurunan emisi GRK. “Berarti kita juga berkontribusi menyelesaikan permasalahan umat manusia. Itu yang pertama,” katanya.
Kedua, bus listrik tidak menghasilkan polusi udara. Selama ini, menurut Irvan, polusi udara merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian di kelompok rentan di masyarakat, seperti anak kecil dan perempuan.
“Semakin cepat kita shifting, semakin cepat kita berkontribusi bagi kelangsungan umat manusia.”
Atau paling tidak, bisa mengurangi pengeluaran untuk rumah sakit. “Karena penyakit-penyakit yang berhubungan saluran pernafasan karena polusi udara, kebanyakan disebabkan oleh pembakaran yang berbasis fosil,”katanya. (end)