Ilustrasi burung cenderawasih. Dok : Beritalingkungan.com/AI.
RAJA AMPAT, BERITALINGKUNGAN.COM – Pagi di Hutan Warkesi selalu dimulai dengan orkestra alam. Namun pada Minggu (24/08/2025), kicauan itu terasa lebih istimewa.
Dari balik pepohonan yang basah oleh embun, dua burung surga — Cenderawasih Merah (Red Bird of Paradise) dan Cenderawasih Botak (Wilson Bird of Paradise) — kembali mengepakkan sayapnya, menyapa rumah lamanya yang sempat terancam hilang.
Kedua burung endemik Raja Ampat itu sebelumnya diselamatkan oleh tim Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah I Waisai, BBKSDA Papua Barat Daya. Mereka berhasil dicegah sebelum keluar dari tanah Papua lewat Pelabuhan Sorong, sebuah rute penyelundupan yang kerap mengancam satwa liar.
“Hari ini kami bersama mitra Fauna Flora Indonesia dan Pengelola KTH Warkesi melepaskan kembali dua jenis burung endemik Raja Ampat, yaitu Cenderawasih Merah dan Cenderawasih Botak. Upaya ini penting untuk menjaga kelestarian alam Raja Ampat,” ujar Oktovina Eryanan, S.Hut, Kepala Seksi KSDA Wilayah I Waisai.
Hutan yang Menjadi Rumah dan Benteng
Lokasi pelepasliaran bukan sembarang hutan. Warkesi, sebuah kampung binaan BBKSDA di Raja Ampat, telah lama menjadi benteng konservasi sekaligus destinasi wisata pengamatan burung. Di sinilah Kelompok Tani Hutan (KTH) Warkesi menaruh kepeduliannya yang tinggi terhadap satwa endemik.
Sejauh ini, sebanyak 18 ekor burung surga telah dikembalikan ke habitatnya: 12 ekor Cenderawasih Merah dan 6 ekor Cenderawasih Botak. Angka itu mungkin terlihat kecil, namun bagi ekosistem hutan dan masyarakat setempat, setiap kepakan sayap adalah harapan baru.
“Kedatangan kembali burung-burung ini meningkatkan populasi dan juga potensi lokasi pengamatan burung baru. Kami berterima kasih kepada BBKSDA Papua Barat Daya dan mitra Fauna Flora Indonesia,” kata Alfian Supoiyo, Ketua KTH Warkesi, dengan nada bangga.
Lebih dari Sekadar Satwa
Di Papua, cenderawasih bukan sekadar burung. Mereka adalah simbol keindahan, kebanggaan, dan juga pengingat rapuhnya alam.
Warna-warna mencolok di tubuhnya yang hanya bisa ditemukan di tanah ini telah lama menginspirasi tarian, ukiran, hingga kisah-kisah rakyat. Namun keindahan yang sama itulah yang membuat mereka diburu, diperdagangkan, dan dipaksa meninggalkan rumah.
Pelepasliaran di Warkesi ini bukan hanya tentang dua burung yang kembali pulang. Ia adalah cerita tentang perlawanan terhadap perdagangan satwa liar, tentang komunitas lokal yang menjaga hutan, dan tentang usaha mengembalikan harmoni di salah satu gugusan pulau paling indah di dunia.
Ketika matahari mulai naik di balik pepohonan Raja Ampat, sayap merah menyala dan biru kehijauan dari burung surga itu melintas di udara. Sejenak, hutan Warkesi seolah kembali bernafas lebih lega — menyimpan janji bahwa di bumi Papua, surga itu bukan hanya cerita, tapi nyata (Ola/Wan).